Hari-hari yang Sibuk
Pagi di kampus selalu ramai. Mahasiswa berlalu-lalang dengan wajah terburu-buru, beberapa sibuk dengan laptop, sebagian lain mengobrol santai di kantin. Bagi Nayla, pagi ini terasa berat. Ia menenteng kertas tugas yang belum sempurna, ditambah semalam kurang tidur karena harus menyelesaikan ilustrasi untuk lomba desain yang ia ikuti.
“Nay, kamu udah siap presentasi?” tanya Dinda, sahabat sekaligus teman satu jurusan.
Nayla menggeleng lemah. “Entahlah. Aku bahkan belum hafal isinya.”
Mereka berjalan bersama ke kelas. Tapi di sela keributan pikiran Nayla, satu nama muncul: Raka. Sudah seminggu sejak pertemuan di perpustakaan, dan mereka belum sempat bertemu lagi. Sesekali ia berpapasan dengan Raka di lorong fakultas Teknik, tapi hanya sekadar anggukan singkat, tanpa kesempatan bicara.
Di sisi lain, Raka juga tenggelam dalam kesibukan. Jurusan Teknik Mesin menuntut banyak praktikum. Hampir setiap sore ia berada di bengkel kampus, penuh dengan suara mesin dan bau oli. Ia sering pulang malam dengan baju kotor dan tubuh lelah.
Namun di tengah sibuknya rutinitas, bayangan Nayla kerap muncul. Saat ia menunggu hasil percobaan di laboratorium, ia teringat tawa ringan gadis itu. Saat ia menulis laporan, ia sempat membuka ponselnya, berharap ada pesan masuk—padahal mereka belum pernah saling bertukar nomor.
“Rak, lu dengerin nggak sih?” suara Arman, sahabat dekatnya, membuyarkan lamunan.
“Hah? Apa?” Raka mengerjap.
“Parah lu. Dari tadi bengong. Lagi mikirin siapa, coba?” Arman menatap curiga.
Raka hanya menggeleng cepat. “Nggak. Cuma capek.”