Warsa terus bergulir. Kami menunggu dan terus menunggu, menantikan jawaban dari pertanyaan demi pertanyaan yang nyaris mengabu tertelan sangkala.
Namun, sampai ujung sembilu, kami belum menemukan jawaban atas hilangnya harsa hari itu.
๑๑๑
Selasa, 5 Mei 1998
"Abang!" Gadis berseragam putih biru menjerit sambil memberikan tendangan maut yang hampir tidak bisa kuhindari. Kerutan kian jelas di dahinya yang lebar namun tertutupi poni.
"Abang, adek, jangan bertengkar!" Teriakan ibu dari dapur membuat gadis itu melempar isyarat dengan kedua tangannya, meminta kaus kakinya yang hilang sebelah.
Aku menjulurkan lidah, mencibir. "Udah, pake satu aja, gaya baru dek!"
"Abang ih! Gaada lagi kaus kaki putih yang bersih!"
Aku berlari keluar dari ruang tamu, samar-samar kudengar anak SMP itu mulai merengek dan mengadu kepada ibu. Aku tersenyum ketika ibu memberitahu keberadaan kaus kakinya yang selama ini bersemayam di mesin cuci.
Rasanya ingin sekali aku mengejeknya karena sembrono menuduhku yang menyembunyikan pasangan kaus kakinya, padahal dia yang teledor. Mesi sebenarnya kemarin aku sempat mencampurkan beberapa kain yang tertumpuk di rak sepatu dengan baju kotor yang akan dicuci.
Aku keluar dari ruang tamu dan bersua dengan toko Gembira yang dihuni ayah seorang diri, pria berkumis itu duduk di kursi sambil membaca koran, toko kelontong milik kami-warisan dari keluarga Bapa, tempatnya menyatu langsung dengan teras rumah.
Aku mengeluarkan sepeda dari garasi dan berdiri di halaman. Matahari masih berada di ufuk timur, aku mengangkat kepala memandangi langit yang begitu cerah, menghirup udara segar yang menerpa.
Kebisingan di bangunan samping rumahku mengalihkan atensi. Aku menoleh, melihat mobil kol buntung membawa banyak perabotan rumah tangga. Kemudian tampak ibu-ibu yang masih terlihat muda mengobrol dengan seorang pria entah siapa. Kulit kuning langsat dengan wajah khas orang keturunan Tionghoa, persis seperti ibu dan adikku.
Rumah itu sudah hampir setahun kosong setelah keluarga sebelumnya pindah ke Kalimantan. Syukurlah sekarang ada yang mau menempatinya lagi, jadi aku tidak perlu takut ada hantu mengintip ketika keluar di malam hari.
Ibu-ibu itu memanggil seseorang di dalam mobil, menyuruhnya turun. Aku menelisik ke balik jendela yang tersoroti matahari, menyipitkan mata, tapi tetap tak bisa melihat dengan gamblang sosok manusia di dalamnya.
Selang beberapa detik, pintu mobil akhirnya terbuka. Pertama, aku melihat sepatu berwarna cokelat turun. Kedua, jantungku seolah berhenti berdetak. Bukan mati, tapi membatu.
Seorang gadis bergaun putih dengan motif bunga daisy turun dari mobil, tangannya memangku dua buku tebal. Kulitnya putih tak jauh berbeda dengan ibu-ibu tadi, mereka sama sama keturunan etnis Tionghoa. Pipinya gembul tetapi badannya kurus.
Hembusan angin menerbangkan rambut lurusnya. Aku membeku, tenggelam dalam pemandangan yang cukup menghipnotis.
Gadis dengan tahi lalat kecil di bawah bibirnya itu menutup pintu mobil, lantas bergegas mendekati sang ibu. Dia tersenyum, manis sekali. Lebih manis dari gula yang kucicipi tadi saat sarapan.
BUGH!
"UAKH!" Ringisku ketika sebuah pukulan menghantam punggung.
"Liat apa Bang?" Tanya gadis dengan bet nama Cika Anindia di sebelah kanan seragamnya. "Ayo Bang berangkat, udah agak siang nih!"