Sampai Ujung Sembilu

Yuna
Chapter #2

2. Frasa Pertama

Jam menunjukkan pukul empat sore. Aku merampas gunting kuku di kamar ibu yang sedang menonton televisi, kemudian duduk di teras untuk memotong kuku. Kunaikan kaki ke atas kursi rotan dan mulai melakukan aktivitas.

"Kumpulin kukunya jangan dibiarin ngayang," Tegur seorang pria tua beralis tebal yang baru tiba di rumah. Aku tebak, beliau baru pulang dari rumah tetangga setelah bermain catur sebanyak dua ronde. Sudah menjadi rutinitas harian bapaku.

"Ntar juga disapu sama Cika," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari kuku kaki.

"Hati-hati kamu kena santet." Ayah pun berlalu pergi memasuki rumah, kudengar dia berseru memanggil ibu. Aku kembali mengkhusyukan diri memotong kuku.

Bunyi kendaraan beroda dua dan empat singgah di telinga setiap detiknya. Langit sudah tak secerah siang tadi, angin kian terasa dingin. Bisingnya percakapan manusia-manusia yang bercampur aduk dengan suara-suara lain bagai iringan musik yang terjadi setiap harinya. Tentu aku menyukai semua itu.

Aku menyudahi aktivitas, lantas bergegas bangun dari kursi. Namun, netraku teralih pada sosok gadis cantik yang duduk di teras rumah sebelah.

Jemari cantiknya yang menggulir halaman demi halaman, bulu mata lentiknya yangg bergerak setiap lima detik sekali. Maniknya yang sibuk membaca tiap untaian tinta dalam buku di tangannya. Indah. Lekukan wajahnya cantik sekali. Aku tak berkedip.

Dia menoleh, membuatku membeku kala manik kami bertemu. Perasaan hangat menjalar ke sekujur tubuh. Gadis kemayu itu memamerkan senyum, ini lebih manis dari satu kilo gula.

"Liatin apa kak?" Pertanyaan Cika yang baru keluar dari rumah kembali membuka aliran darah ke jantung. Hampir saja aku kehilangan kesadaran.

Kulihat gadis cantik di rumah sebelah itu bangun dari kursinya lantas masuk ke dalam rumah.

"ACIE, LIATIN ANAK TETANGGA BARU," jeritan Cika sontak membuatku membungkam mulutnya.

"Berisik!"

Cika memberontak, aku pun melepaskan. "Aduh sakit kak dasar gak punya perasaan!" Celotehnya lalu menikmati es krim Paddle pop tiga warna.

"Es Krim dari mana? Beli?"

"Gratis, ngambil di tokolah." 

"Lah kok bisa?" Protesku, Bapa dan Ibu tak pernah membiarkan kami mengambil satu pun makanan di toko tanpa membayar, karena akan menyulitkan dalam menghitung keuntungan. "Maling?"

"Nggak lah! Diizinin Bapa kok, katanya gara-gara aku udah bantuin Mama nyapu."

"Gak adil!" 

"Adil dong, emang kakak berguna di rumah ini?"

"Minta disambit?!"

๑๑๑

Selepas menyikat gigi setelah makan malam, aku menyelinap ke luar rumah untuk mengintip. Siapa tahu gadis itu sedang duduk di teras seperti tadi sore. Namun, baru satu langkah melewati teras, aku terperanjat kaget akan kehadiran sesosok perempuan cantik.

"Ha-halo?" Dia melambaikan tangan. Aku sontak membuang muka karena jantung yang tiba-tiba berdegup kencang. Gadis yang kucari berdiri tepat di depan rumahku.

"Ke-kenapa ke sini kamu?" Tanyaku gugup, tak memperdulikan lagi susunan kata yang rancu.

"Oh ya? Aku mau beli pewangi lantai, tokonya masih buka, kan?" Suara halusnya bagai lantunan musik paling indah yang menyentuh telingaku. Aku menelan saliva untuk memberanikan diri menatap gadis bertahi lalat di bawah bibir itu.

Lihat selengkapnya