Aku mengitari setengah lapangan untuk sampai ke tempat Triani. Selama itu, debar jantungku kian cepat, di sisi lain hatiku berlarian tak menentu. Ragu menyapa dan hampir membuatku membatalkan rencana.
Sekarang, aku sudah berdiri tepat di belakang Triani. Namun, tubuhku mendadak beku seolah dilanda hujan es, nyaliku ciut. Memang aneh, padahal menyapa orang lain adalah hal yang mudah.
Aku menghela napas panjang seraya berdeham beberapa kali. "Triani?" Panggilku pelan.
Gadis berambut lurus itu sontak menoleh ke belakang. Terdiam sejenak kemudian tersenyum manis. "Bima ya?"
Rasanya aku ingin terjun dari bukit. Ribuan kupu-kupu seolah terbang di perut dan bunga bermekaran di sekujur tubuh, aku tak mengerti apa yang terjadi, tapi satu yang kutahu, aku merasa sangat bahagia.
"Baca apa?" Tanyaku penasaran, lantas duduk di sampingnya.
"Oh ini?" Triani melipat ujung kertas sebelum menutup bukunya dan menunjukkan sampulnya. "Novel fiksi remaja."
Aku mengangguk-angguk. Sepertinya Triani sangat menyukai buku, dari pertama bertemu dia selalu terlihat bersama buku. Berbeda denganku yang melihat satu paragraf saja sudah bosan."Kamu suka novel seperti apa?" Tanyaku membuka topik baru.
"Emm … tentang perjuangan seseorang. Aku suka novel yang tokohnya berani mengejar mimpi. Novel ini juga begitu, ceritanya membuatku bersemangat!" Aku senang melihat Triani menjawab pertanyaanku dengan antusias.
"Kamu suka membaca ya?"
"Rumahku dulu sebelahan sama perpustakaan, jadi pekerjaanku setiap hari selain sekolah adalah membaca." Raut wajahnya berubah sedih untuk beberapa saat. "Di tempatku nggak banyak anak kecil seumuran aku, jadi nggak bisa main."
"Bagus dong sekarang kamu di sini," ucapanku membuat Triani menoleh dengan air muka penuh tanda tanya. "Mau aku kenalkan tempat-tempat bagus?"
Netra bulatnya mengedip dua kali, lantas kedua ujung bibirnya terangkat. "Boleh?"
Merasa ajakanku diterima dengan baik, aku kian bersemangat mendekatinya. "Kalau begitu, ayo lihat-lihat sekitar lapangan ini."
Aku bangun dari kursi kemudian mengulurkan tangan padanya, Triani menerima dengan senang hati. Tangan mulusnya menyentuh jemariku lembut, membuat perasaan bahagiaku kian membuncah. Dia pun ikut bangun dari kursi.
Kami berjalan bersama di tepi lapangan, membahas hal-hal ringan sambil menikmati angin sepoi-sepoi. Rasanya di dunia ini hanya ada kami berdua dan waktu seolah memelan, padahal pertandingan sepak bola sudah dua kali berganti ronde.
Oh, ini ya yang namanya cinta itu?
"AWAS!"
BRUK!
"TRIANI!" seruku lantas berlutut di sampingnya yang tersungkur di atas tanah, imbas dari hantaman sepeda seorang bocah laki-laki. Triani meringis memegangi lututnya. "Ada yang luka?" Tanyaku.
Dia tak menjawab, masih terguncang dengan kejadian barusan. Aku pun berdiri untuk membantu anak kecil yang terjatuh dan tertindih sepedanya. "Aduh dek dek belajar lagi sepeda sana."
Bocah laki-laki itu buru-buru menghampiri Triani. "Tadi aku ngelamun kak, maaf banget."