Kamis, 7 Mei 1998.
"Bener ya Bim sekarang kita main bola di lapang! Aku gak mau gagal lagi kayak kemarin!" Tandas Tina penuh penekanan. "Aku udah bawa baju ganti nih!"
Suasana hatinya memang buruk hari ini, dari jam pertama sampai istirahat tiba, dia mengacuhkanku. Kemudian saat kami bermain bola di lapang bersama anak kelas lain, dia menunjukkan kekesalannya secara gamblang, seperti mengoper bola ketika aku tak siap dan mengabaikan umpan dariku, mirip anak kecil yang marah karena tidak dibelikan permen oleh ibunya.
Hubungan kami kembali seperti semula setelah aku memutuskan minta maaf. Sejujurnya, kemarin memang kami berencana untuk menghabiskan sore dengan bermain bola dan makan bakso pak Edi. Sayangnya kehadiran Triani mengalihkan. Tina yang selalu menjunjung tinggi sebuah janji, wajar untuk marah.
Untunglah ia tidak menaruh rasa kesal berlarut-larut dan menerima permintaan maafku meski dengan satu syarat, kami harus menuntaskan rencana kemarin yang sempat tertunda.
Aku menuntun sepeda menyusuri trotoar, Tina dan Aldo mengikutiku di kiri. Tak ada sedetik pun keheningan di antara kami, karena kejadian apapun itu dapat menjadi topik yang dapat diperdebatkan.
"Bima?"
Kami bertiga serentak menghentikan tawa dan melihat ke depan. Netraku membulat sempurna, kala melihat sosok yang bertumpu di depan sana. Gadis cantik dengan dress putih bermotif polkadot biru, dia menyunggingkan senyum manis ke arahku.
Aku refleks merapikan seragam. "Triani? Kenapa di sini?"
Sebelum menjawab Triani melempar senyum ke arah Tina yang raut wajahnya berubah muram, lalu Aldo dengan ekspresi ramah seperti laki-laki playboy yang menemukan sasaran empuk. "Aku mau ke pasar Siang, tapi kayaknya kesasar. Syukurlah, aku ketemu sama kamu."
Triani bersyukur bertemu denganku? satu kata itu berhasil membuatku seolah terbang ke langit seperti kupu-kupu yang baru keluar dari kepompong.
"Kamu kelebihan, Pasar Siang itu belok di perempatan deket lapangan kemarin, terus ntar ada gang kecil, jalan dikit, ntar ada deh pasar Siang," urai Aldo yang mendapatka raut wajah bingung dari Triani.
"Pusing ya? Yaudah, aku antar saja." Ucapanku yang mendapat deheman cepat dari Aldo.
"Boleh?" Tanya Triani meminta kepastian, aku sontak mengangguk cepat, karena siapa pula yang akan melewati kesempatan ini.
"BIMA!" Pekikan gadis berambut pendek di sampingku membuatku tersadar, ia melipat tangan di dada serta memasang raut wajah jengkel. Aku lupa tentang Tina. "Katanya kita mau main!"
"Gimana kalo kita anter dulu Triani ke pasar Siang?" Tawarku memberi jalan alternatif.
Tentu saja Tina tak akan mau melakukannya. "Kita udah rencana mau main, Bim!"
"Kan bisa sambil main di pasar Siang berempat."
Tina terlihat tak menyukai usulanku. Aku memberi isyarat kepada Aldo yang bertumpu di sampingnya, pria itu memperlihatkan jarinya membentuk huruf 'O'.
"Udah Tin! Kasian Bima lagi mau PDKT—"
"Gimana kalo besok?" Potongku seraya menatap sinis Aldo.
Tina melempar tendangan ke betisku. "Serahlah, gak peduli!" jeritan jantanku pun keluar bersama dengan kepergian gadis berseragam itu.
"Waduh Bim, aku kejar si Tina ya, sampai besok!" Aldo pun dengan cepat menyusul Tina. Yah, dia memang orang yang paling peka dan selalu bisa menjadi penengah.