Hari sudah sampai di ujung petang. Oren telah mewarnai setengah dari birunya langit. Kini tersisa aku dan Triani yang menarik langkah untuk pulang, Aldo dan Tina berpisah di tikungan karena rumah mereka tidak searah.
"Bim makasih ya buat hari ini, aku seneng banget …, ini pertama kalinya aku main kayak tadi," ungkap Triani menerbitkan senyum termanisnya.
"Pertama kalinya?" Tanyaku heran.
Triani mengangguk dua kali, "Orang tuaku itu sangat ketat, makanya di sekolahku yang dulu aku nggak punya banyak teman dan jarang main." Triani menghela napas panjang.
Saat pertama kali melihat sosok cantik Triani, kupikir dia gadis yang dikelilingi banyak teman, selain karena wajahnya yang manis, dia juga punya sifat yang ramah. Ternyata, aku salah.
"Sikap orang tuaku yang seperti itu, membuatku kurang pandai bergaul dengan orang lain. Jadi saat pertama kali kamu ajak aku bicara, aku senang banget. Karena itu aku sebenarnya agak kesal ketika tahu kamu punya teman lain kayak Tina … maaf ya, aku seenaknya padahal kita baru kenal, tadi juga aku malah berantem sama Tina … pasti kamu terkejut ya?"
Narasi panjang dari Triani sempat membuatku tertegun, kaget karena dia mengatakan hal yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Tak tahu harus bereaksi seperti apa, aku hanya dapat melepaskan tawa garing.
"Aku juga sempat salah paham sama sikap Tina, ternyata dia anak yang baik. Aku kira anaknya nyebelin dan nggak bisa diajak ngomong baik-baik, ternyata tadi kita justru sampai saling tukar cerita," paparnya lagi.
"Aku kira juga kamu nggak bisa marah kayak tadi," lontar bermaksud menggodanya.
Triani tertawa pelan dia menyembunyikan wajahnya di kedua telapak tangan sambil berkata, "Aaa, malu banget, aku harusnya tahan emosi tadi."
Mendengar suaranya yang gemetar karena menahan malu membuatku harus dilanda rasa gemas. "Malah aku senang bisa lihat sisi lain dari kamu."
Triani kian membenamkan wajahnya di telapak tangan. Aku hanya bisa berharap dia tetap memperhatikan jalan, sebab trotoar di sini tidak tersusun dengan baik.
"Jangan dibahas dong, aku memang sudah lama tidak marah dan berkelahi seperti itu, ternyata rasanya seru juga ...."
"Sekalinya ngamuk langsung ditonton banyak orang ya?" Candaku.
"Bimaaaa kenapa diingetin lagi sih!!" Pekiknya.
Aku pun sontak tertawa gemas. Tangan Triani memukul bahuku pelan, lantas mempercepat langkah agar tidak sejajar denganku.
Perutku bagai dikerubungi oleh kupu-kupu yang merengek meminta keluar. Sore ini badanku seolah terbang ke langit ketujuh.
๑๑๑
Senin, 11 Mei 1998.
"Seperti yang kalian lihat di koran atau televisi pemerintahan Indonesia sedang mengalami krisis, kita sebagai pelajar Indonesia ...."
"Bim geseran sini, panas nih," pinta Tina sambil menarik lenganku ke belakang, imbasnya wajah sebelah kananku terkena langsung oleh sorot matahari bak bintang film di atas panggung. Padahal sedari tadi aku sudah membungkuk, berlindung di badan Aldo yang berdiri di depanku.
"Aku yang kepanasan, nyet!" Gerutuku langsung kembali ke posisi semula agar Tina yang bersua dengan teriknya matahari.