Pada awalnya, rencanaku hari ini adalah mempertemukan Triani dan Tina agar keduanya dapat mengenal satu sama lain dengan baik, sehingga Tina tidak lagi memarahiku karena masalah membatalkan janji. Selain itu, bukankah dengan mereka saling mengenal juga, suatu hari nanti kami bisa menghabiskan waktu berempat?
Tentu saja, aku sudah menduga bahwa Tina tak mungkin mengikuti skenario yang kubuat dengan tenang, karena itu aku sudah mempersiapkan diri dengan sempurna untuk membujuknya. Namun, tak terbayangkan olehku jikalau Triani juga akan bertindak sama dengan Tina.
Kini mereka berdebat di depanku yang masih tercengang. Khawatir sebab perang mulut antara perempuan adalah masalah besar, situasi yang akan sulit diperbaiki nantinya. Mungkin saja, hari ini berakhir, tapi amarah mereka tetap akan terkubur di dalam hati.
"Aku tau kamu deketin Bima karena mau sesuatu, kan?" Tanya Tina dengan nada sewot. "Aku tahu, kamu mau manfaatin Bima karena dia anaknya baik meski agak bego dikit!"
Apa harus sakit hati atau senang mendengar ucapan Tina? Apa dia memuji atau menghina?
"Su'udzon! aku sama Bima itu sudah jadi teman baik, kamu memang siapanya sampai sok sekali melarang-larang Bima untuk dekat denganku!" Pekik Triani, aku masih saja terkejut mendengarnya marah seperti itu.
Aku mengaruk tengkuk. "Hei, kenapa kalian malah berantem!?"
"Gara-gara kamu sih Bim!" Ketus Tina menembus jantung, benar, aku pun menyesal karena telah mempertemukan mereka berdua. "Denger ya, aku ini sama Bima udah kenal dari zaman SD, aku sahabatnya!"
"Ya terus? Terserah Bima dong mau ngapain?Kenapa kamu yang tersinggung?"
"Bima itu bukan cowok yang mudah terpikat sama cewek apalagi sampe batalin rencana, kamu pasti pake pelet atau santet!" Aku refleks menunduk malu mengdengar argumen Tina.
"Seenaknya! Kamu 'kan cuma sahabat! Kalo suka bilang gak usah pake templete itu!" Seruan Triani membuat amarah Tina semakin meluap.
Dengan kecepatan kilat, satu kedipan mata, Tina mendorong Triani. Kemudian gadis keturunan Tionghoa yang mendapat perlakuan kasar itu sontak membalasnya dengan menjambak rambut Tina, kini pertengkaran pun tak terelakan.
"Oi!" Aku dengan sigap menghentikan perkelahian mereka. Namun bukannya meredamkan suasana, aku justru menjadi korban perkelahian mereka. Benar ternyata, perselisihan antara wanita itu menyeramkan.
"AWAS BIM!" Jerit Tina tepat di gendang telingaku sampai rasanya akan pecah.
"OI BANYAK YANG NGELIAT—" Kata-kataku terpotong karena tamparan keras menghantam pipi. "Sakit anjir!!"bentakku.
"Ma-maaf Bim ...," Lirih Triani aku mematung sesaat sebelum kembali menahan serangan dari Tina. Aku bingung entah harus merasa sakit atau mengabadikan pipi karena telah tersentuh tangan gadis secantik Triani.
Padahal aku berdiri di tengah-tengah mereka, tapi entah apa yang merasuki kedua perempuan tersebut, mereka masih tetap bisa saling menjambak. Bahkan tak satu dua kali aku terkena serangan dari dua arah karena mereka berusaha menyingkirkan keberadaanku.
"Apa ini Bim ...?" Aldo yang baru datang pun syok dan seketika menjatuhkan sebungkus cilok di tangannya.
"TOLONGIN ANJIR!!" Teriakku tak sanggup lagi menahan rasa sakit dan malu karena dijadikan tontonan banyak orang, bisa-bisa aku dikira cowo playboy yang telah mempermainkan dua hati.