Selasa, 12 Mei 1998.
Seperti hari-hari biasanya, kami sekeluarga bangun pada dini hari ketika langit masih gelap dan matahari belum timbul di ufuk timur. Beselisih sebentar dengan Cika prihal siapa dulu yang akan menguasai kamar mandi dan menyelesaikannya dengan suit. Hari ini aku yang pertama.
Hanya perlu tiga puluh menit untuk menyiapkan semuanya sebelum pergi sarapan. Televisi menyala menyiarkan siaran tentang krisis politik yang katanya akan ada demontrasi dari warga Indonesia. Bapa tampak sibuk menyimak berita tersebut.
Sebagai anak SMU yang belum tertarik dengan masalah politik, aku pun abai dengan siarannya. Cika pun sama denganku apalagi dia masih SMP, anak itu timbul dari kamarnya dan segera duduk di meja makan.
Menu hari ini adalah sayur kangkung, opor ayam, dan tahu goreng. Ibu yang memasak. Kelezatannya seolah sudah sampai ke perut hanya dengan melihatnya, tenggorokanku sudah tak sabar menelannya.
"Sekolah nggak diliburkan?" Tanya Bapa yang muncul setelah menghabiskan paginya dengan menonton televisi.
Aku dan Cika kompak menggelengkan kepala.
"Kenapa ya? Padahal keadaan sepertinya akan parah," tutur Bapa.
"Mungkin karena demontrasinya di ibu kota, kita cukup jauh dari sana, mungkin tak apa." Ibu menimpali. "Ayo makan Pa," titahnya.
Bapa pun mengikuti perintah Ibu, dia mengambil tempat duduk kemudian memilih menu yang tersedia untuk ditambahkan ke piringnya. "Tapi Bapa minta kalian jangan kebanyakan main ya untuk sekarang, pulang sekolah langsung ke rumah saja."
"Kenapa memang?" Tanyaku heran.
"Mulai sekarang biasakan kamu baca berita di koran atau nonton di tv, biar nggak ketinggalan informasi. Sekarang pemerintahan Indonesia sedang krisis, lagi terjadi demontrasi di ibu kota, kalo kamu tau, setidaknya bisa mempersiapkan diri." Aku hanya menjawab penjelasan Bapa dengan anggukan saja, tak ada sedikit pun gejolak ketertarikan untuk menyelami.
"Dia mah mana mungkin mau nonton berita." Celetuk Cika, mengejek di sela makannya.
"Berisik!" Desisku kesal. "Aku juga pernah denger kali soal masalah itu, cuma ya—"
"—Lebih seru pacaran," sela Cika tepat di telingaku, kemudian tertawa.
"Dasar—"
"Hei! Ini masih pagi! Makan yang betul!" Tegas Ibu berhasil membuat kami berdua seketika bungkam, dan memilih melanjutkan sarapan dalam diam.
๑๑๑
Pembelajaran berlangsung tanpa jeda selain karena istirahat sampai jam menunjukkan pukul sebelas siang. Ketika aku hampir kehilangan kesadaran di tengah penjelasan guru bahasa Indonesia yang seolah menyanyikan lagu pengantar tidur, tiba-tiba seseorang datang ke kelas kami dan memberitahu seisi ruangan untuk bubar.
Sontak para murid bersorak, padahal bapak guru yang baru datang tersebut belum menyampaikan informasi dengan lengkap, mereka terpacu oleh rasa girang karena keinginan di relung hati mereka semua terwujud. Hanya dalam hitungan detik, mereka langsung bersiap untuk pulang. Aku yang masih mengantuk pun dipaksa bergerak sebab naluri takut ditinggalkan timbul secara alami, aku pun segera memasukan buku ke dalam tas.
"Hari ini, mohon kalian segera pulang ke rumah, jangan pergi kemana-mana, mengerti?" Para siswa-siswi serentak menyetujui peritah pak Guru. Namun, aku yakin di antara tiga puluh siswa di kelasku, tidak semua mendengar perintah beliau.
Seusai berpamitan dengan guru, kami pun berbondong-bondong meninggalkan kelas. Koridor penuh dengan puluhan murid ketika aku tiba, tampaknya tiga angkatan dibubarkan bersamaan sehingga menyebabkan lorong menjadi padat dan sesak.