Rabu, 13 Mei 1998.
"Penembakkan di mana Pa??" Tanya Cika penasaran selepas mendengar ucapan Bapa.
"Di ibu kota, kemarin di sana ada demontrasi besar-besaran, empat mahasiswa meninggal tertembak. Bapa tidak mengerti lagi dengan pemerintahan Indonesia, bisa-bisanya mereka sampai melukai rakyat," jelas Bapa panjang lebar.
Di dalam keluarga ini, Bapa memang yang paling suka mengikuti berita harian, terutama jika itu menyangkut politik.
"Kita berdo'a saja yang tebaik, semoga semuanya cepat terselesaikan." Ibu datang menyajikan tempe mendoan ke atas meja. Kemudian wanita itu ikut duduk di kursi.
"Tapi ini anak-anak sekolah beneran nggak libur?"
"Kita 'kan jauh dari ibu kota Pa, mungkin karena itu tidak sampai diliburkan."
"Tapi tetap saja Ma, ini masalah besar, seluruh wilayah Indonesia bisa terkena dampak, apa lebih baik kalian di rumah saja sampai keadaan membaik."
Percakapan panjang Bapa dan Ibu pun kini mendominasi ruang makan, mengalahkan bunyi nyring sendok yang menyentuh piring, mereka saling melempar arguman tentang krisis yang sedang terjadi di Indonesia.
Kemarin, nyaris seharian, Bapa dia di depan televisi menonton siaran berita yang membahas tentang masalah itu, sampai-sampai aku yang tak ingin tahu pun menjadi paham dengan apa yang terjadi.
Katanya, kemarin, tanggal 12 Mei, terjadi aksi demontrasi besar-besaran di ibu kota dan insiden itu pun memicu tragedi penembakan empat mahasiswa. Aku tahu, karena mendengar suara televisi yang terus menyala dengan volume kencang dari aku pulang sekolah sampai malam tiba, bahkan pagi ini pun Bapa masih sempat menonton televisi dan membasahasnya. Mau tak peduli pun aku punya telinga untuk mendengar.
Mengetahui berita itu, sejujurnya aku pun merinding sendiri. Membayangkan apa yang sedang terjadi di ibu kota ketika aku tertidur di tengah pelajaran.
"Bima, jangan ngelamun makan yang betul!" Teguran ibu membuatku sontak membenarkan posisi duduk. "Mikirin apa kamu dari tadi?"
"Hah? Nggak." Aku langsung menyibukkan diri menyantap makanan agar Ibu tidak bertanya lagi atau memberikan ceramah panjang.
"Pulang sekolah kamu jangan ke mana-mana, jemput Cika, langsung pulang ke rumah." Bapa memerintah.
Aku yang malas untuk membuka suara pun hanya menganggukan kepala saja. Hari ini juga aku tak ada niatan untuk bermain bersama Aldo dan Tina.
Selepas Tina mengungkapkan perasaannya kemarin, kepalaku tak bisa berhenti berpikir. Bahkan aku pun sampai mengurungkan niat untuk bertemu dengan Triani. Semalaman, ketika Bapa sibuk dengan televisi, aku memandangi cokelat sambil memikirkan perkataan Tina.
Bukan apa-apa, hanya saja ini pertama kalinya aku mendapat pengakuan seperti itu dari orang lain, hal itu membuatku khawatir sendiri, terlebih lagi yang mengatakannya adalah Tina.
Aku sampai takut pergi ke sekolah dan bertemu Tina hari ini.
๑๑๑
Sesampainya di sekolah, baru saja aku menurunkan standar sepeda, pak penjaga sekolah langsung memberi kuintruksi untuk berbaris di lapangan bersama murid lain. Tanpa diberi waktu menaruh tas di kelas, para siswa siswi di perintah berkumpul di lapangan.