Samudera

Annisa Yulianti
Chapter #1

Bagian 1

Aku mengetahui jelas. Wanita muda dengan raut wajah sempurna. Tubuhnya mungil, kulitnya putih pucat, matanya bersinar. Dia berdiri di samping pintu perpustakaan.

Namanya Jingga. Gadis dengan sebutan primadona sekolah. Rambutnya terurai, dihiasi pita oranye selalu menambah kesan kecantikannya. Dia gadis muda berwajah ceria, memiliki lekuk manis di bibirnya.

Pandangannya mengeliling. Tampaknya sedang menunggu seseorang, terlihat dari gerak tubuhnya yang selalu melongok ke dalam perpustakaan. Sesekali ia melirik jam bulat di pergelangan tangannya.

Setelah itu keluarlah seorang lelaki. Dia memakai seragam persis dengan wanita itu. Wajahnya tampan, tubuhnya tinggi tegap, sorot matanya tajam meski tertutupi kacamata. Langkah lelaki itu terhenti tepat di depan Jingga.

"Mau apa lagi?" tanya lelaki itu.

"Minta diajarin kimia." Jingga tersenyum.

"Nggak mau." balasnya cuek lalu meninggalkan Jingga tanpa sepatah kata.

"Sam?" teriak Jingga. Namun lelaki yang dipanggil dengan nama Sam tetap tak menoleh, membuat Jingga berlari ke arah kelasnya.

"Sam? Dengerin ya gue bakal nungguin lo di sini nyampe lo mau ajarin gue kimia!" teriak Jingga. Semua siswa memandangnya.

"Sam, kasian tuh Jingga. Jarang-jarang loh dia ngedeketin cowok, apalagi minta bantuan. Sayang Sam kalo disia-siain, primadona sekolah men." celoteh Dimas, teman sebangku Sam. Sam hanya diam, dan tak menghiraukan. Dia malah mengambil earphone dan memasangkan ke telinganya.

"Awas aja ya!" Jingga kesal, meninggalkan kelas Sam dengan langkah kaki yang dihentakkan.

Jingga menuju kantin dengan wajah kesal. Sepanjang jalan banyak yang memperhatikannya, mungkin karena raut wajah Jingga berbeda dari biasanya. Dia tak pernah sekesal itu.

"Gimana? Sam mau ajarin lo?" tanya Orin, teman dekat Jingga.

"Tetep nggak mau."

"Tuh kan, udah gue bilang orang misterius kaya dia nggak bakalan mau ngajarin cewek kaya lo!"

"Cewek kaya gue gimana?" 

"Tengil!" balas Orin meninggalkan Jingga.

"Enak aja cantik-cantik gini dibilang tengil!" Jingga berlari mengejar Orin. 

Jingga dan Orin adalah teman satu kelas. Mereka bersahabat sejak masa SMP. Persahabatannya sudah lumayan lama, tak heran jika mereka terlihat sangat dekat.

Sepulang sekolah, Jingga berdiri di depan gerbang dengan wajah percaya diri. Sesekali dia menengok ke dalam sekolah, menunggu seseorang yang belum juga keluar. 

"Hei!" Jingga kaget, mendapati Orin menepuk pundaknya.

"Ya ampun ngagetin aja! Gue kira siapa!"

"Lo ngapain disini?"

"Nunggu seseorang." 

"Siapa?" Jingga melongok ke dalam sekolah, setelah itu dia tersenyum menatap Orin.

"Tuh orangnya." Jingga menunjuk lelaki yang tengah berjalan sembari menggunakan earphone sebelah. 

"Astaga! Gue kira udah nyerah!"

"Nyampe nilai kimia gue 80." 

"Doain ya!" lanjut Jingga lantas meninggalkan Orin dan berjalan mendekati lelaki itu.

"Hai Sam!" sapanya.

"Saya nggak mau ngajarin kamu kimia." 

"Siapa juga yang minta diajarin?"

"Terus mau apa?" 

"Mau pulang." 

"Oh." Sam berjalan mendahului Jingga.

"Cuek banget sih!" susul Jingga menyamai langkahnya dengan Sam.

Angin siang hari ini meniup lembut, membuat keadaan sedikit sejuk. Ditambah lagi sinar matahari yang tidak begitu terik.

Sam berdiri di depan halte sekolah. Diikuti dengan Jingga yang terus berada di sebelahnya. Sam terlihat risih, sesekali ia melirik wanita itu.

Sebuah metromini berhenti tepat di depan mereka. Asapnya mengepul, membuat kacamata yang digunakan Sam sedikit berdebu. Jingga terlihat tak biasa, dia tiba-tiba menutup wajah dengan jemarinya. Membuat beberapa orang menyadari dan memandangnya heran. 

Sam memasuki metromini itu, menaiki beberapa anak tangga yang berada di sana. Langkahnya terus diikuti dengan Jingga dibelakangnya.

"Bukannya kamu mau pulang?"

"Ini mau pulang Sam."

"Kenapa naik metromini?" 

"Kan gue nggak dijemput."

Sam hanya mendengus kesal lantas mencari tempat duduk kosong. Dia menemukan satu tempat kosong di kursi paling belakang. Lalu dia berjalan ke arahnya dan menduduki kursi itu. Jingga celingukan. Terlihat sangat bingung. Pasalnya ini kali pertama ia menaiki metromini.

"Sam, gue duduk dimana?" 

"Tuh tempat duduk kosong." Sam menunjuk tempat duduk di seberang tempat duduknya. Namun tempat duduk itu dengan cepat diduduki penumpang lain, membuat Jingga cemberut.

"Sam?" panggil Jingga. Kini wajahnya berubah memerah, terlihat lebih memelas, matanya berkaca-kaca serasa akan turun hujan di sana.

"Apa?" Sam menoleh.

"Tempat duduknya udah diambil orang."

"Ya udah berdiri aja." 

"Tapi gue nggak bisa berdiri lama-lama." 

Sam menghela nafas berat. Dia segera berdiri dari tempat duduknya dan menyuruh Jingga untuk duduk ditempatnya semula.

"Makasih Sam, lo baik deh." 

"Lain kali nggak usah naik metromini lagi!" Jingga tersenyum dan mengangguk cepat, mengiyakan omongan Sam.

Di pertigaan lampu merah, Sam turun. Menyusuri beberapa anak tangga metromini. Jingga pun ikut turun. Entah akan kemana wanita itu, yang jelas saat ini ia tengah mengikuti langkah lelaki di depannya.

Sam terus berjalan, menyebrangi lampu merah hingga masuk ke sebuah jalan dengan kanan kiri pepohonan.

Wanita bertubuh mungil yang sedari tadi mengikuti Sam kini tampak kelelahan. Pelipisnya berkeringat, kulit putihnya terlihat semakin pucat.

Sam melirik wanita itu, dia pun berhenti. Memandang wanita yang kini tengah memegangi lututnya, entah karena lelah ataupun nyeri.

"Kamu sebenernya mau pulang atau ngikutin saya?" tanya Sam.

"Mau pulang Sam, rumah gue deket sini kok." balas Jingga melangkah maju menyamai tubuh Sam.

Sam masih tak menghiraukan dan melanjutkan berjalan. Jingga juga tetap saja mengikuti jalan yang ditempuh lelaki itu.

Sampai di sebuah rumah berpagarkan cokelat, Sam menghentikan langkahnya. Di sebelah barat rumah ini terdapat lapangan basket tua, terlihat lama tak digunakan, disertai pohon besar berdiri kokoh di samping lapangan basket tersebut.

Lihat selengkapnya