Samudera

Annisa Yulianti
Chapter #4

Bagian4

Sinar matahari menembus ke sela-sela kamar Jingga. Siluetnya membentuk rapi gambaran jendela di tembok kamar wanita itu. Lampunya telah padam, hanya menyisakan sinar matahari sebagai penerang.

Jingga mulai membuka mata, melirik jam bulat di meja kanan tempat tidurnya. Jarum jam menunjukkan pukul tujuh. Dia lantas duduk dan bersandar di tumpukan bantal berwarna pink.

Kakinya mulai menyentuh karpet abu-abu yang tergelar rapi di bawah tempat tidur. Tangannya meraih gagang pintu, lalu menariknya ke bawah dan berjalan pelan keluar dari kamar.

Jingga menuruni anak tangga perlahan. Langkahnya sampai pada lantai paling bawah. Kemudian kembali berjalan ke arah belakang, di mana ia mendapati seorang wanita yang kerap dipanggilnya Ibu.

"Selamat pagi sayang." sapa Ibu Jingga dengan pakaian rapi. Beliau tengah sibuk memasak nasi goreng.

"Ibu mau kemana?" tanya Jingga.

"Ibu sama Ayah satu minggu mau ke luar kota. Jingga di rumah sama Bibi ya, kalau perlu Orin suruh tidur di sini." Jingga tersenyum kecil mengiyakan.

"Loh anak Ayah udah bangun?"

Lelaki paruh baya keluar dari kamar mandi. Pakaiannya tak kalah rapi dengan Sang Ibu. Beliau adalah Ayah Jingga.

Ayah Jingga berjalan mendekat ke arah Jingga yang tengah duduk di kursi makan. Lantas mencium kening putri semata wayangnya dengan penuh kasih. Beliau mengambil secangkir gelas di ujung meja makan. Lalu menuangkan air putih ke dalamnya dan memberikan pada putri kesayangannya.

"Ayah sama Ibu mau ke luar kota. Jingga minta dibelikan apa?"

"Boneka beruang."

"Tapi di kamar kan udah banyak?"

"Berarti tugas Ayah cari model yang belum ada di kamar Jingga." Ayahnya terkekeh mendengar jawaban putrinya.

"Baiklah tuan putri." Jingga tersenyum.

Kalian tahu rasanya menjadi Jingga? Hidup dengan barang-barang mewah dan mahal namun jarang memiliki waktu dengan orang tua. Apalagi dia anak satu-satunya, tak memiliki kakak ataupun adik.

Orang tuanya adalah pebisnis. Mereka memiliki perusahaan swasta terkenal yang telah berdiri lama. Tak heran jika mereka sangat sibuk. Bahkan hari-harinya saja bisa dibilang penuh dengan pekerjaan.

Mobil hitam mewah berplatkan kota Jakarta terparkir di halaman, mesinnya menyala namun tak ada si pengemudi. Sepasang suami istri yang disebut-sebut orang tua Jingga keluar dari pintu rumah. Dilanjut Jingga dengan berpakaian baju tidur berwarna merah muda.

"Ayah sama Ibu berangkat dulu ya, love you baby." Mereka mencium kening Jingga secara bergantian, membuat lekukan indah di bibir Jingga mengembang dengan sempurna. Kemudian mobil itu melaju secara perlahan, meninggalkan halaman rumah dengan kesunyian.

"It's okay nggak papa." ucapnya lirih dengan senyum lebar dan berjalan kembali ke dalam rumah.

"Neng Jingga." panggil seseorang membuat Jingga menoleh tiba-tiba.

"Iya Pak."

"Ini ada surat buat Neng Jingga."

"Dari siapa Pak?"

"Nggak tahu, tadi yang ngantar tukang pos." Supir pribadi Jingga memberikan sebuah surat bersampul putih, dengan pita pink di atasnya.

Jingga mengamati surat itu. Biasanya dia mendapat surat dari penggemarnya ketika di sekolah. Tapi kali ini berbeda. Surat dengan sampul cantik itu membuat Jingga terpesona, dia lebih dulu mendarat di tangannya daripada bangku kelas.

Untuk Nona yang tidak saya ketahui namanya.

Hai. Pertemuan pertama kita rupanya berlangsung baik. Sayang sekali saya tak mengetahui nama kamu. Karena itu saya mengikuti kamu ketika pulang, selain merasa khawatir melihat wanita tengah malam berada di jalanan. Saya punya prediksi, setelah ini saya dan kamu akan sering bertemu. Semoga tak bosan ya.

Salam kenal.

Bagaskara.

"Bagaskara? Siapa dia?" ucap Jingga.

***

Cuaca siang ini terasa panas. Sinar matahari sangat terik, membuat orang-orang tidak betah berada di luar ruangan. Sejujurnya Jingga juga malas keluar rumah, hanya saja dia harus menuruti perkataan Sam, jika tidak bisa-bisa Sam tak mau mengajarinya lagi.

Jingga berdiri di depan pintu rumah Sam. Pintunya tertutup, rumahnya juga terlihat sepi. Jingga mulai mengetuk pintu, namun tak ada jawaban. Dia membalikkan tubuh, menyadari sebuah mobil berjalan ke halaman rumah Sam.

Seseorang dari dalam mobil menghentikan laju kendaraan. Lantas membuka pintu dan berjalan ke arah Jingga. Dia mengenakan pakaian rapi, dengan celana levis panjang dan hoodie putih membuatnya terlihat semakin menawan.

"Udah lama nunggu?"

"Baru aja kok Sam."

Sam membuka pintu rumah, lalu melangkah masuk, diikuti Jingga di belakangnya. Mereka berhenti pada ruang tamu yang gelap. Tak hanya ruang tamu, semua ruangan di rumah ini bahkan terlihat sangat gelap.

"Belajarnya di sini aja." ucap Sam. Jingga hanya mengangguk dan duduk di kursi ruang tamu.

Sam mengeliling, menekan saklar lampu yang terpampang di beberapa tembok ruangan. Kemudian Sam masuk ke sebuah kamar, dan kembali menggunakan pakaian lebih kasual.

"Ayah kamu mana kok nggak keliatan?" tanya Jingga dengan pandangan mengeliling.

"Dinas di luar kota." Jingga mengangguk pelan.

Sam meraih buku yang diletakkan Jingga di atas meja. Dia membuka beberapa lembar, lantas menoleh ke arah Jingga.

"Kenapa? Ada yang beda sama saya ya?" tanya Jingga. Sam menggelengkan kepala.

"Saya mau tanya, selama kamu belajar sama saya ada yang kurang jelas?"

"Banyak Sam." seru Jingga secara spontan, membuatnya tiba-tiba menyadari ucapannya, dan tersenyum ke arah Sam.

Sam mengangguk pelan. Dia memajukan tubuhnya lebih dekat dengan Jingga, lalu menghadapkan sebuah buku ke arah Jingga. Jingga menelan ludah, menyadari wajahnya dan wajah Sam hanya berjarak beberapa senti. Dia memandang Sam yang saat ini tengah menjelaskan materi kepadanya. Matanya tak berkedip, tubuhnya panas dingin, jantungnya pun berdetak lebih kencang.

Suasana mulai hening, hanya ada suara Sam dan detak jam di ruangan. Jingga masih sangat fokus dengan perkataan Sam. Sesekali dia mencatat di buku kecil, catatan materi pribadinya ketika belajar bersama Sam.

Jingga mulai mengangguk-angguk paham, mendengarkan penjelasan Sam dengan seksama. Sam kini terlihat lebih beda dari biasanya. Cara mengajarnya sudah tak sedingin seperti hari-hari sebelumnya.

Beberapa menit berlalu. Jingga masih asik dengan materi yang saat ini tengah dipelajari. Sesekali dia melirik Sam. Sejak tadi Sam sangat fokus dengan tulisan Jingga, dia mengamatinya dengan seksama. Namun ditengah keseriusan, tiba-tiba cacing di perut Jingga berbunyi, memecahkan keheningan hingga Sam menyadari.

"Hehe. Maaf, belum makan." ucap Jingga polos.

Sam berdiri dari tempat duduk, dia berjalan ke arah belakang meninggalkan Jingga di ruang depan.

"Mau kemana Sam?"

"Bikinin kamu makanan."

"Emang bisa?"

"Nggak."

"Terus?"

"Ya belajar." balasnya. Jingga tersenyum lebar.

Wanita itu kini ikut berdiri. Dia berjalan mengikuti Sam. Langkah lelaki itu terhenti di dapur. Letaknya dekat dengan tangga menuju taman atap. Dapur rumah Sam terlihat sangat bersih, perkakasnya juga tertata rapi. Entah karena penghuni rumah tekun menatanya atau karena jarang memakainya?

Sam mengambil sebuah alat penggorengan berwarna hitam lengkap dengan spatula, dia meletakkannya di atas kompor.

"Suka telur?" Jingga mengangguk cepat.

Lihat selengkapnya