Hari ini Jingga datang pagi-pagi sekali. Dia berjalan melewati gerbang sekolah yang telah terbuka lebar. Keadaan sekolah masih sangat sepi. Hanya ada beberapa siswa sengaja datang pagi untuk melaksanakan piket harian, salah satunya Jingga.
Jingga melangkahkan kaki menyusuri lorong sekolahan. Dia bersenandung lirih, bersamaan dengan ketukan sepatunya. Wanita itu tersenyum sumringah, langkahnya terhenti di depan ruang guru. Dia memandang seorang lelaki paruh baya berdiri di ruang guru.
"Selamat pagi Pak Satpam." sapa Jingga dengan suara nyaring, membuat lelaki di hadapannya kaget dan menoleh seketika.
"Loh Neng Jingga ngagetin aja, tumben pagi-pagi gini udah berangkat?"
"Hehe, Jingga mau piket kelas Pak Satpam."
"Oalah. Oh iya, kalau piket kelas itu setiap hari ya?"
"Enggak juga Pak, kan tiap hari ada gilirannya."
"Oh ya?" Jingga mengangguk cepat.
"Tapi ya, akhir-akhir ini Bapak ketemu siswa yang berangkatnya pagi-pagi terus. Bahkan Bapak baru berangkat aja dia udah nunggu di depan gerbang." ucap Pak Satpam.
"Masa? Emang siapa Pak?"
"Itu, anak laki-laki yang pakai kacamata." Jingga terkekeh pelan.
"Bapak, di sekolah ini kan yang pakai kacamata banyak." Kini gantian Pak Satpam yang tertawa mendengar ucapan Jingga.
"Tapi dia beda."
"Beda gimana?"
"Pokoknya kalau Neng Jingga ketemu dia pasti suka deh. Wajahnya itu beda dari yang lain. Bapak yakin pasti di sekolah ini banyak yang suka." celoteh lelaki di depan Jingga sembari membuka pintu ruang guru.
"Baiklah, Pak Satpam. Nanti kalau ketemu orangnya tanyain ya namanya siapa." ucap Jingga membuat Pak Satpam terkekeh.
"Jingga duluan ya Pak Satpam."
"Oke Neng."
Jingga melanjutkan langkahnya menyusuri tiap ruangan, dia berhenti di depan kelas Sam. Kepalanya melongok ke dalam, namun ia tak mendapati siapa-siapa di sana. Lantas wanita itu kembali melangkahkan kaki.
Tepat di depan pintu kelasnya dia berhenti. Matanya mengarah ke samping, menatap dari kejauhan seorang lelaki seusia dengannya tengah berjalan. Jingga mematung, kini bibir wanita itu melebar dengan sempurna bersamaan datangnya seseorang.
"Sam?" Sam menghentikan langkah.
"Kamu pagi-pagi gini udah berangkat?"
"Saya piket." balas Sam.
"Saya juga piket. Kok bisa samaan ya?" Sam hanya mengedikkan bahu.
"Oh iya Sam." ucap Jingga seraya membuka resleting tasnya. Wanita itu mengeluarkan sebuah kotak makan berisi roti tawar dan isinya.
"Nih." Jingga memberikan kotak makan itu kepada Sam.
"Buat?"
"Buat kamu, sebagai pertanda ucapan terima kasih saya karena kemarin kamu mau nganterin saya pulang." Jingga tersenyum. Sam pun menganggukkan kepala.
"Oke, makasih." Sam meraih kotak makan itu dan berjalan meninggalkan Jingga.
Wanita itu mematung, menyaksikan punggung Sam semakin menjauh. Dia tersenyum kecil. Jantungnya kembali berdebar kencang membuat wanita itu harus mengatur nafasnya perlahan.
Jingga berjalan masuk. Dia meletakkan tas di tempat duduknya. Matanya memandang tumpukan surat beserta cokelat di atas meja. Namun, ada sebuah surat kecil begitu menarik perhatiannya. Surat paling sederhana dengan sampul polos berwarna oranye.
Jingga meraih surat itu, lantas membukanya perlahan.
Untuk wanita kecil paling ceria.
Ini adalah surat keempat yang diam-diam saya tulis. Saya tahu kamu tak akan membacanya, bahkan bisa jadi kamu akan membuangnya. Tapi tidak masalah, saya akan tetap merasa bahagia karenamu.
Jingga, saya ingin kamu tetap terlihat ceria, saya ingin kamu tetap menjadi Jingga yang periang. Saya ingin terus melihat kamu tersenyum untuk semua orang. Untuk saya, dan sekelilingmu.
Jingga tersenyum. Isi suratnya membuat Jingga berkaca-kaca. Namun si pengirim tidak melampirkan nama, hanya menyisakan gambar perahu kecil di bawahnya. Ini kali pertama dia merasa hidupnya sangat berarti. Dia merasa bersalah karena selalu mengabaikan seluruh surat yang ditulis banyak orang untuk dirinya.
Ternyata benar kata Orin. Jika tidak bisa menyukai, setidaknya menghargai. Dia menyadari selama ini tak pernah menghargai pemberian orang yang menyayanginya. Padahal bisa jadi dia adalah alasan orang lain untuk bahagia. Seperti isi surat yang barusan dibacanya. Kini Jingga merasa beruntung hadir ditengah-tengah orang baik dengan rasa sayang untuk dirinya.
Jingga melipat surat itu, lalu memasukkannya kembali ke dalam sampul. Dia meraih tumpukan surat-surat yang tergeletak di meja dan memasukkannya ke dalam tas.
Tak disadari, hari semakin siang. Matahari telah muncul dengan sempurna. Suasana di ruangan ini tak lagi hening seperti tadi. Banyak siswa mulai masuk ke ruangan ini.
"Hei!" panggil Orin. Wanita itu menepuk pundak Jingga, membuatnya kaget dan menoleh segera.
"Kenapa lo?" tanya Orin menyadari mata Jingga berkaca-kaca.
"Orin, besok lo harus bawa kotak-kotak yang isinya surat gue." ucap Jingga.
"Ada angin apa lo tiba-tiba minta dibawain?"
"Baru dapet pencerahan? Dari siapa?" Orin terkekeh.
"Pokoknya besok lo mesti bawa semuanya." tegas Jingga.
"Iya deh kalau nggak lupa." balas Orin kembali terkekeh.
***
Matahari sore ini tampak tak begitu terik. Cuaca pun cukup cerah. Langit kali ini tampak bersahabat. Lalu lalang siswa mulai berjalan menuju gerbang sekolah. Banyak yang menuju halte, banyak pula yang berjalan kaki.
Jingga berjalan menuju halte. Dia berdiri di antara kerumunan orang, menunggu seorang supir yang biasa mengantarkannya kemanapun. Beberapa saat ponselnya berbunyi, wanita itu merogoh saku seragamnya dengan segera.
"Halo?"
"Halo Neng Jingga?"
"Iya Pak?"
"Maaf Neng, kayanya Bapak telat jemput. Mobilnya mogok, ini lagi manggil tukang servis."
"Oh iya Pak nggak papa, Jingga pulang sama Orin aja."
"Oh iya Neng, hati-hati."
Wanita itu menutup ponsel dan berjalan memasuki halaman sekolah, mencari keberadaan Orin untuk menumpang pulang. Keadaan sekolah masih sangat ramai, dia tak mendapati Orin di parkiran. Jingga kembali berjalan ke halaman, mungkin menunggu Orin di depan gerbang adalah pilihan tepat.
Jingga berdiri tepat di depan gerbang. Sesekali kepalanya melongok ke dalam, namun mobil Orin tetap tak memunculkan keberadaannya.
Tiba-tiba saja mata Jingga tertuju pada lelaki di depan halte. Lelaki yang biasa ditemuinya. Lelaki berkacamata yang kala itu dia ikuti hingga ke rumahnya. Kini dia melihatnya kembali tepat di depan halte.
Tanpa banyak pikir, Jingga berjalan ke arah lelaki itu. Namun ketika baru tiba di sampingnya, lelaki itu melangkah masuk ke dalam metromini. Lagi-lagi tubuh Jingga terdorong beberapa orang di belakang yang mengantre ingin masuk. Tak ada pilihan lain, akhirnya Jingga menginjakkan kaki memasuki metromini itu.
Mata Jingga mengedar, mencari keberadaan lelaki yang semula ingin ditemuinya. Dia menemukan lelaki itu duduk di bangku paling akhir. Dia berjalan cepat dan duduk di bangku sebelahnya.
"Loh? Ngapain kamu disini?" tanya si lelaki.
"Mau pulang Sam."
"Nggak usah aneh-aneh lagi, cepet turun!" perintahnya.
"Saya nggak dijemput, jadi saya mau pulang naik metromini."