Sinar matahari pagi menembus sela-sela jendela kamar Jingga. Wanita itu masih dalam balutan selimutnya. Tangannya meraba ke meja kecil di samping tempat tidur. Dia meraih sebuah jam beker berbentuk bulat di meja itu. Lantas dia menampakkan wajahnya dari dalam selimut. Matanya membelalak mendapati jarum jam menunjukkan pukul 06.00 WIB.
Jingga segera bangun dari tempat tidur dan berlari menuju kamar mandi. Belum sampai 5 menit, dia sudah keluar dan segera mengenakan seragam sekolahnya. Wanita itu menguncir rambut seadanya, dan memakai sepatu dengan cepat. Jam di pergelangan tangan Jingga telah menunjukkan pukul 06.15 WIB. Untuk sampai ke sekolahnya dia harus memakan waktu sekitar 15 menitan, belum lagi jam-jam begini Jakarta sangat macet.
Sampai di sekolah, Jingga memohon kepada Pak Satpam agar membukakan gerbang. Untung saja Pak Satpam mau membukanya karena telah kenal baik dengan Jingga. Setelah sampai di halaman sekolah, Jingga berlari menuju kelasnya. Lagi-lagi hal baik selalu memihak Jingga, di kelasnya belum ada guru yang masuk, bahkan keadaan kelas masih ramai, jadi masih ada waktu untuk gadis itu bernafas lega dan mengelap keringatnya.
"Tumben banget terlambat." ucap Orin.
"Hampir."
"Iya deh. Habis ngapain aja lo semalem?"
"Semalem gue tidur nyenyak banget, bangun-bangun udah jam 6 aja."
"Buset! Tidur nyenyak lo bawa musibah juga ya."
"Kayanya gue emang nggak bakat tidur nyenyak deh." ucap Jingga. Orin menggelengkan kepala menyaksikan nafas teman di sebelahnya tengah terengah-engah.
***
Seperti biasa, keadaan kantin sangat ramai akan anak-anak yang terlihat tengah kelaparan hebat. Suasana di kantin sangat pengap. Beberapa kipas angin yang menyala tetap saja tak mampu memadamkan hawa panas di dalam sana.
Jingga dan Orin berdiri di dekat pintu masuk. Mereka tak berani masuk karena keadaan di dalam sudah sangat ramai. Orin mendengus kesal melihat banyaknya anak-anak yang rela mengantre demi makanan. Dia heran, selapar apa sih mereka hingga mau-maunya sempit-sempitan?
"Ke kelas aja yuk, males disini pengap."
"Bentar lagi Orin. Bentar lagi udah nggak ramai kok." balas Jingga.
"Lo mau disini? Gue balik ke kelas ya." Orin berjalan meninggalkan Jingga.
"Eh tunggu!" Jingga tak mau ditinggalkan sendirian. Gadis itu berlari mengejar Orin yang mulai berjalan menjauh.
Sepanjang jalan menuju kelas, pandangan Jingga mengeliling, seperti tengah mencari seseorang.
"Lo cari siapa sih?" Mata Jingga tak henti-henti mengeliling. Hingga tak sengaja dia menabrak seseorang di depan tubuhnya.
Jingga kaget. Dia menoleh seketika. Matanya berpapasan dengan mata Dimas, teman sebangku Sam. Jingga tersenyum lebar menyadari kebodohannya.
"Maaf ya Dimas, gue nggak sengaja."
"Iya nggak papa. Lagian kenapa kamu jalan nggak liat-liat sih?"
"Emang iya? Perasaan gue ngeliat jalan deh."
"Gila lo! Udah salah ngeles lagi!" timpal Orin membuat Jingga terkekeh pelan.
"Lo sendirian aja?" tanya Jingga.
"Iya, biasanya saya juga kan sendirian."
"Oh iya. Hehehe."
Jingga menggaruk kepalanya yang tak gatal. Gadis itu selalu begitu jika tengah merasakan malu ataupun dalam keadaan canggung. Orin di sebelahnya tahu betul bagaimana watak asli Jingga.
"To the point ada deh. Lo sebenarnya nyariin siapa sih? Sam?" tanya Orin menyadari Jingga tengah berbasa-basi dengan Dimas.
"Nah." Jingga mengacungkan jempol ke Orin, membenarkan perkataannya.
"Buset, gitu aja muter-muter!" seru Orin.
"Hehe. Sam mana?"
"Sam nggak berangkat." Mata Jingga membulat sempurna, sepeti mata boneka.
"Nggak berangkat kenapa? Sam sakit?"
"Enggak. Ada urusan keluarga katanya."
"Berapa hari?"
"Di suratnya sih 3 hari."
"Kok lama banget?"
"Lo kenapa sih?" Orin kembali merasakan keanehan pada diri Jingga. Jingga seperti bukan Jingga yang sejak dulu Orin kenal.
"Nggak papa. Emang gue kenapa?"
"Ya lo aneh aja gitu pas ngomongin Sam. Atau jangan-jangan?"
"Jangan-jangan apa?"
"Jangan-jangan lo..."
"Diem deh!" seru Jingga.
"Ya udah makasih ya Dimas." Jingga menarik tangan Orin, mereka berjalan menjauh dari Dimas. Dimas yang merasakan ada keanehan dari mereka berdua seketika menoleh ke belakang, menatap kepergian Jingga dan juga Orin.
Sampai di kelas, Jingga tetap tak melepaskan genggaman tangannya kepada Orin. Wanita itu berhasil membuat pipi Jingga merah merona.
"Lepas deh." Jingga melepaskan genggamannya seketika.
"Gue tahu lo udah lama, nggak biasanya lo kaya gini kalau ngomongin cowo. Kayanya gue tahu nih." Tatapan Orin membuat Jingga semakin salah tingkah.
"Tahu apa?"
"Ya tahu kalau lo khawatir selama 3 hari ini nggak ada yang ngajarin lo kimia dan nilai lo bakal turun kan?" celoteh Orin. Jingga menatap Orin dengan mirisnya.
"Iya, gue khawatir nilai kimia gue turun."
"Tapi ekspresi lo nggak kaya tadi?"
Jingga berjalan menuju tempat duduknya. Dia mencari ponselnya di tas dan mengeluarkan sebuah earphone.
"Jingga!" seru Orin. Jingga menoleh ke arah Orin. Orin berlari menghampiri Jingga yang tengah memainkan ponsel.
"Jingga, lo suka Sam?!" seru Orin dengan suara lantang, membuat seluruh anak-anak kelas menatap mereka. Jingga yang mendengar ucapan Orin mendadak menutup mulut Orin dan menariknya untuk duduk di kursi sebelah Jingga.
"Nggak usah keras-keras!"
"Sorry sorry."
"Jadi lo beneran suka Sam?" lirih Orin.
"Gue nggak tahu. Tapi setiap gue bareng Sam, tubuh gue itu bereaksi aneh."