Samudera

Annisa Yulianti
Chapter #9

Bagian 9

Jingga berjalan menuju kelasnya. Gadis itu terlihat tak bersemangat. Raut wajahnya terlihat pucat. Dia berjalan perlahan menyusuri koridor sekolah. Dari arah parkiran, Orin yang melihat Jingga tengah berjalan segera menghampirinya. Dia menyejajarkan langkah dengan Jingga.

"Pagi-pagi udah lemes aja kaya nggak ada tulang." ucap Orin sembari merangkul Jingga.

"Semangat banget gini dibilang lemes." balas Jingga.

"Terserah lo deh."

"Oh iya, bentar." lanjut Orin. Orin melepaskan rangkulan tangannya. Dia membuka resleting tasnya dan mengeluarkan sepucuk surat berwarna oranye lantas memberikannya kepada Jingga.

"Surat siapa?"

"Nggak tahu."

"Kok bisa ada di lo?"

"Tukang pos ngasih surat salah alamat."

Jingga memutar amplop surat itu. Dia menemukan sebuah kalimat terselip di tubuh amplop itu.

Untuk Jingga, gadis kecil paling ceria.

"Buat gue?"

"Kayaknya." Sampai di depan pintu kelas, Orin berjalan mendahului Jingga. Jingga masih menatap surat itu lekat-lekat. Lalu dia membukanya perlahan.

Kamu akan jauh terlihat cantik ketika tengah tersenyum. Jadi tidak boleh lemas dan harus semangat.

Prahu.

Jingga mendelik. Sontak gadis itu menoleh ke belakang dan sekitarnya, namun keadaan masih sangat sepi. Dia tak mendapati siapa-siapa. Jingga heran, siapa yang mengiriminya surat semacam itu.

Dengan segera Jingga berjalan masuk ke kelas, dia menghampiri Orin yang tengah memainkan ponsel di kursinya.

"Jawab jujur deh, ini surat dari siapa?"

"Nggak tahu Jingga."

"Mana mungkin lo nggak tahu? Jelas-jelas lo yang ngasih surat ini ke gue?"

"Nih denger ya. Tadi gue jalan lewat gerbang, ketemu Pak Satpam, terus dia nitip surat itu ke gue, katanya buat lo." tegas Orin.

"Masa sih?"

"Tanya sendiri kalau nggak percaya." tukas Orin.

Jingga mencerna perkataan Orin. Apa benar dia mendapatkan surat itu dari Pak Satpam? Apa yang mengiriminya surat selama ini Pak Satpam? Apa Pak Satpam menyukainya? Ah pikiran Jingga semakin mengada-ada.

Tanpa banyak berpikir lagi, Jingga berjalan keluar kelas menuju gerbang sekolah. Dia menghampiri Pak Satpam yang tengah meminum kopi.

"Pak Satpam?" panggil Jingga.

"Eh Neng Jingga, kenapa Neng?"

"Surat ini dari Bapak?"

"Iya Neng, tadi Bapak titipkan ke Neng Orin."

"Jadi Bapak?" Jingga menggantungkan ucapannya sembari menatap Pak Satpam. Pak Satpam terlihat bingung, lantas beliau menaruh gelas kopi yang semula akan di minumnya ke atas meja.

"Bukan gitu Neng." balas Pak Satpam setelah menyadari apa yang ada di pikiran Jingga. Jingga menghela nafas lega, syukurlah bukan Pak Satpam yang mengiriminya surat. Jika sedang overthinking begini kadang pikiran Jingga suka kemana-mana.

"Jadi gini, tadi pagi Bapak nemuin surat itu di meja. Terus Bapak baca tulisannya buat Neng Jingga. Di sekolah ini yang namanya Jingga cuma Neng Jingga kan?" Jingga menganggukkan kepala.

"Jadi surat ini dari siapa dong?"

"Ya Bapak nggak tahu."

Raut wajah Jingga berubah cemberut. Dia tidak tahu lagi harus mencari tahu pengirim surat itu kemana. Selama ini penulis surat itu hanya menampilkan gambar prahu kecil sebagai identitasnya. Jingga heran, tidak di rumah ataupun di sekolah dia selalu menerima surat itu. Meskipun isi suratnya membuat Jingga tersenyum, namun pengirimnya membuat Jingga kebingungan.

"Ya sudah terima kasih ya Pak Satpam."

"Iya Neng."

Jingga kembali berjalan ke kelasnya.

***

Hari ini Jingga malas keluar kelas untuk makan. Gadis itu tetap berdiam diri di kelas sembari membaca buku yang diberikan Sam. Padahal Orin telah menyuruhnya untuk ikut ke kantin, tapi tetap saja Jingga tak menyetujuinya.

Jingga tersenyum kecil membaca buku yang diberikan Sam. Kali ini dia lebih bisa masuk ke dalam alur ceritanya, meski belum banyak halaman yang dibaca.

Setelah istirahat, Pak Dahlan memasuki kelas Jingga. Beliau memberitahu mengenai ujian dan memberikan kartu peserta ujian yang akan dilaksanakan senin ini. Lantas seluruh siswa dibubarkan karena ruang kelas akan dipasangkan nomor ujian.

***

Malam ini Jingga tak tahu akan melakukan apa. Malam minggu kemarin Jingga tengah belajar bersama Sam di halaman belakang rumahnya. Namun malam minggu ini dia tak berniat sama sekali mengunjungi rumah Sam, karena Sam pasti tidak ada di rumah.

Jam beker di ujung meja tempat tidur Jingga menunjukkan pukul 19.00 WIB. Jingga melongok ke jendela kamarnya. Dia melihat jalanan depan rumahnya yang lumayan ramai kendaraan. Jingga benar-benar tidak tahu apa yang akan dilakukannya saat ini.

Lihat selengkapnya