Sang ini Jingga berdiri di depan rumah Sam dengan membawa beberapa tumpukan buku. Belum sempat mengetuk pintu rumah Sam, lelaki itu sudah muncul duluan hingga membuat Jingga kaget dan juga salah tingkah.
Sam mempersilahkan Jingga masuk. Dia membawa Jingga ke halaman rumahnya. Di sana terasa sangat sejuk, angin menghembus lembut dedaunan, menciptakan kesegaran di siang hari ini. Sinar matahari tidak begitu terik, cahayanya tertutupi rimbunan daun pohon besar di halaman sana.
Jingga duduk di kursi bawah pohon. Gadis itu meraih ponselnya dari dalam tas lantas dan membuka kamera. Ketika dia mulai memotret wajahnya, tiba-tiba Sam muncul di belakang tubuh Jingga, hingga tidak sengaja terpotret. Sam yang menyadari hanya melirik Jingga dengan tatapan kesalnya, sedangkan Jingga malah tersenyum memandangi foto itu.
"Sam, mau foto bareng nggak?" ajak Jingga. Sam membalas cepat dengan gelengan kepala.
Sudah Jingga tebak lelaki itu pasti tidak mau diajak foto bersama. Tapi tidak menjadi masalah untuk Jingga, bagi dia tidak sengaja wajah Sam terpotret di fotonya adalah keberuntungan yang luar biasa.
Jingga kembali meletakkan ponselnya di dalam tas. Gadis itu tak berani memainkan ponsel sewaktu belajar bersama Sam, dia takut Sam akan marah dan tak lagi mengajarinya kimia.
Mereka mulai belajar bersama. Sam sangat fokus menulis sembari menjelaskan materi kepada Jingga. Sedangkan Jingga hanya memperhatikan dengan detail apa yang dikatakan Sam sembari sesekali menulisnya di buku catatan kecil.
Angin siang hari ini kembali meniup lembut. Sinar matahari begitu cerah namun tidak terlalu terik. Mereka menyiapkan cuaca baik untuk sepasang remaja yang kini tengah duduk bersama. Bahkan tidak ada tanda-tanda sama sekali akan turun hujan. Keliatannya cuaca hari ini benar-benar tengah bersahabat.
***
Tidak terasa hampir 2 jam mereka menghabiskan waktu untuk belajar. Dari dalam rumah, Ayah Sam muncul tiba-tiba dengan membawa nampan berisi jus jeruk beserta cemilan.
Mata Jingga mengarah ke lelaki parah baya yang kini tengah berjalan ke arah mereka. Jingga tersenyum lebar ke arahnya, disambut hangat oleh beliau. Sedangkan Sam tetap saja dengan tatapan biasanya, lelaki itu bahkan tidak antusias dengan apa yang dibawa ayahnya.
"Nih buat kalian." ucap Ayah Sam sembari meletakkan nampan di meja.
"Terima kasih banyak Om." balas Jingga. Gadis itu langsung meraih gelas dan meminumnya.
Sam melirik Jingga. Dia memandang lekat bagaimana Jingga minum dan sorot matanya yang menatap lurus ke arah gelas. Mendapati Jingga memandang balik dirinya Sam langsung mengalihkan pandangan ke arah buku di depannya. Jingga tersenyum kecil, padahal dia sudah tahu bahwa sejak tadi Sam memandangnya diam-diam.
Sam berdehem agar keadaan tak terasa canggung. Dia kembali menuliskan sesuatu di bukunya. Sedangkan gadis di depannya malah sibuk memakan camilan kecil yang disediakan Ayah Sam.
"Sam, ini enak loh. Kamu nggak mau nyoba?" Sam menggelengkan kepala. Dia melepaskan kacamata dan memijit lembut kedua ujung alisnya.
Jingga memelankan gerakan mulutnya, dia fokus memandang Sam. Lelaki itu sangat terlihat tampan, apalagi lambaian angin sore hari ini membuat dirinya begitu menawan.
"Kenapa?" ucap Sam membuyarkan pandangan Jingga.
"Ah, nggak papa." Jingga terbata-bata, gadis itu mengambil kembali cemilan di depannya dan memasukkan dengan paksa ke dalam mulutnya. Namun tiba-tiba Jingga tersedak, sontak tangan Sam meraih gelas minum Jingga dan memberikan kepadanya.
"Kalau lagi makan nggak usah fokus kemana-mana." celoteh Sam kembali membuat Jingga malu dan terkekeh pelan.
Sam kembali memakai kacamata. Lelaki itu pun kembali fokus pada tulisannya. Sedangkan Jingga mengamati apa yang tengah di tulis oleh Sam. Namun seketika lelaki itu berhenti menulis.
"Ini tanggal berapa?" tanya Sam.
"18." balas Jingga. Sam menutup seluruh buku di meja dan menatanya dengan rapi. Lantas lelaki itu berdiri dari tempat duduk.
"Mau kemana?"
"Saya ada urusan. Kamu boleh pulang sekarang."
"Tapi Sam?" Jingga mengejar Sam. Gadis itu meraih buku-bukunya dengan segera dan menyamakan langkah Sam.
Sam keluar menggunakan jaket hitam legit yang biasa ia kenakan. Lelaki itu meraih kunci mobil yang tergeletak di meja ruang tamu. Lantas berjalan ke arah halaman luar.
"Sam, saya gimana?" tanya Jingga dengan raut wajah miris.
"Saya antar kamu pulang." Lelaki itu masuk ke dalam mobil, di lanjut dengan Jingga di sebelahnya.
Sam mulai melajukan mobilnya perlahan, melewati jalanan kota yang tidak terlalu ramai kendaraan.
"Sam saya belum mau pulang."
"Kamu harus pulang." Jingga kembali menampakkan wajah cemberutnya, dengan mata sendu yang sebentar lagi akan menangis.
Sam melirik Jingga. Raut wajah Jingga terlihat sedih. Ketika hampir tiba di pertigaan jalan menuju rumah Jingga, gadis itu menghela nafas berat dan menyenderkan tubuhnya ke kursi. Namun Sam tak membelokkan mobilnya, dia berjalan lurus meninggalkan belokan itu. Seketika Jingga melongo melihatnya dan gadis itu beralih memandang wajah Sam.
"Saya nggak mau bikin anak orang nangis." Jingga kembali tersenyum lebar mendengar ucapan Sam. Dia benar-benar tersenyum sumringah kali ini.
Langit sore hari ini begitu cerah. Terik matahari menyilaukan jalan sekitar. Lalu lalang kendaraan kota tak henti-hentinya berdatangan. Hilir mudik manusia pun seakan tiada hilangnya.
Jingga tidak tahu Sam akan membawanya kemana. Gadis itu hanya duduk manis menatap jalanan. Sedangkan lelaki di sebelahnya pun fokus menatap jalanan. Tidak ada perbincangan diantara mereka, yang ada hanyalah suara bising dari kendaraan lain.
Mereka berhenti di toko bunga yang kala itu pernah di datanginya. Kali ini Jingga tahu Sam akan membawanya kemana. Gadis itu ikut turun dan mengekor di belakang tubuh Sam.
"Eh Mas Sam." sapa Bapak penjual bunga yang tengah merapikan bunga.
"Buket biasa ya Pak. Dua."