Hari ini adalah ujian kenaikan kelas. Semua siswa datang tepat waktu dan mengikuti ujian sebagaimana mestinya. Tempat duduk telah diatur berdasarkan absen. Tidak ada satupun siswa yang datang terlambat.
Jingga berdiri di depan pintu kelasnya. Pintunya masih tertutup rapat. Belum ada seorang siswa yang datang mendahuluinya, itu tandanya kali ini Jingga datang pertama.
Gadis itu duduk di bawah lantai tepat di samping pintu kelas. Dia mengeluarkan buku dan alat tulis. Jingga kembali mengulang materi yang semalam ia pelajari. Belum lama membuka buku, hidung Jingga terasa gatal hingga dia bersin selama tiga kali. Ketika hendak mengelap hidungnya dengan tangan, sebuah tisu mendarat tepat di depan matanya. Sontak dia segera meraih dan mengelap hidungnya dengan tisu.
Jingga mendongakkan wajah ke atas. Dia mendapati Sam berdiri di depannya. Lantas lelaki itu berjalan meninggalkan Jingga tanpa sepatah kata.
"Makasih Sam." teriak Jingga. Namun Sam tak membalas apapun dan terus berjalan.
Sesaat kemudian anak-anak lain mulai berdatangan hingga tempat yang Jingga duduki telah ramai diisi teman-temannya.
Ujian kenaikan kelas akan dilaksanakan selama seminggu. Setelah itu akan ada penerimaan rapor dan juga libur panjang.
Selama masa ujian, Jingga selalu belajar bersama Sam. Gadis itu menjadi rajin membuka buku dan mengulang materi semenjak belajar bersama Sam. Menurut Jingga, cara penyampaian Sam sangat jelas, bahkan lebih jelas dari guru-guru di sekolah.
***
Satu minggu melaksanakan ujian telah berlalu, hari ini adalah hari yang sangat ditunggu-tunggu karena hari ini adalah penerimaan rapor kenaikan kelas untuk kelas 10 dan 11.
Jingga berdiri di depan pintu rumahnya. Gadis itu menunggu supirnya yang tengah mengeluarkan mobil dari bagasi. Setelah mobilnya keluar, dia segera masuk dan melaju ke arah sekolah.
Seharusnya hari ini dia datang bersama orang tuanya. Namun pagi-pagi sekali orang tua Jingga harus berangkat ke luar kota untuk menangani urusan kantornya. Jadi untuk kali ini dan seperti biasa, gadis itu mengambil rapor seorang diri.
Sampai di sekolah, Jingga berjalan melewati koridor sekolah. Banyak siswa-siswi yang berjalan dengan orang tua masing-masing. Jingga sangat rindu datang ke sekolah dengan orang tuanya. Terakhir kali orang tua Jingga mengambil rapor miliknya ketika ia masih SD, dan saat itu Jingga mendapati juara pertama. Mungkin sekarang orang tua Jingga tidak tahu bahwa anaknya tidak lagi mendapati juara pertama.
Gadis itu memasuki ruang kelas. Di dalam kelas, hanya dia sendirian yang mengenakan seragam. Anak-anak lain menunggu di depan kelas, sedangkan orang tuanya yang mengambil rapor-rapor mereka.
"Neng, orang tuanya mana?" tanya Ibu-ibu yang duduk di depan Jingga.
"Ayah sama Ibu saya kerja bu." ucap Jingga seraya tersenyum lembut.
Ibu-ibu itu pun membalas senyuman Jingga dan beralih dari pandangannya. Lantas beliau berbisik lirih ke arah Ibu-ibu di sebelahnya.
"Kasian. Anak kurang kasih sayang orang tua. Pasti orang tuanya jarang di rumah, jarang dipedulikan juga." ucapnya.
Jingga yang mendengar perkataan barusan hanya bisa tersenyum. Dia tidak marah. Bahkan hal itu seperti sudah menjadi kebiasaannya ketika mengambil rapor. Jingga memang tidak pernah diambilkan rapor oleh orang tuanya, bahkan orang tuanya jarang di rumah. Tapi dia selalu percaya jika orang tuanya selalu sayang dengan Jingga. Mereka kerja siang malam tidak lain untuk membahagiakan Jingga, karena itulah Jingga selalu merasa bahagia dan menjadi ceria semata-mata agar orang tuanya tidak mengkhawatirkannya.
Ketika nama Jingga dipanggil, gadis itu berjalan maju ke kursi depan guru. Dia berhadapan langsung dengan Pak Dahlan, wali kelasnya yang telah mengenal jauh Jingga dari kelas 10.
Pak Dahlan tidak pernah bertanya apapun kepada Jingga tentang alasan orang tuanya yang tak pernah mengambilkan rapornya ataupun menghadiri undangan sekolah. Beliau seakan sudah tahu alasan orang tua Jingga tidak datang ke sekolah. Karena itu beliau selalu memperbolehkan Jingga mengambil rapornya sendiri.
"Nilai kimia kamu udah lumayan naik dari biasanya. Terus ditingkatkan lagi belajarnya supaya UN bisa mendapatkan nilai terbaik. Oke?"
"Oke Pak." balas Jingga dengan senyum sumringahnya.
"Masih belajar sama Sam toh?" Jingga mengangguk.
"Sip. Ojo diuculna, eman-eman. Wes bagus, pinter maning." ucap Pak Dahlan dengan logat Jawa sembari mengedikkan kedua alisnya. Jingga yang tak paham apa maksud perkataan Pak Dahlan hanya bisa tersenyum dan menganggukkan kepala.
Selepas mengambil rapor miliknya, gadis itu segera berjalan keluar dari kelas dan membuka rapornya. Dia terkejut melihat nilai kimianya 80. Selama masuk SMA ini baru kali ini dia mendapatkan nilai kimia 80, biasanya Jingga akan mendapat nilai sama persis dengan KKM yaitu 75.
Jingga segera berlari ke kelas Sam. Lelaki itu tengah berdiri di samping Dimas, teman sebangkunya. Sontak dia datang dan tiba-tiba memeluk Sam. Lelaki itu kaget mendapati Jingga yang tiba-tiba datang dan memeluk dirinya. Melihat dirinya tengah menjadi sorotan, Jingga segera melepas pelukannya.
"Sam, liat deh nilai kimia saya di rapor 80. Saya seneng banget." ucap Jingga menyerahkan buku rapornya ke arah Sam. Sam meraihnya dan melihat daftar nilai Jingga. Dia lantas tersenyum kecil.
"Nilai rapor bukan nilai asli, dia gabungan dari nilai tugas dan nilai ujian. Buktiin UN nanti kamu harus dapat nilai 80 asli." Jingga tersenyum dan mengangguk.
Tiba-tiba saja seorang pria paruh baya keluar dari kelas Sam sembari membawa sebuah rapor. Beliau mendekat ke arah Sam.
"Gimana Om?" tanya Dimas antusias. Lelaki yang tak lain adalah ayah Sam pun tersenyum memandang mereka.
"Juara 1 lagi." ucap beliau.
"Udah ketebak." balas Dimas menggelengkan kepala.
Jingga yang mendengar pun ikut tersenyum sumringah. Sam memang laki-laki hebat, sedari awal Jingga mengenalnya di kelas 10 dia selalu menjadi juara kelas. Bahkan ketika kelas 10 awal pun dia pernah ditunjuk untuk olimpiade kimia, dan hasilnya dia memenangkan olimpiade tersebut.