Samuel dan Rania

Riwa
Chapter #2

Mereka Mengetahuinya

Rania berhenti mengetik esai tentang dua kerajaan untuk kelas Sejarah Indaya saat bel makan siang berbunyi nyaring di seluruh sekolah. Dia cepat-cepat mematikan notebook, memasukkannya ke dalam tas, menyimpan buku-buku referensi di rak buku dan berlari keluar perpustakaan.

“Jangan berlari di perpustakaan!” Bu Yobel mendelik saat Rania lewat di depannya.

“Maaf!” Rania terus berlari diiringi tatapan mencela Bu Yobel.

Ruang makan sudah dipenuhi anak-anak, saat Rania tiba. Dia segera berdiri diantrean, mengambil makanan, lalu mencari wajah yang dikenalnya disekian banyak meja yang sudah penuh dengan anak-anak yang sedang makan.

“Rani!” seseorang memanggilnya dari meja dekat jendela.

Rania membawa nampan makan siangnya, melewati beberapa meja dan tiba di tempat sepupunya Lilian Pramana. Ibu Lily adalah Giana Wadihan yang menikah dengan Harry Pramana. Ini tahun kelima Lily di Tranita, sama seperti adik Rania, Hugo. Sementara Rania ada di tahun yang sama dengan kakak Lily, Almeer.

Lily adalah gadis lima belas tahun yang luar biasa cantik. Wajahnya mungil dengan hidung, pipi dan bibir yang sempurna. Matanya indah berwarna cokelat. Rambutnya merah terang sama seperti semua Wadihan. Bedanya, rambut Lily jatuh lembut di punggungnya seperti air mengalir, sementara rambut Rania bergelombang berantakan seperti gelombang laut di musim angin Selatan. Rania kadang merasa ini sangat tidak adil. Darah Wadihan sama-sama mengalir di tubuh mereka, mengapa semua bagian terbaik ada di sepupunya ini? Apakah karena Rania mirip ibunya? Nama ibunya sebelum menikah adalah Herlina Ghazlan. Ghazlan adalah keluarga biasa yang berasal dari Selatan, yang merupakan wilayah paling miskin di Indaya. Karena kepintaran ibunya, maka dia diterima bersekolah di Tranita bersama-sama dengan anak-anak dari kalangan atas. Mungkin karena itulah, ibunya sering dibully saat masih sekolah. Ah, tapi itu tak akan mengubah apapun. Dari keluarga manapun ibunya berasal, dia tetap mencintai ibunya. Dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu tak akan mengubah perasaannya terhadap Samuel Mahendra.

“Rani, kau dari mana?” tanya Lily, setelah Rania meletakkan nampan makan siangnya di meja dan duduk. “Aku menelponmu. Kau tak pernah mengaktifkan smartphone­-mu, ya?”

“Aku di kelas Sejarah,” jawab Rania, mengambil sandwich sayur dalam nampan dan mulai makan.

 “Aku mencarimu di kelas Sejarah, tapi kata mereka kau sudah pergi sebelum kelas berakhir.”

“Aku di perpustakaan.”

“Oh.” Lily tak berkata apa-apa lagi. Karena pencapaian akademik Rania yang memuaskan, tak ada lagi yang mempertanyakan kenapa Rania harus menghabiskan waktunya di perpustakaan. “Tapi, mengapa kau pergi sebelum kelas berakhir?” tanya Lily setelah beberapa saat.

“Aku—” Rania memandang pot berisi tumbuhan hijau di sudut ruangan untuk mencari inspirasi. “—Aku lupa mengerjakan esai Sejarah-ku.”

“Oh.” Lily menggelengkan kepala, lalu kembali pada sup ikan, kentang goreng dan potongan daging ayam dalam nampannya.

“Dia tidak lupa mengerjakan esai Sejarahnya. Dia hanya ingin berada di luar kelas bersama Samuel Mahendra,” kata suara di belakang Rania. Beberapa detik kemudian Almeer Pramana muncul di dekat Rania dan duduk di sampingnya

“Hai, Al, aku juga tak melihatmu saat ke kelas Sejarah. Kau pergi ke mana?” tanya Lily pada Almeer.

“Seharusnya aku yang tanya kau ada di mana, Lily, aku pergi ke kelasmu dan kau tak ada di sana.”

“Kau tahu aku, Al, banyak yang menginginkanku bergabung di klub mereka. Aku memilih untuk bergabung dengan Ronald di klub merangkai bunga.”

“Ronald?” Al mengangkat alisnya.

“Ronald Noriman,” jawab Hugo. Dia muncul di belakang Rania dan duduk di samping Lily. “Cowok paling menyebalkan di angkatan kami. Aku tak tahu apa yang membuatmu menyukainya, Lily?”

“Dia baik padaku,” jawab Lily. “Dan yang terpenting dia tampan.”

“Iya, iya.” Hugo tampak bosan. Dia memandang Rania. “Rani, kudengar kau membolos Sejarah Indaya karena ingin berkencan dengan Samuel Mahendra.”

“Ha?” Rania terbelalak. “Siapa bilang aku berkencan dengan Samuel?”

“Kau jangan berkencan dengannya, Rani. Papa akan membunuhmu kalau dia tahu.”

“Aku tidak berkencan dengannya.”

“Tapi kau membolos dengannya?” tuntut Lily.

“Aku tidak—” Rania mendelik pada Al. “Al, kau—apa yang kaukatakan pada mereka?”

Lihat selengkapnya