Sanaya termenung di sudut ruang, memeluk kedua lututnya yang ikut bergetar. Tangisnya yang tanpa suara nyaris membuat seluruh tubuhnya bergetar. Baru saja beberapa jam lalu ia kehilangan sosok yang sangat ia sayangi. Neneknya, ibu dari ibu kandungnya telah berpulang pada yang Maha Kuasa.
Selama lima belas tahun, Sanaya melewati hari-harinya bersama wanita tua rentah itu. Sosok yang menyayanginya tanpa batas meski kadang Sanaya mendapat bentakan atau pukulan karena kesalahannya.
Nenek Saida, dialah pengganti ayah dan ibu dalam hidup Sanaya selama lima belas tahun ini. Kehilangan nenek Saida adalah hal yang luar biasa berat bagi Sanaya. Dunianya Seakan-akan runtuh saat itu juga. Saat ia menyadari jika ia telah kehilangan kekuatannya selama ini. Masa kecilnya yang begitu keras, kehidupannya yang serba kekurangan dan bisa dibilang nyaris tak layak untuk seorang anak yang sebenarnya masih memiliki kedua orang tua dalam hidupnya.Semua kesulitan ia lewati bersama nenek Saida.
Sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar, Sanaya bekerja keras untuk mendapatkan uang saku ke sekolah. Ia menjajakan es potong buatan salah satu tetangganya. Setiap pagi Sanaya kesekolah membawa termos es yang sebenarnya cukup berat untuk anak seusianya. Setiap jam istirahat, Sanaya berkeliling kelas untuknmenawarkan es jualannya.
"Sanaya akan ikut denganku. Dia akan pindah sekolah ke seberang".
" Sebelum meninggal, ibu sudah berpesan agar Sanaya tetap di sini. Ibu tidak mengizinkan Sanaya ikut denganmu, mbak".
"Kenapa? Dia putriku, anak kandungku. Tidak ada yang berhak melarangmu membawa Sanaya".
" Arwah ibu akan menghantuimu jika mbak masih memaksa membawa Sanaya. Suami mbak tidak begitu menyukai Sanaya. Apa lagi_".
"Apa lagi, apa ? "
"Tidak perlu Hana jelaskan mbak. Agama kita sudah berbeda, Sanaya tumbuh dan besar dalam iman Islam".