Hari itu, Sanaya harus kembali menunggu sampai pak Makmur datang membuka gerbang sekolah.
"Datang cepat lagi,nak? "
"Iya, pak. Mumpung ada tumpangan gratis".
Senyum Sanaya selalu saja lebar. Ia tak menyembunyikan keadaannya sama sekali pada semua orang.
" Lain kali, duduk di warung depan saja sampai saya datang. Disini kan sunyi kalau belum jam sekolah".
Pak Makmur rupanya menaruh simpati pada Sanaya. Kayaknya seorang ayah pada anaknya.
"Iya Pak, terimakasih".
Sanaya mengucapkan Terima kasih setelah ia memasuki halaman sekolah.
" Sama-sama, nak".
Sanaya kembali duduk di depan kelas. Ia kembali mengeluarkan buku persegi favoritnya juga sebuah pulpen.
hari ini, lumayan aman๐๐
Satu kalimat yang menggambarkan perasaannya yang masih baik-baik saja pagi itu.
"Sanaya!! "
"Hanan? Tumben datangnya cepat".
"Padahal tadi sudah buru-buru mau jemput kamu. Eh ternyata tetap kalah cepat juga. Lagipula, kenapa sih datang subuh-subuh". Nafas Hanan ngos-ngosan karena berlari dari area parkir sampai depan kelas.
" Subuh? Ini sudah hampir jam enam, Hanan".
"Tetap aja kecepatan, Sanayaaa".
Sanaya tak menanggapinya lagi. Ia masuk ke kelas, lalu duduk di bangkunya.
" Ada sesuatu untuk kamu. Tapi jangan di tolak ya, ini saya beli dari tabungan selama sebulan ".
Sanaya mengernyit, penasaran dengan hadiah dari Hanan.
Hanan mengeluarkan kotak persegi dari tas ranselnya.
" Sepatu? "
"Sudah jangan banyak tanya. Sini saya Pakaikan".
" Eh, jangan". Sangat tidak sopan jika ia membiarkan Hanan menyentuh kakinya.
"Sanaya sudah lah ini tidak ada orang lain. Sebelum mereka datang cepat pakai sepatunya".