Sanaya duduk di bangku teras rumahnya. Seperti biasa, ia melipat kedua kaki dan memeluk lututnya. Menatap langit tanpa bintang, dan hanya nampak guratan gelap yang bergerumul. Sepertinya akan turun hujan, angin yang bertiup juga terasa sangat dingin.
"Minum teh mu, jangan suka bengong. Pamali".
" Terima kasih, bi Hana".
"Kapan ibumu akan pergi? "
"Minggu depan".Jawabnya, singkat.
Sanaya sedang tidak ingin membahas soal ibu ataupun ayahnya dengan siapapun termasuk bibinya. Bagi Sanaya, dirinya sendiri saja sudah cukup.
" Kapan kamu akan pergi,biar bibi mengantarmu ". Sanaya diam, ia tak menjawab. Bukannya tidak ingin bertemu ibunya, tapi Sanaya akan sangat terpukul saat bertemu ibunya untuk terakhir kali sebelum ibunya pergi jauh.
" Jangan menangis Sanaya, bukannya kamu sudah terbiasa hidup sendiri? Ada atau pun tidak ayah dan ibumu semua akan sama saja. Takdir sudah memilihmu untuk menjalani semua ini. Hapus air matamu, masuklah. Jangan sampai orang lain lihat dan mengira bibilah yang sudah membuatmu menangismenangis".
Sanaya menurut. Ia masuk membawa gelas teh nya ke kamar sambil menahan tangis. Entah takdir apa yang ia jalani saat ini. Bahkan merindukan ibu kandungnya pun salah.
Sanaya kembali terisak, menyembunyikan wajahnya dalam pangkuannya. Nasibnya sungguh malang. Kedua orang tuanya masih hidup, tapi ia tidak pernah merasakan hangatnya kasih sayang mereka.
"Sanaya, kemasi bajumu. Kita akan menginap semalam di seberang. Spit pagi jam setengah tujuh, kita harus ke pelabuhan jam setengah enam".
Sanaya tak menyahut, tapi langsung menuju lemari kayu berukuran kecil miliknya. Ia memasukkan dua setel pakaian ke dalam ranselnya.
"Kamu ini bagaimana Rima. Memangnya apa salahnya jika anakmu datang berkunjung sebelum kamu pergi. Apa suamimu sama sekali tidak punya hati? "
Sanaya mendengarkan pembicaraan Hana juga ibunya di luar sana. Sepertinya mereka tidak akan jadi berangkat besok pagi.
"Ini bukan hanya soal uang jaminan Sanaya. Dia anakmu, darah dagingmu. Dia diam dan tidak menuntut apapun bukan berarti dia tidak merindukan ibunya. Kamu tidak tahu seperti apa sulitnya saya mati rasa dan berpura-pura tidak tahu setiap kali Sanaya menangis tanpa suara. Jadi Sanaya itu sakit, Rima. Penderitaan yang Sanaya rasakan selama ini tidak akan terbayar dengan uang pemberian suamimu yang tidak seberapa itu".
Sanaya semakin terisak, ia mengunci pintu kamar dan menangis di sana. Kenapa harus ada seorang anak sepertinya. Anak yang diabaikan dan tidak di beri hak untuk bahagia. Sanaya bahkan tidak pernah merasakan puas berada dalam hangatnya pelukan seorang ibu. Untuk tidur dan di peluk oleh ibunya, apalagi ayahnya.
"Sanaya, kamu sudah tidur? "
Sanaya menutup mulut, tak menjawab apapun sampai bibinya berhenti memanggilnya.
* * *