Rima memasukkan pakaiannya juga pakaian suaminya ke dalam koper. Air matanya terus mengalir tanpa siapapun yang tahu. Di kamar, ia mengunci diri agar suaminya tidak tahu apapun yang dia lakukan.
Tok
Tok
"Bu, ini Angela".
Rima bergegas mengusap air matanya lalu berdiri membukakan pintu untuk AngelaAngela, putri bungsunya.
"Bu, ada yang bisa Angela bantu? "
"Tidak, nak. Sebentar lagi selesai".
Angela menatap ibunya. Gadis dua belas tahun itu sudah mengerti semuanya. Ia memahami kesulitan apa yang ibunya rasakan saat ini.
" Ibu kapan mau menemui kak sanaya? Angela mau ikut, bu".
"Kita tidak akan menemui Sanaya. Ibu sudah bicara dengan Sanaya".
" Kenapa, bu? Kemarin ibu ke kota kenapa nggak ketemu kak Sanaya bu? "
"Angela sudah, kembali ke kamarmu. Bereskan semua barangmu".
" Kenapa bu? Sanaya juga anak ibu. Apa karena ayah? "
"Angela diam!!! Ayahmu bisa marah besar".
" Ibu dan ayah tidak adil. Apa bedanya kami sama kak Sanaya bu. Kami semua anak Ayah dan ibu".
"Sanaya bukan anak Ayah. Dia anak ibumu".
Hati Rima remuk mendengar ucapan suaminya yang sama sekali tak punya hati.
" Cu kup pak, cukup. Luka di hati ibu sudah cukup karena terpaksa mengabaikan Sanaya selama ini. Jangan lukai hati anak-anak dengan kata-kata ayah. Biarkan mereka saling menyayangi meskipun tidak bisa tinggal bersama".
"Apa ada yang salah dengan ucapanku. Sejak dulu sejak ibumu masih hidup dan membatasi Sanaya untuk tinggal bersama kita, sejak itu aku tidak mau menganggap Sanaya anakku".
" Ibu punya alasan untuk itu. Bapak tau persis alasannya ".
" Ya sudah, maka lebih baik menganggap Sanaya bukan bagian dari hidup kita".
Rima berteriak, tak bisa menahan semua kekecewaan di hatinya lagi. Mengabaikan kemarahan suaminya yang selama ini mengekangnya. Perasaanya sebagai seorang ibu yang terpaksa mengabaikan seorang putri meledak saat itu juga.