~ 7 Hari Setelah
Kematian Ayah Sanda Wijaya ~
Hari ini, genap 7 hari Ayah Sanda telah meninggalkan keluarga bahagianya. Satu minggu penuh, rumah kebagiaannya berubah menjadi rumah penuh duka. Setiap jamnya orang - orang silih berganti memasuki rumah Ayah Sanda yang luasnya tidak seperti di pikiran kalian. Pakaian hitam yang erat dengan tanda duka silih berganti memasuki rumah duka. 3 manusia terdekatnya, hanya dapat duduk bersimpuh sembari menyambut pelayat yang datang.
Semasa hidupnya, Ayah Sanda merupakan orang yang dikenal baik dengan sesama, pekerja keras, ramah dengan orang lain, dan memiliki relasi yang luas dengan dunia luar. Maka, tidak heran jika satu minggu ini. Rumah itu tidak pernah terlihat sepi akan manusia. Namun, hal itu tidak berpengaruh dengan 3 manusia yang tentunya merasa sangat kehilangan akan sosok Ayah dan suami tercintanya.
3 manusia yang merasa sepi di tengah keramaian. 3 orang yang berlindung dalam senyum terpaksa namun hati penuh dengan duka. 3 orang yang menampakan sisi kuat di balik sisi lemahnya.
***
"Putra ... tutup pintunya. Sudah malam, pasti sudah tidak akan ada yang datang." Suara lembut Ibu yang mulai terdengar kelelahan.
"Iya Bu." Putra Sanda menanggapi Ibunya.
"Ibu ... Hari kan udah satu minggu Ayah tiada. Tadi juga sudah pengajian untuk memperingati 7 hari Ayah. Besok bakal ada yang dateng lagi gak ya, Bu? Putri udah capek satu minggu bantu - bantu." Keluh Putri kepada Ibunya.
"Heemm ... " Ibu mendengus kecil sembari tersenyum kepada anaknya Putri.
"Kalian ini ... Yang meninggal itu Ayah kalian, Nak. Bagaimana pun kalian harus merawat peninggalannya. Jangan pernah mengeluh atas hal itu. Kalau kalian lelah itu wajar. Kalian sedih juga wajar. Asalkan jangan mengeluh. Kasihan Ayah, nanti dia nggak tenang di atas sana."
"Sebenarnya sih Bu. Putri nggak apa - apa kalau Ayah meninggal. Malah mungkin lebih ke seneng, Bu. Karena mulai saat ini nggak akan ada yang marah - marah ke Putri dan Kak Putra." Putri Sanda terlihat tidak ada beban mengutarakan perasaanya.
Pada saat itu, Putra Sanda pun telah kembali setelah dia menutup pintu rumah.
"Ibu sama Putri ngobrol apa sih? Kok kedengeran dari luar kayak serius gitu ngobrolnya."
Ibu dan Putri Sanda hanya diam tidak menanggapi pertanyaan Putra Sanda.
~ Fiiuhh ~
Ibu kembali menghela napas dengan berat. Dengan wajah sedikit tegang dia pun mulai memgutarakan apa yang telah suaminya titipkan padanya.
"Putra ... sini duduk di sebelah adekmu. Ibu mau ngomong sesuatu ke kalian berdua." Muka Ibu berubah menjadi lebih serius.
"Jadi Ibu mau tanya. Kenapa kalian dari dulu kelihatan nggak suka sama Ayah? Ibu baru berani tanya sekarang. Karena tidak mungkin Ibu tanya saat Ayah ada di antara kita."
"Sebenarnya Bu. Putra bukan bermaksud nggak suka sama Ayah. Cuma perlakuan Ayah ke kami berdua itu terlihat berlebihan, Bu. Di saat teman - teman Putra boleh main di luar. Main bareng, nongkrong, dan ngobrol. Ehh Ayah nggak bolehin. Malah disuruh belajar, belajar, dan belajar. Ayah itu terlalu memaksakan kehendaknya kepada kami berdua."
"Ohh begitu. Kalau Dek Putri gimana?" Ibu melontarkan pertanyaannya ke Putri Sanda.
"Tadi kan Putri udah ngomong sama Ibu. Kurang lebih apa yang Putri mau katakan hampir sama kayak Kak Putra. Putri nggak suka aja sama sikap Ayah yang terlalu mengekang anaknya. Putri masih kecil masak nggak boleh main sama temen - temen. Kan itu namanya mengekang ya, Bu." Gerutuan Si Putri Imut.