Pernikahan adalah awal dari sebuah kisah cinta sebenarnya.
"Kamu mau makan sekarang?"
Satu pertanyaan dari seseorang yang menepuk pelan lengannya membuat Marissa tanpa sengaja menjatuhkan tas yang ada di pangkuan. Tangan Marissa kalah cepat. Orang itu terlebih dahulu meraih tas Marissa kemudian mengembalikannya sembari memberikan bonus senyum paling tampan. Senyuman dari sang suami. Rakabian Soejarmoko.
“Mau makan?” ulang Bian lagi.
Marissa membimbing suaminya untuk duduk terlebih dahulu di sebelahnya. Rasanya tidak elok membiarkan Bian bicara sembari berdiri. “Kenapa, Mas?”
“Kamu mau makan sekarang?” tanya Bian lagi yang kemudian dengan manis menyelipkan helai anak rambut Marissa ke belakang telinga.
Marissa berusaha menampilkan senyum lembutnya lalu menggeleng pelan. “Nanti saja,” kilahnya.
Bian tidak langsung percaya pada senyum istrinya. Ia mencondongkan wajah ke arah Marissa. “Kenapa?” selidiknya dengan suara super rendah.
Marissa mencubit gemas pipi Bian. “Enggak ada apa-apa,” jawabnya yang kemudian mengalihkan pandangan pada indahnya bentangan kain bergelombang warna merah muda yang berpadu hiasan bunga aneka warna, alunan merdu musik juga hiruk-pikuk semua orang. Mereka larut dalam kebahagiaan pesta pernikahan.
Kalau dipikir, pesta ini jauh berbeda dengan pernikahannya dahulu. Mungkin karena adik iparnya menyetujui jodoh pilihan sang bunda. Salah satu gadis segudang prestasi cemerlang ditambah paras cantik jelita, serta galur keturunan tanpa cela. Boleh dikatakan akan menambah rentetan kebahagiaan sekaligus sempurnanya silsilah keluarga Soejarmoko.
Wajar rasanya bila pesta ini diselenggarakan sangat meriah, berkelas, penuh kehadiran orang penting seantero negeri. Dibandingkan dirinya, wanita yang mendampingi adik iparnya adalah sosok paling sempurna. Kenyataan ini menampar hati Marissa. Ada satu ketakutan yang seharusnya tidak tumbuh dalam hatinya.
Jalinan hangat tangan Bian di jemari membuat Marissa tercekat hingga ia kembali menatap suaminya itu. “Kenapa, Mas?”
“Loh, seharusnya aku yang tanya. Kamu kenapa?”
Marissa menggeleng. Ditatapnya lekat-lekat wajah suaminya. “Enggak kenapa-kenapa, Mas,” ucapnya sembari mengusap pipi Bian.
Satu lagi perasaan yang tidak perlu menyergap hati Marissa. Ia merasa suaminya amat sangat malang. Seharusnya Bian bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih baik. Dia ... Rakabian Soejamoko adalah penerus takhta Soejamoko Grup. Putra sulung pasangan Asmarini dengan Yusuf Soejamoko.
Rakabian atau yang biasa dipanggil Bian, dengan berani memutuskan menikahi gadis yang tidak memiliki nama belakang keluarga yang dianggap mumpuni. Pilihan hatinya jatuh pada seorang gadis biasa saja dan sialnya jauh lebih tua lima tahun darinya.
Biam menabrak semua aturan. Mengenyahkan stereotip mengenai keharusan mencintai sesuai kesetaraan derajat dan lainnya. Berteriak lantang dan tegas bahwa ia mencintai Marissa lalu nekat menikah di usianya yang kala itu baru saja menginjak seperempat abad.
Tangan hangat Bian menyentuh lembut pipi istrinya. Dialah, Marissa Aprilia Yuswandari, satu-satunya nama yang terpatri di lubuk terdalam hati. "Ada apa?" tanya Bian lagi yang semakin yakin saja kalau sikap diam Marissa adalah hal janggal.
Marissa kembali coba tersenyum lebih natural. "Enggak apa-apa, Mas. Hanya ikut berbahagia saja melihat Aris," jawab Marissa dengan harapan agar Bian berhenti menanyakan hal yang sulit dijelaskan.
“Kamu bohong sama aku,” lanjut Bian.
Sekali lagi Marissa meneguk sirop hambar hanya untuk sekadar membasahi bibir serta mengenyahkan rasa khawatir yang berhasil menguasai ia sepenuhnya.