Brenda memerhatikan wajahnya di cermin oval berbingkai kayu. Gadis itu terlihat cantik dengan baju yang dikenakan. Baju model jas dengan celana senada warna biru tua. Ia memiliki pendar mata yang bening dan bulu mata yang lentik. Lesung pipit di pipi kirinya juga terlihat sempurna. Tubuhnya tinggi semampai rambut hitam panjang sebahu. Bibirnya tipis dan selalu memerah. Paduan satin dengan balzer membungkus tubuhnya yang ramping. Ia terlihat modis.
Brenda tengah mengalami gejolak hidup yang tak sebanding dengan kenyataan. Kehidupan Brenda kini berbalik seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. Ia bukan lagi gadis kaya bergelimangan harta. Kini Brenda menjadi gadis miskin yang harus melunasi semua hutang-hutangnya di bank. Melunasi kartu kredit yang jumlahnya cukup besar, hingga ia jumpalitan mencari uang tambahan.
“Seratus juta rupiah? Oh my God… Darimana aku mendapatkan uang itu?” Ia bergumam dalam hati ketika mengingat hutang-hutangnya di bank.
Dunia terasa sesak hingga ia harus pontang-panting bekerja keras. Semua dilakukannya, sebelum para kolektor menagih ke rumahnya dengan hujatan yang dahsyat. Seperti debt collector yang baru-baru ini memaki-makinya karena menunggak pembayaran.
‘Oh Tuhan… Bantu aku…’ bisiknya dalam doa. Brenda menghela nafas sejenak, lalu mengaminkan doa yang setiap hari dipinta dalam sujud. Berharap dewi fortuna kembali ke pangkuannya.
Brenda mengambil stiletto coklat tua dari rak sepatu. Ia mengenakan sepatu itu di kakinya yang mulus. Sepatu hak tinggi dengan bentuk yang elegan. Sepatu itu ia beli beberapa bulan lalu. Ketika ia masih memiliki tabungan. Sedikit menunduk Brenda membetulkan sepatunya. Setelah itu ia merapikan baju berlengan pendek dengan paduan warna yang senada. Ia melirik penampilannya di depan cermin. Mengatur rambut indahnya yang sebahu dan menyelipkan anak-anak rambut ke daun telinganya. Ia tak ingin terkesan awut-awutan di depan perempuan bernama Maryati. Seorang pengusaha bunga segar yang memiliki beberapa toko di kotanya. Perempuan berusia 48 tahun itu menawarkan Brenda pekerjaan. Ia memiliki seorang putra bernama Ryan.
Brenda menerima tawaran itu dengan senang hati. Ini kesempatan, batinnya. Peluang yang menentukan jalan hidupnya.
“Lancarkan perjalananku ya Allah…” pintanya pada Yang Maha Kuasa.
Brenda menjadi seorang pengajar sejak beberapa bulan lalu. Sejak usaha kuliner yang ia jalankan mengalami kebangkrutan. Sejak semua pintu tertutup untuknya dan sejak mentari pun berpaling tak menatapnya. Brenda kehilangan segala-galanya. Pegangan hidup, kepercayaan diri dan orang-orang yang dekat dengannya.
Hampir saja Brenda putus asa, ketika uangnya disikat habis oleh cowok yang memanfaatkan hartanya. Cowok yang membuat Brenda kecewa karena ulahnya. Cowok itu berpoya-poya bersama gadis lain menggunakan kartu kredit Brenda untuk berbelanja dan hura-hura. Kini Brenda harus membayar hutang-hutang cowok itu ke Bank. Brenda jengah bila mengingat cowok itu. Kini semuanya telah sirna. Dunianya terbalik seperti roda pedati. Brenda jatuh miskin dan ia akan memulai kembali dari nol. Ia berusaha mencari pekerjaan, namun tetap saja dengan nada yang sama. Belum ada lowongan.
Ternyata penampilan cantik saja tidak cukup untuk menunjang sebuah lamaran kerja. Buktinya Brenda ditolak hampir sepuluh perusahaan. Brenda juga hampir putus asa ketika jalan hidupnya hampir tertutup. Ela menyarankan Brenda untuk memberikan ilmunya kepada anak-anak yang membutuhkan.
Ela, gadis berambut pendek seusia Brenda. Ia lebih beruntung dari Brenda yang punya pekerjaan tetap dan kekasih yang sangat setia. Gadis berkulit kuning langsat itu memang gadis yang pintar. Ia telah menyelesaikan kuliahnya di Melbourne beberapa tahun lalu.
Brenda menerima usul Ela untuk mengajar anak-anak dari rumah ke rumah. Les private yang kini menjamur di kotanya. Brenda bisa membanggakan otaknya yang lumayan encer.
“Sempurna,” batinnya.