Brenda terbangun ketika jam weker di atas meja kerjanya berdering kuat. Sudah jam tujuh dan ini saatnya Brenda memulai aktifitasnya. Semalaman ia disibukkan dengan rutinitas kerja yang berat. Menghadapi cowok ambisius seperti Baim membuat pikirannya kacau.
Brenda bangkit dari tempat tidurnya menghampiri daun jendela. Ia membuka gorden coklat muda, lalu membuka daun jendela. Udara pagi masuk mengisi ruang kamar. Kemudian Brenda berjalan menghampiri meja kecil dan menuang air putih ke dalam gelas. Tenggorokannya terasa kering karena berdebat dengan Baim.
Mata Brenda mengedar ke halaman depan. Ia terbayang lagi dengan wajah Ryan. Wajah itu mulai memenuhi benaknya. Ia membayangkan bagaimana kelanjutan hidup cowok itu. Bagaimana masa depannya.
Ponsel Brenda berdering. Ia tersentak, lalu mengambil ponselnya. Dari Baim. ‘Ughh… mau apa lagi sih?’ dengus Brenda kesal. Brenda menolak panggilan Baim. Ia bergegas masuk ke kamar mandi lalu membasuh tubuhnya. Pagi ini ia harus ke rumah Ryan
###
Brenda mengamati lukisan-lukisan Ryan di galerinya. Sangat artistik. Paduan warna yang merata dan sangat elegan. Goresan kuas yang lembut hingga terlihat seperti aslinya. Begitu halus dengan warna-warna yang natural. Lukisan-lukisan itu patut diacungi jempol dan bisa bersaing dengan pelukis-pelukis terkenal.
Ryan keluar dari kamarnya. Ia mengenakan jeans biru tua dan t-shirt putih. Tampak sangat tampan dengan potongan rambut model sekarang. Bibirnya merah basah dengan kumis yang dicukur namun masih menyisakan bekas cukuran. Matanya menatap Brenda dengan lekat. Tatapan itu benar-benar membuat Brenda salah tingkah.
“Ryan...?” sapa Brenda lembut dengan seulas senyum yang menawan. Ryan diam saja dengan ekspresi seperti biasa. Ia mengambil bola kristalnya yang terletak di atas buffet, lalu memainkannya berulang-ulang. Brenda mengikuti langkah Ryan ke balkon belakang.
“Kamu pergi. Ryan tidak mau kamu ada di sini,” ucap Ryan datar. Dahi Brenda berkerut, lalu ia berusaha membujuk Ryan.
“Aku hanya ingin berteman denganmu, Yan,” ucapnya lembut.
“Tidak. Ryan tidak mau teman,” Ryan menolak.
Brenda berusaha lagi membujuknya.
“Yah… mungkin saat ini Ryan tidak butuh. Suatu saat nanti Ryan pasti butuh teman,”
“Ryan tidak mau. Kamu pergi saja!” Suara Ryan mengeras.
“Yan… aku ingin jadi sahabatmu. Kita bisa main bersama,”
“Ryan tidak mau,”
“Yan... kedatanganku bukan untuk menyakitimu. Tapi aku ingin berbagi pengalaman denganmu,” pujuk Brenda lagi. Ia berusaha bersabar menghadapi Ryan. Seperti membujuk anak kecil yang sedang ngambek dan nggak mau makan.
“Ryan tidak mau!”
“Mungkin kita bisa bermain, atau berbagi ilmu. Seperti aku menyukai lukisan-lukisanmu,”
Ryan tidak memberi reaksi apa-apa. Ia diam sambil asyik dengan pikirannya. Brenda terus saja membujuk Ryan.
“Yan… beri aku kesempatan untuk menemukan jati dirimu. Aku akan membantumu,”
Ryan menatap Brenda tajam.
“Ryan tidak mau!” ucapnya ketus sambil meninggalkan Brenda di galerinya.
“Yan, dengar dulu penjelasanku,” Brenda mengikuti langkah Ryan.
“Pergiii!! Pergii!! Ryan tidak mau!! Ryan mau sendiri!!”
“Yan… sampai kapan kamu begini?”
“Ryan tidak perduli! Pergi kamu!! Pergii!!” Ryan membanting pintu kamarnya.