SANDIWARA CINTA

Embart nugroho
Chapter #11

Reuni Menyebalkan

Minggu pagi yang tak menyenangkan. Brenda duduk di teras depan sambil membaca beberapa surat kabar. Di meja kecil tersedia susu hangat buatan pembantunya dan sedikit cemilan. Beberapa menit yang lalu seorang debt collector menelponnya. Tagihan bulan ini sudah melewati batas pembayaran. Brenda pusing. Sementara ia harus menutupi hutang bank lainnya.

Handphonenya berdering tak karuan. Suaranya memadati ruang tamu.

“Bik… ambilkan hape saya,” Brenda menyuruh pembantunya. Malas juga ia bergerak kalau sudah PeWe. Posisi Wenak.

“Ini, Bu…” sang pembantu memberikan hp ke Brenda. Ia memperhatikan layar di ponselnya. Harap-harap cemas. Kostumer atau dari pihak bank?

“Ya halo…” sapanya lembut.

“Selamat pagi, Bu. Dengan bu Brenda?”

Deg… Jantung Brenda berdebug kencang. Ini pasti dari Bank.

“Ya, saya sendiri,” sahutnya.

“Kami dari bank X, Bu. Tagihan ibu sudah melewati jatuh tempo dan ibu sudah menunggak dua bulan. Kapan ibu mau bayar?”

Brenda kelabakan. “Hm… i..iya, Bu. Besok saya bayar,”

“Ibu dikenakan denda loh, Bu,”

“Nggak apa-apa, Bu. Nanti saya bayar juga dendanya,”

“Benar ya, Bu. Kalau tidak saya akan datang ke rumah ibu,”

“E..e.e.. nggak usah… Nggak usah repot-repot, Bu. Saya langsung aja ke bank…”

“Baik kalau begitu, saya tunggu. Terima kasih atas kerjasamanya,”

Klik.

Huh… Brenda melenguh. Satu lagi beban masalahnya. Bertambah terus-menerus. Seperti bom waktu yang kapan saja bisa meledak. Bagaimana ia mendapatkan uang begitu banyak? Untuk kehidupan sehari-hari saja dia harus pontang-panting.

Situasi begini memang tidak menyenangkan. Menjadi beban pikiran yang acap kali muncul ketika melihat credit card yang menumpuk di selipan dompetnya. Mengapa ia begitu tolol mempercayai cowok brengsek seperti Franky hingga ia harus dikejar-kejar kolektor.

Tiba-tiba handphonenya berdering lagi. Brenda tersentak dengan jantung tak teratur. Ternyata dari Ela. Sialan. Sampai spot jantung…

“Duhh… Ela… kalau mau telpon bilang-bilang napa? Aku kaget banget nih…”

“Mau bilang apa? Justru aku nelpon mau ngomong sama kamu. Memangnya ada apa sih? Kayak orang ketakutan gitu?”

“Tuh, para kolektor sadis. Mereka menghantuiku setiap hari, La. Sampai ke toilet aja aku dikejar-kejar. Kamu tahu sendiri kan ancaman para kolektor yang cerewetnya nujubila?”

“Makanya lunasi tuh tagihan. Pake kartu kredit nggak perlu banyak-banyak. Kalau begini kan repot,”

“Uuugghhh... Ela, bantu aku dong...”

“Salahmu sendiri,”

“Kamu nggak setia kawan,”

“Aku sudah memperingatkanmu. Jangan terpancing dengan tawaran-tawaran bank yang nggak jelas. Kartu kreditmu aja sampai sepuluh,”

Brenda cembetut. “Kamu keterlaluan, La,”

“Masa bodoh ah. Aku mau ke acara reunian. Kamu ikut?”

Brenda membelalak. “Reuni? Reuni apa-an?”

“Makanya kamu baca tuh undangan yang aku selipin di tasmu. Memangnya nggak kamu baca?”

“Aku nggak tahu. Lagi pula kamu baru memberitahuku sekarang. Salahmu sendiri. Aku gak ikut,”

“Ayolah, Nda... Kamu seperti kurang pergaulan aja,”

Lihat selengkapnya