Loby hotel terlihat ramai para undangan. Brenda mengenakan gaun coklat tua dengan aksesoris yang menawan. Kelihatan cantik dengan make up yang merata serta pemerah pipih yang lembut. Yuda terlihat di sudut ruangan bersama para tetamunya. Jamuan makan malam yang romantis.
Brenda memperhatikan teman-teman Yuda yang semua berstelan tuksedo dan gaun mewah. Sebagai pengusaha muda yang memiliki perusahaan dibidang industri tekstil, Yuda patut diacungi jempol. Ia pengusaha muda yang sukses.
Yuda menghampiri Brenda yang duduk sendirian. Senyumnya mengembang seraya mengangkat gelas minumannya. Brenda menatap Yuda dengan lekat. Ah… wajah itu benar-benar membuatnya mabuk kepayang.
“Maaf ya, aku mengacuhkanmu…” kata Yuda merasa bersalah.
“Nggak apa-apa kok, Yud… Aku maklum…”
Yuda duduk di dekat Brenda. Kemudian ia bertanya dengan ragu.
“Kamu bisa dansa?”
“Hmmm…”
“Ayolah, dansa denganku…” ajak Yuda.
“Aku nggak bisa, Yud…”
“Aku akan mengajarimu. Ikuti gerakanku dan kamu akan merasakan indahnya tarian lantai,”
Brenda tersenyum tipis. Yuda bangkit dan menggenggam jemari tangan Brenda. Mereka menuju lantai dansa yang sudah ada beberapa orang disana. Brenda mengikti gerakan Yuda dengan langkah-langkah yang rumit.
“Kenapa kamu tidak menikah lagi?” tanya Brenda disela-sela musik sendu yang membawa mereka pada tarian dansa yang lembut.
“Kamu suka dansa?”
Brenda tersenyum. “Jawab dulu pertanyaanku,”
“Yah… aku belum ingin cepat-cepat mencari pengganti… Aku takut seperti yang dulu.”
“Mengapa kamu pacaran dengannya?”
“Terpaksa!”
“Terpaksa?”
“Yah, aku dijodohkan orangtuaku. Padahal dia bukan gadis pujaanku,”
“Lantas, seperti apa gadis pujaanmu?”
“Yah… simple aja, yang mengerti tentangku,”
Brenda kembali mengikuti gerakan Yuda. Ia mendekatkan wajahnya ke dada cowok itu hingga mendengar detak jantungnya yang seirama.
“Apa kegiatanmu sehari-hari?”
“Aku mengurus bisnis papaku dan membuka sebuah restoran. Yah… dengan pengunjung yang cukup banyak. Kudengar kamu juga menggeluti dunia kuliner. Bagaimana restauranmu?”
“Aku bangkrut. Aku menyudahi usahaku dan menjadi gadis biasa tanpa karir tanpa pendamping…”
“Jadi kamu belum punya pendamping juga?”
“Yah, begitulah kenyataanya,”
“Padahal kamu gadis yang cantik, Nda…”