Brenda memperhatikan bunga-bunga segar yang baru saja tiba di toko Maryati. Jenisnya bermacam-macam. Bunga-bunga import pesanan seorang pengusaha. Ini sudah hari kelima. Brenda tidak punya cara menaklukkan kepasifan Ryan. Ia belum punya jurus agar Ryan menerimanya menjadi pengajar.
Di meja kerja Maryati terletak sebuah buku karya Khalil Gibran. Brenda meraih buku itu dan membukanya. Membaca bait-demi bait kata-kata di dalamnya.
“Tante penggemar Khalil Gibran?” tanya Brenda disela kesibukan Maryati.
Maryati menghentikan kegiatannya.
“Itu milik Ryan. Dia sangat mengagumi sosok Khalil Gibran. Tante disuruh membaca,” Maryati tersenyum sipu. Brenda manggut-manggut.
“Ryan suka membaca buku sastra?” berkerut dahi Brenda.
“Ryan belajar membaca sejak masih kecil, Nda. Walaupun tidak begitu lancar, tapi Ryan gemar membaca buku,”
Brenda manggut-manggut.
“Sebentar, Nak Brenda. Saya panggilkan Ryan,” Maryati berlalu dan menuju kamar Ryan.
“Nggak usah, Tante. Biar saya saja yang membujuknya,” tepis Brenda sambil melangkahkan kakinya.
“Kamu tidak keberatan?”
Brenda menggeleng sambil tersenyum. “Nggak, Tante… Boleh saya pinjam bukunya, Tante?”
“Silahkan,”
Brenda beranjak dari toko Maryati menuju sebuah gazebo yang terletak di belakang rumah. Di halaman belakang ditumbuhi pohon-pohon rindang dan beberapa pot bunga yang tergantung di batangnya. Perlahan Brenda menaiki anak tangga dan menghampiri kamar Ryan. Dia mendadak saja terkejut ketika Ryan membuka pintu secara tiba-tiba. Pandangannya tajam dan dingin, membuat Brenda merinding seketika. Brenda salah tingkah melihat cowok autis seperti Ryan yang memiliki wajah tampan.
“Mau apa kamu kemari?” tanya Ryan kaku.
“Aku ingin bersahabat denganmu,”
“Untuk apa?” Ryan beranjak meninggalkan kamarnya sambil memainkan bola kristal. Brenda mengikuti langkah Ryan, lalu berujar.
“Yan… sahabat adalah kebutuhan jiwa yang mendapat imbangan. Kamu hampiri sahabat dikala hati gersang kegelapan dan mencarinya di kala jiwa membutuhkan kedamaian,”
Ryan berbalik. Kata-kata itu pernah dibacanya suatu ketika.
“Dari mana kata-kata itu?” tanya Ryan menyelidik.
“Aku sangat mengagumi karya-karya Khalil Gibran dan itu salah satu dari beberapa tulisannya. Carilah sahabat untuk bersama menghidupkan sang waktu, sebab dialah orang yang mengisi kekuranganmu, bukannya untuk mengisi keisenganmu,”
“Aku suka Khalil Gibran,” ucap Ryan pendek.
“Kalau begitu kita sama-sama mengagumi Khalil Gibran. Apakah kamu tetap dengan pendirianmu?”
Ryan terdiam. Ditatapnya wajah Brenda dengan lekat, lalu berjalan ke gazebo. Brenda mengikuti langkah Ryan sambil menikmati hembusan angin yang semilir. Ryan tidak peduli dengan ucapan Brenda. Dia asyik memainkan bola kristalnya.
“Kamu mau bermain denganku, Yan? Aku punya permainan,”
“Aku nggak tertarik,”
“Ayolah, Yan... aku akan menjadi sahabat baikmu...”
Ryan duduk diikuti Brenda.
“Kamu membuatku takut,”
Brenda hampir tertawa mendengarnya.
“Takut? Hahahaha...” akhirnya meledak juga tawa Brenda. “Kamu itu lucu, Yan... Aku nggak perlu ditakuti. Aku teman yang baik hati,”
Ryan diam sambil memperhatikan Brenda. Brenda yang melihat wajah Ryan sontak terdiam.
“Maaf, Yan...”
“Kamu lucu,” ucap Ryan datar tanpa ekspresi. Kemudian ia tersenyum tipis.
Oh my God... Ryan tersenyum...
Maryati mengintai dari celah-celah tokonya. Memperhatikan cara Brenda mendekatinya. Bukan Brenda yang pertama kali ingin mengajar i Ryan tapi sudah ada beberapa orang yang tidak sanggup dengan sikap Ryan. Maryati tersenyum, ternyata Brenda sudah memasuki dunia Ryan. Ini langkah awal. Tinggal mengatur langkah berikutnya.
Mereka duduk di kursi taman berhadapan. Ryan hanya diam sambil memainkan bola kristalnya. Brenda berusaha mencuri perhatian Ryan. Brenda memberikan permainan-permainan sederhana agar Ryan tidak cenderung diam. Permainan menebak gambar, mencari tahu apa yang ada di balik kotak dan ada beberapa permainan lagi.
Awalnya Ryan tidak bereaksi, namun begitu Brenda memberikan isyarat-isyarat dengan jari tangannya, Ryan seolah mengingat sesuatu. Ia mengingat gadis yang pernah dicintainya dulu. Gadis itu berbicara dengan isyarat tangannya. Ryan seperti bertemu kembali dengan gadis itu.