Maryati panik ketika melihat Ryan pulang dengan bibir berdarah. Dia tahu kelakuan Ryan pasti merepotkan orang di sekitarnya.
“Kamu kenapa, Yan?” tanya Maryati dengan perasaan kalud. “Ryan berkelahi?”
Ryan menggeleng, lalu menunduk.
“Kenapa dengan Ryan, Nda?” tanya Maryati panik.
“Hhh… tante… Maafkan saya…” Ujar Brenda menyesal.
“Yan… katakan pada mama, Ryan berkelahi?”
“Ryan tidak suka kelahi,” kata Ryan gugup.
“Lantas kenapa bibir Ryan berdarah?” Maryati melihat bibir Ryan yang mengeluarkan cairan merah.
Ryan tidak menjawab. Ia duduk sambil memainkan bola kristal yang selalu dibawanya.
“Hh… maafkan saya, Tante,” ujar Brenda kemudian. “Tadi ada sedikit masalah di restoran. Itu bukan salah Ryan,”
Maryati terkejut. “Ada perampok di restoran?”
Brenda menggelang.
“Bukan. Tapi ada seorang laki-laki yang berbuat onar. Ryan ingin melindungi saya, Tante,”
“Oh, ya Tuhan.... Kamu tidak apa-apa, Nda?”
Brenda mengangguk pelan. “Saya baik-baik saja, Tante,”
“Syukurlah…” Maryati menghela lega. “Hati-hati, Nak Brenda. Jaman sekarang orang pada nekad melakukan apa saja,”
“Iya, Tante. Saya minta maaf, kejadian ini menimpa Ryan,”
“Tidak apa-apa. Ini bukan kesalahanmu,”
“Kalau begitu saya permisi dulu, Tante. Saya mau menenangkan diri dulu. Saya benar-benar shock...”
“Silahkan, Nak Brenda. Hati-hati di jalan.”
Brenda mengangguk sambil berlalu. Pikirannya kacau. Seperti ditumpuki berton-ton kerikil. Mengapa kehidupannya jadi berantakan seperti ini. Brenda berkali-kali menghela berat. Kelakuan Baim masih terngiang di matanya. Cowok itu benar-benar nekat.
###
Baim dirawat di rumah sakit setelah menelepon orangtuanya. Mereka tidak terima atas apa yang sudah menimpa putranya. Orangtua Baim berusaha mencari rumah Ryan. Mereka ingin menuntut atas tuduhan penganiayaan.
Maryati terkejut ketika beberapa polisi datang ke rumahnya. Wajahnya terlihat pias dengan kehadiran mereka.
“Kami akan membawa putra ibu,”
“Putra saya? Memangnya ada apa dengannya?” tanya Maryati heran.
“Putra ibu menganiaya seseorang...”
Maryati terdiam dengan pandangan tajam. Ia menarik nafas dengan berat lalu mengelus dadanya.
“Anak saya tidak bersalah, Pak. Apa yang bisa ia lakukan? Itu tidak mungkin, Pak?!”
“Maaf, Bu. Ini perintah dari atasan saya. Lebih baik serahkan anak ibu segara, agar masalahnya tidak semakin panjang,”
“Pak... Tolong... anak saya tidak bersalah,”
“Kita bereskan di kantor polisi saja, Bu. Laporan yang kami terima begitu adanya. Jadi kalau ingin melindungi anak ibu sebaiknya ibu ikut ke kantor polisi,”
Beberapa polisi mencari keberadaan Ryan. Mereka menggedor kamar Ryan yang ketakutan. Ryan menjerit-jerit sambil menunduk. Ia benar-benar shock dengan kehadiran laki-laki berperawakan tinggi besar dan menariknya dengan paksa. Ryan meronta-ronta, namun mereka tetap membawa Ryan dengan paksa. Maryati tidak dapat berbuat apa-apa selain menangis hingga tubuhnya terguncang.