Sudah dua hari Ryan berada di rumah sakit. Belum ada perubahan, namun Ryan sudah sadar dengan menggerakkan jari-jari tangannya. Maryati dengan penuh kasih sayang menunggu putranya di ruang perawatan.
“Bagaimana keadaan anak saya, Dokter?” tanya Maryati ke dokter yang menangani penyakit Ryan.
“Anak ibu baik-baik saja. Biarkan dia istirahat ya,”
“Terima kasih, Dok…”
Maryati menatap Ryan dengan senyuman tipis dan mata berkaca-kaca.
“Syukurlah anakku… kamu baik-baik saja…”
Maryati duduk di samping Ryan sambil terus berdoa. Ryan membuka matanya dan menatap Maryati.
“Ma…” ucapnya serak.
Maryati tersenyum. “Ya, Sayang…. Mama disini. Kamu sudah sadar?”
Ryan mengangguk. “Ryan mau cinta, Ma…”
Kata-kata itu lagi yang membuat Maryati terpaku. Seberapa besarkah rasa cinta putranya kepada gadis dalam lukisan itu?
“Iya, Sayang… Mama tahu… Tapi mama tidak tahu siapa Ryan cinta?”
“Ryan mau cinta…. Ryan mau cinta….”
Maryati berusaha membujuk Ryan agar tenang di tempat tidurnya. Ryan diam dan meminta bola kristalnya dari Maryati. Ia membiarkan Ryan menenangkan pikirannya dengan bola itu, lalu ia keluar dan duduk di bangku tunggu.
###
Suara tapak sepatu terdengar di koridor rumah sakit. Itu suara sepatu Brenda. Brenda mengenakan stiletto dan membawa seikat bunga segar. Berjalan menuju ruang perawatan Ryan.
Brenda melihat Maryati yang wajahnya terlihat sedih.
“Pagi, Tante…” ia menyapa perempuan baya itu dengan seulas senyum.
“Brenda… kamu sudah datang?” Maryati menghapus matanya yang sempat merebak.
“Sudah, Tante…” Brenda duduk di sebelah Maryati. “Bagaimana keadaan Ryan?”
“Sudah mulai membaik, hanya saja ia butuh istirahat penuh,”
“Oh…”
“Nda...” gumam Maryati pelan. Brenda menoleh, menatap wajah perempuan itu yang tampak sangat lelah.
“Boleh saya minta bantuan kamu?” ujar Maryati.
“Apa yang bisa saya bantu, Tante?” tanya Brenda ingin tahu.
Maryati menoleh ke Brenda. Menatap gadis itu dengan lekat, namun pendar matanya yang bening tak mampu berucap. Brenda sedikit bingung melihat Maryati.
“Saya ingin kamu berpura-pura mencintai Ryan...” ucapnya penuh harap.
Brenda sedikit terkejut.
“Maksud, Tante?” Brenda mengerutkan keningnya.
Maryati menghela sejenak. “Saya akan memberi dua ratus juta untukmu, Nda. Kamu harus meyakinkan Ryan, kalau kamulah gadis dalam lukisannya itu,”
“Tapi, Tante...”
“Tolong, Ndaaa... Ini hanya sebulan saja...”
“Itu tidak mungkin, Tante. Bagaimana kalau Ryan tahu saya hanya bersandiwara? Ryan akan semakin terluka...”
“Itu tidak akan terjadi, Nda...”
Brenda terdiam dengan pikiran bingung. Ia tidak dapat memberikan keputusan begitu saja ke Maryati. Tawaran itu sangat tidak mungkin diterimanya, namun dengan imbalan yang begitu besar dan demi melunasi hutang-hutangnya, Brenda meminta waktu beberapa hari untuk menjawabnya.
“Beri saya waktu, Tante...”
Maryati tersenyum tipis. “Baiklah... saya akan menunggu keputusanmu, Nda.”
Brenda mengangguk canggung.
“Saya melihat Ryan dulu, Tante...”
Brenda masuk ke ruang Ryan, lalu duduk di kursi. Brenda memperhatikan wajah Ryan dengan lekat. Cowok itu sudah tertidur. Kepalanya diperban dan lengannya terlihat bengkak. Keadaan Ryan sangat memprihatinkan.
###