Kata orang, melukis adalah kegiatan seni menggambar menggunakan cat, yang mana sang seniman harus menomorsatukan unsur seni itu sendiri ketimbang unsur lainnya. Berulang kali aku memikirkan definisi itu, tetap saja kalimat tersebut tak masuk akal logikaku. Aku terganggu dengan kata “harus” yang terselip di sana. Bagiku, tidak selamanya pelukis harus mementingkan unsur seni. Pelukis‒macam diriku‒tak melulu hanya memikirkan idealisme seni ketika hendak melukis. Bahkan, aku sangat setuju jika idealisme melukis diawali dengan kesadaran akan kemampuan diri sendiri.
Kemampuan yang kumaksud tentu saja bukan kemampuan melukis. Mana ada seseorang yang mengaku sebagai pelukis tetapi tak memiliki kemampuan melukis? Itu konyol. Yang kumaksud adalah kemampuan lain selain melukis.
Sebut saja kemampuan finansial.
Aku sama sekali tak peduli jika pelukis-pelukis lain rela merogoh kocek yang tak sedikit hanya untuk memenuhi tuntutan idealisme. Demi sesuatu yang katanya seni, bahkan ada saja pelukis yang betul-betul tak berniat menjual lukisannya sekalipun sudah ada penikmat seni yang menawar lukisannya dengan harga tinggi. Sungguh, itu tidak salah. Aku pun tidak meributkan hal itu. Hanya saja, diriku tak seperti itu.
Jika aku memosisikan diri sebagai seorang pelukis, pertanyaan paling hakiki yang perlu kuajukan pada diri sendiri sebelum memulai sebuah karya justru adalah soal uang, bukan seninya. Berapa banyak uang yang kupunya? Kurang lebih seperti itu pertanyaannya.
Jika saja aku memiliki uang, aku akan membeli kanvas ukuran besar, cat minyak atau akrilik dalam jumlah yang melimpah sekaligus kualitas yang baik, kuas dengan berbagai macam ukuran serta bentuk, palet yang memadai, dan perlengkapan lain yang sekiranya menunjang hasil lukisanku.
Itu jika aku memiliki uang.
Nyatanya, saat ini aku malah memerlukan uang.
Aku sedang butuh uang, dan oleh karenanya aku perlu berpikir ulang sebelum merealisasikan ide lukisanku itu.
Sudah dua hari aku membongkar gudang rumahku, mencari sesuatu yang bisa diubah menjadi uang. Secara ajaib, aku justru menemukan kanvas yang bingkainya sudah berjamur dan juga lapuk. Entah dari mana kanvas itu berasal, tetapi aku curiga itu ulah mama.
Mama dulunya adalah seorang pelukis. Kalau punya uang, beliau biasanya membeli beberapa kanvas sekaligus, lalu menyimpannya sebagai persediaan. Hanya saja, tuntutan sebagai ibu rumah tangga dan mengurus tiga anak membuat dirinya lambat laun harus merelakan kuasnya hanya sebagai pajangan lemari.
Dan ulah mama itu sepertinya sudah lebih dari dua atau mungkin tiga windu yang lalu. Debu yang menempel di permukaan kanvas sudah tidak dapat disingkirkan dengan cara disebul. Debu yang ini harus sedikit diusap menggunakan lap basah, kemudian diangin-angin untuk menghilangkan baunya. Bingkainya pun mudah hancur bila diremas tangan. Dengan sangat hati-hati, aku lantas menyingkirkan remahan-remahan bingkai, sehingga tidak sampai merusak kainnya.
Kanvasnya kini sudah bersih, tetapi belum bisa digunakan lantaran tak memiliki bingkai. Satu-satunya yang bisa kulakukan di tengah keterbatasan dana adalah memakai siasat cerdik agar kanvasnya bisa digunakan sebagai media lukis.
Di dekat rumahku, ada bengkel pembuat kosen pintu. Bengkelnya sangat ramai dan selalu terdengar bunyi ‘ngiyeeng’ yang memekakkan telinga ketika mesin amplas menggerus permukaan kayu. Kebisingan itu bahkan sempat menjadi bahan perjunjingan dikalangan ibu-ibu perumahan. Aku tentu tak mengikuti akhlak ibu-ibu itu. Aku lebih memilih untuk tetap berjalan santai sambil mengucapkan “permisi”. Persis seperti kebiasaan sebagian orang jika melewati kuburan. Ada kalanya aku juga menambahkan mimik ngilu. Dengan harapan, mereka akan menghentikan proses amplasnya, sehingga debu kayunya tidak mobal-mabul ketika aku lewat. Perasaan merinding ngilu pun tak perlu menggelitik telingaku.
Dari adabku selama ini, aku yakin si pemilik bengkel menandai sosokku sebagai pemakai jalan sekaligus tetangga sekalipun aku bukan siapa-siapa di wilayah tempat tinggalku. Namun minimal, aku ingin dia‒yang kerap membuat kebisingan‒merasa sungkan jika kali ini tidak menolongku.
“Permisi, Pak!”
“Eh, Non Ester! Tumben mampir ke sini. Ada perlu apa?”
Jawaban itu membuatku tersenyum lebar. Si pemilik bengkel rupanya tak hanya menandaiku sebagai sosok pemakai jalan, tetapi juga mengetahui namaku. Dan itu sudah cukup kujadikan modal.
“Saya kangen sama suara ‘ngiyeeng’,” sahutku basa-basi. “Anu … sebenarnya saya mau minta tolong.”
“Ah, ada-ada saja kamu ini. Minta tolong apa?”
“Minta tolong dibikinkan bingkai untuk kanvas saya, bisa?” pintaku seraya menyerahkan gulungan kanvas.
Kening si pemilik bengkel berkerut ketika menerima gulungan kanvas. “Bisa sih. Ayo, tunggu di dalam saja!”
Si pemilik bengkel memintaku menunggu. Setengah jam berlalu, ia kemudian kembali dengan kanvas yang telah terbingkai.