Trok … trok … trok … trok … trok … trok …
Suara Piak-kou[1] mengawali pertunjukkan seni wayang potehi. Semaraknya kian gaduh tatkala gembreng bergabung dalam ensambel. Udara sekeliling bergetar. Iringan rebab kemudian menyusup perlahan seperti asap. Mengeluarkan nada minor. Melengking. Menyapu riuh. Menyayat telinga. Suara dalang pun akhirnya menyusul bagai bisikan roh:
Tahukah kau jika dirimu tak akan pernah maksimal?
Ester terkejut lalu mengerjap.
Wayang potehi yang kerap Ester lihat semasa kecil menceritakan tentang Li Si Bin. Kaisar kedua dari dinasti Tang yang melegenda itu. Namun, lakon tersebut tak muncul kali ini.
Ester justru melihat wajah-wajah baru yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Wajah yang pertama tersenyum padanya. Di saat itulah, Ester tahu bahwa wajah itulah yang tadi membisikkan sebuah kalimat aneh. Dia! Dialah dalangnya.
Wajah kedua kemudian muncul. Kali ini adalah seorang wanita. Wanita rupawan yang wajahnya seperti kanjeng ratu dalam mitos-mitos Jawa. Entah siapa wanita itu, tetapi jelas sekali ia berdiri di samping sang dalang.
Wajah-wajah selanjutnya muncul bersamaan. Mereka rupanya para pemain musik yang tadi memainkan ansambel.
Ester kembali mengerjap. Namun, wajah-wajah itu lenyap seketika.
Sekalipun yang sekarang adalah hal baru, ia yakin dirinya tidak sedang bermimpi. Buku Farmakope Indonesia pun masih terselip diantara kedua tangannya dalam posisi terbuka.
Dirinya semakin terkejut karena pertanyaan si dalang rupanya ikut muncul dan tertulis sebagai salah satu kalimat yang menonjol dalam satu paragraf di Farmakope Indonesia. Yang lebih mengagetkan, pertanyaan itu jelas ditujukan untuk dirinya. Ya, hanya untuk dirinya! Kalimat itu bertanya kepadanya, dan Ester terbeban untuk menjawabnya.
Sialnya, ia sama sekali tak tahu-menahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Baginya, pertanyaan tersebut memiliki berbagai dimensi. Tidak jelas ‘dirimu’ yang seperti apa, dan ‘maksimal’ yang bagaimana.
Karena sedang diburu waktu, ia segera menutup buku itu.
Dua jam berselang, Ester sudah mengikuti tes psikologi sebagai salah satu tahap seleksi penerimaan karyawan baru di sebuah perusahaan farmasi. Ia duduk di bagian pojok paling belakang di aula kampusnya. Leher serta jarinya kaku. Pandangannya juga mulai kabur sekalipun dirinya baru menyelesaikan setengah dari seluruh pertanyaan yang tercetak di lembar soal. Pun matanya sudah terasa berat karena terlalu banyak melihat angka berulang di lembar soal.
Tak ingin kalah dengan keadaan, ia mengambil waktu untuk meregangkan badan sembari melihat peserta-peserta lainnya. Dari belakang, ia bisa melihat manusia-manusia yang senasib dengannya duduk rapi sambil menatap lembar jawab. Serius. Diam. Sunyi. Kaku. Mereka nyaris seperti tentara terakota. Ester pun yakin, peserta-peserta yang lain juga merasakan tekanan seperti dirinya. Ada perasaan lelah dan ingin semuanya segera berlalu, tetapi juga berharap akan diterima bekerja, kemudian memperoleh upah.
Omong-omong soal tentara terakota, Ester teringat akan tulah yang ia derita. Tulahnya ini, membuat ia tak dapat melihat wajah orang lain dengan jernih seperti normalnya manusia. Jika ia menatap tubuh seseorang, bagian wajahnya terlihat seperti wajah tentara terakota. Samar. Abstrak. Kaku. Beruntung, tulahnya itu hanya berlaku untuk wajah orang lain, dan hanya wajah mereka saja. Tidak termasuk anggota tubuh lainnya. Satu-satunya wajah yang bisa ia lihat dengan normal hanyalah wajahnya sendiri dan … wajah lakon wayang-wayang potehi berikut dalang serta para pemainnya itu.
Tulahnya ini sama sekali tidak menular kalau menurut pemeriksaan dokter bertahun-tahun silam. Dokter justru mengatakan bahwa penglihatan Ester baik-baik saja. Sang dokter bahkan tidak memercayai bahwa penglihatannya seperti itu. Namun menurut mama, tulahnya ini bersifat menurun secara genetik, meski wujudnya nanti bisa saja berbeda.
Kata mama, tulah seperti ini juga harus dirahasiakan secara turun-temurun. Baik sesama anggota keluarga, atau bahkan kepada orang lain yang bukan keluarga‒sekalipun waktu itu, ia pernah nekat pergi ke tenaga medis. Dokternya malah menganggap tulah macam itu hanyalah akal-akalan anak remaja yang hendak memohon dibuatkan surat izin tidak masuk sekolah karena sakit. Namun ketika Ester kembali bertanya pada mama soal alasan merahasiakan tulah, mama malah menjawabnya tanpa beban. Tujuannya sederhana, supaya si pengidapnya tidak dirundung cacian. Satu-satunya yang boleh tahu hanyalah mahkluk yang melahirkan si pengidap itu. Jadi, untuk kasus Ester, yang tahu soal tulahnya hanya mama. Saudara kandungnya tidak. Pacarnya pun tidak.
Astaga, ini bukan waktunya melantur! pekik Ester panik setelah tiba-tiba sadar bahwa ia sudah membuang waktunya hanya untuk memikirkan tulah. Ia kembali tertunduk mengerjakan soal tes, dan baru mengangkat wajahnya lagi ketika sirene berbunyi yang menandakan waktunya telah habis.
Sebagian peserta kaget, sebagian mendesah penuh kelegaan. Sebagian lagi menggerutu. Namun, tetap saja mereka bergerak patuh dan mengumpulkan lembar psikotes yang sudah dikerjakan selama dua jam. Ester membiarkan peserta lain lebih dulu mengumpulkan hasil pekerjaan mereka. Di urutan terakhir, ia meletakkan lembar jawabnya. Di tumpukan paling atas, menutupi sekian ratus lembar yang lain. Untuk terakhir kalinya, ia kemudian menatap tulisan tangannya. Membaca namanya sendiri dalam hati, kemudian merapal doa.
Semoga berhasil.
Semoga berhasil.
Semoga berhasil.
Rapalan doa itu terus berdenging di telinga Ester selama hasil pengumumannya belum keluar. Dan selama itu pula, ia merasa hari berlalu dengan sangat lambat. Selagi menunggu jawaban doa, ia memutuskan untuk berbuat sesuatu lebih dari sekadar menanti.
Suatu pagi, dengan sengaja ia membeli koran ketika sedang menunggu bis di halte. Tanpa membaca bagian yang lain, ia langsung membuka kolom lowongan pekerjaan. Dengan saksama ia mencari tulisan “penempatan Semarang”. Setelah sekian menit, ia menyimpulkan bahwa kota kelahirannya ternyata belum membutuhkan lulusan farmasi. Kebanyakan, pencari kerja membutuhkan tukang jahit konveksi, tukang batu, admin gudang, sales penjualan, asisten rumah tangga, atau satpam. Tidak ada kualifikasi yang‒paling tidak‒sesuai dengan kemampuannya.
Seakan tak percaya, sekali lagi ia menyusuri kolom lowongan itu. Ketika ia berharap dirinya melewatkan satu lowongan, ia justru menemukan tulisan: Tahukah kau jika dirimu tak akan pernah maksimal?
Belum sempat Ester berpikir, suara piak-kou sudah ribut di telinganya. Ia menoleh ke sana-sini mencari boneka-boneka, para pemusik, dalang, dan kotak pertunjukkan wayang potehi, tetapi tak menemukan apa pun bahkan siapa pun. Tak ingin dikira gila, ia berusaha mengabaikan suara piak-kou. Ia menunggu bis dengan tenang lalu berangkat ke kampus.
Setibanya di kampus, ia menelisik papan pengumuman yang biasanya ditempel beberapa informasi. Siapa tahu, di antara informasi-informasi penting, terselip lowongan pekerjaan. Papan berukuran tiga kali satu setengah meter itu ternyata hanya memuat lowongan asisten mahasiswa untuk mata kuliah praktikum. Di salah satu ujung papan, ia akhirnya menemukan berita tentang rekrutmen perusahaan-perusahaan swasta. Hanya saja, tanggalnya sudah lewat.
Keberuntungan seakan belum pergi dari kehidupan Ester. Dalam perjalanan pulang, tanpa sengaja ia melihat umbul-umbul dari kampus lain terpampang di salah satu pertigaan jalan tak jauh dari kampusnya. Di sana tertulis job fair.
Ester pun merasa ada balon pecah di dadanya.
Selama beberapa hari setelahnya, Ester menyiapkan daftar riwayat hidup, surat lamaran kerja, pas foto, serta salinan salinan identitas diri, lalu memasukkan semua dokumen tersebut ke dalam satu amplop besar. Dan jumlahnya tak hanya satu set amplop, tetapi sepuluh.
Ester juga mempersiapkan penampilannya. Pertama, ia menarik blazer hitam berikut celana panjang kain dengan warna yang sama. Menurutnya, sah-sah saja ia memilih setelan serba hitam, toh postur tubuhnya mendukung. Ia tidak terlalu gemuk, tetapi juga tak terlalu kurus. Tinggi badannya pun di kisaran seratus enam puluh. Namun karena penampilannya dirasa teralu resmi dan terkesan gelap, ia mengganti atasannya dengan kemeja putih. Setelan ini justru membuat penampilannya tak jauh beda dengan guru-guru magang! Sekali lagi ia memandangi penampilannya di depan cermin, dan ia berniat menukar komposisi warnanya. Celana putih dengan atasan hitam. Itu jauh lebih cocok.
Tanpa disangka, persiapan di hari H lebih merepotkan lagi. Mulanya Ester mengikat rambutnya yang panjang. Belum puas dengan kucir ekor kuda, ia membongkarnya. Mengepang rambut menjadi satu, lalu menggulungnya rendah di dekat leher tampak lebih baik. Meski begitu, model cepol dirasa akan membuat penampilannya tampak lebih tua. Lagi-lagi Ester membongkar rambutnya. Setelah hampir satu jam di depan cermin, yang menjadi pilihan terakhir yaitu menggerai rambut dengan menambahkan beberapa jepit. Menurutnya, ini terlihat lebih baik ketimbang dua model sebelumnya.
Ester belum pernah mengikuti job fair. Dan ketika tiba di lokasi untuk pertama kalinya, ia benar-benar terkejut ketika harus membayar biaya tiket masuk. Dua puluh lima ribu per hari per datang. Beruntung, uang yang ada di dompetnya cukup. Dengan berat hati ia pun menyerahkan uang kertas itu ke tangan petugas demi mendapat izin masuk sekaligus memperoleh buku panduan job fair.
Di sana, ia melihat banyak stand pameran. Ada banyak perusahaan ternama yang tak lagi asing di telinganya, tetapi tak sedikit pula perusahaan kecil atau bahkan yang namanya belum pernah ia dengar sama sekali.
Lima amplop pertama ia sebar di stand perusahaan ternama secara acak yang menurut buku panduan, cocok bagi fresh graduate lulusan farmasi. Satu dua orang yang bertugas menjaga salah satu stand mengucapkan terima kasih dengan sopan ketika Ester menyerahkan amplop. Ada juga yang langsung memberikan jadwal tes untuk esok esok hari. Namun, ada pula yang setelah menerima amplop dari tangan Ester, petugasnya justru menatapnya dari ujung kaki hingga kepala lalu berkata dengan nada meremehkan, “Ga salah nih, kamu kirim lamaran ke kami?”
Sesaat Ester ingin memaki orang itu. Namun, demi nama baik sekaligus masa depan, ia segera mengganti makiannya.
“Mencoba lebih baik dari pada tidak sama sekali,” sanggahnya diiringi senyum.
Selebihnya, ia melihat orang itu hanya melemparkan amplop miliknya ke meja stand dan orang itu kemudian asyik berbincang dengan rekannya. Dalam kasus ini, Ester patut bersyukur dengan tulah yang ia miliki. Seandainya saja ia bisa melihat dengan jelas wajah seseorang yang mencemooh dirinya, mungkin saja tinjunya sudah melayang ke wajah orang itu.
Kalau mau jujur dengan diri sendiri, Ester sempat hilang asa ketika mendengar komentar yang merendahkan seperti itu. Untung saja, hasratnya mengais sepeser duit masih lebih besar dari pada memikirkan omongan orang. Terlebih, hari ini ia sudah mengeluarkan dua puluh lima ribu untuk tiket masuk.
Sekarang, ia harus lebih selektif memilih perusahaan yang pantas untuk ia lamar. Sebab, dari lima amplop yang sudah ia sebar, baru satu perusahaan yang mengundangnya untuk menghadiri tes esok hari.
Dengan segala pertimbangan, Ester mulai melirik perusahaan lain yang namanya sama sekali belum pernah ia dengar untuk menyebar lima amplop yang tersisa. Satu amplop ia serahkan ke perusahaan ini, satu lagi ke perusahaan itu, kemudian kekhawatiran mulai merayapi punggungnya.
Di tangannya hanya tersisa tiga amplop. Jika tidak ada perusahaan yang mengundangannya lagi untuk tes, itu berarti peluangnya hanya satu.
Beruntung, ponselnya tiba-tiba saja berbunyi. Pihak kampus memberi kabar tentang hasil tes psikologi yang lalu, bahwa Ia dinyatakan lolos seleksi! Sebagai tahap lanjutan, ia diminta wawancara langsung di Jakarta pada hari Jumat‒tiga hari lagi, pukul delapan.
Ester kini memiliki dua peluang, tetapi bukan berarti ia lantas bisa membawa pulang sisa tiga amplop yang ada di tangannya. Sambil duduk di salah satu sudut ruang job fair, Ester sekali lagi membaca buku panduan miliknya. Mempertimbangan beberapa perusahaan lain yang‒paling tidak‒bisa menambah peluangnya, lalu membulatkan tekat untuk meninggalkan amplop-amplop itu ke meja pendaftaran.
Tiga amplop terakhir akhirnya kembali padanya dalam bentuk undangan tes. Dua untuk esok hari, satu hari ini.
“Langsung hari ini?” tanya Ester tak percaya kepada petugas stand.
Sambil menyusun kertas di meja, si petugas stand menatap Ester keheranan. “Iya, silakan duduk di kursi sebelah sana!” perintahnya sopan.