SANDWICH

Charlotte Diana
Chapter #3

BAB 2

“Kamu setuju bekerja di sana?” tanya mama kaget.

Bertahun-tahun mama melihat Ester menghabiskan masa remajanya dengan buku-buku pelajaran, belum lagi harus membenamkan diri di antara barang-barang laboratorium ketika kuliah, bahkan sampai waktu tidurnya hanya sedikit, tetapi sekarang anaknya itu harus mengerjakan sesuatu yang jauh dari minatnya. Mama mengerti betul jika itu tidak mudah dijalani. Bahkan sulit. Hanya saja, keputusan itu benar-benar tak masuk akal. Ia memandang anaknya lekat-lekat dengan pandangan bingung.

“Mencoba tidak ada salahnya, kan Ma?” sanggah Ester sambil tersenyum.

Mama terdiam. Selama ini, ia sudah menuruti kemauan anak-anaknya, termasuk Ester. Ester yang dulu memohon-mohon agar diizinkan sekolah farmasi, yang menghabiskan banyak sekali uang untuk praktikum, kini seolah-olah menganggap pilihannya itu sah-sah saja, bahkan terkesan hanya main-main. Dalam hati mama berdoa agar Tuhan mengampuni anaknya.

“Persisnya, kamu bekerja di perusahaan macam apa?” tanya mama penasaran.

“Perusahaan Z. Itu perusahaan lokal yang menjual kombinasi antara furnitur kayu dan metal.”

“Hanya itu yang kamu tahu?”

Ester menggeleng. “Mereka sedang berkembang.”

“Sedang berkembang!” Mama menimpali dengan nada menyindir.

Ester mengangguk tanpa tersinggung. “Ya. Sejauh ini, perusahaan memiliki desain sendiri, tetapi tak menutup kemungkinan untuk menerima desain dari pelanggan. Pelanggannya adalah hotel-hotel termasuk resort serta restoran di seluruh Indonesia. Ada juga pedagang besar yang menjual barang retail.”

Mulut mama mengerucut. “Kamu digaji berapa memangnya?”

“Seratus sen per bulan.”

“Hah! Seratus sen?” pekik mama kaget. Ia ingin marah, tetapi mendadak ingat jika dirinya bisa saja pingsan karena tekanan darah yang melonjak tajam. “Bercanda kamu!”

“Iya, seratus sen. Aku ndak bercanda. Ini serius. Memang kenapa?”

“Seratus sen! Seratus sen?” suara Mama melemah, tetapi setelahnya, ia beringsut lesu. Mendadak ia teringat jika anaknya yang nomor dua ini memang selalu serius. Jarang bercanda. “Ester, kita itu hidup di era milenium!” tambahnya lirih.

Ester mendesah. “Iya, memang. Tapi bukan berarti uang sen ndak bisa beredar lalu dipakai untuk membayar keperluan sehari-hari, kan?”

Mama tak habis pikir dengan kenyataan sekaligus jawaban anaknya itu. Ia amat ingin mengguncang tubuh Ester supaya sadar bahwa hidup manusia‒sesulit apa pun‒tidak akan pernah sampai di tahap surealis.

Belum surut kekecewaannya pada Ester, yang tak disangka, matanya kemudian membelalak karena sekonyong-konyong ia menyadari anaknya itu mengecil. Jika tempo hari ia terheran-heran karena Ester tampak lebih tinggi, hari ini sebaliknya.

Mama mengerjap. Masing-masing anaknya memang terlahir dengan tulah. Namun, sejauh yang ia tahu, tulah yang dimiki Ester itu tidak termasuk ukuran tubuh yang bisa berubah-ubah. Mulut mama terbuka, hendak bertanya pada anaknya.

“Ada apa?” tanya Ester mendahului mama. Ketika mama tak segera menjawab, ia bergumam, “Setidaknya mama percaya saja kalau aku tak akan membiarkan mama kelaparan.”

Mama mendengar anaknya bergumam, dan sekonyong-konyong ia melihat tubuh anaknya kian mengecil. Nyaris menjadi manusia kerdil. Mama segera mengatupkan bibir rapat-rapat lalu menghela napas. “Ndak jadi.” Mama pun berbalik. Di saat bersamaan, ia berbicara dalam hati. “Semoga karirmu baik.”

***

Hari-hari pertama bekerja terasa begitu berat. Ester yang dulunya lebih sering melihat angka, kini justru meneliti dokumen. Sekalipun beberapa dokumen pun juga memiliki unsur angka, tetapi tetap saja berbeda.

Ia membayangkan, andai saja saat ini dirinya bekerja di apotek, ia pasti sudah menghitung dosis psikotropika, menggerus obat, membuat puyer, membuat laporan narkotika, atau sekadar menghitung jumlah tablet yang akan dibagi dalam kapsul.

Atau mungkin akan lebih menyenangkan lagi jika dirinya berada di industri farmasi. Katakanlah ia bekerja di bagian produksi, ia pasti sudah bergelut dengan bahan-bahan obat yang masing-masing memiliki karakteristik khusus, mesin-mesin raksasa, serta cairan-cairan pelarut, Menurutnya, semua itu begitu sesuai dengan dirinya.

Berbeda dengan yang ia hadapi saat ini, di mejanya hanya ada komputer yang menampilkan faktur-faktur penjualan. Tugas yang harus ia selesaikan pun hanyalah memastikan angka-angka yang tertulis di sana sesuai dengan faktur sementara.

Satu bulan berlalu, tugas-tugasnya belum berubah. Semua yang ia kerjakan masih tentang faktur penjualan dan faktur sementara. Sesekali ia sempat merasa jemu. Belum lagi, angka-angka itu dicetak menggunakan mesin berusia tua yang pita tintanya mudah mengering. Ada kalanya, ia sampai tak sanggup membaca hasil cetaknya. Dan baginya, itu benar-benar menyusahkan.

Pernah suatu waktu, Ester benar-benar lelah. Bukan lelah secara fisik, melainkan lelah batin. Ia lelah karena faktur-faktur yang sudah terbayar biasanya akan langsung ditumpuk begitu saja dalam kotak berjilid tanpa memerhatikan nomor faktur.

“Kenapa faktur ini ndak diurutkan berdasarkan nomor fakturnya?” tanya Ester pada Bu Cici, salah satu rekan satu departemen.

“Karena disesuaikan dengan urutan tanggal pelunasan dari pelanggan,” jawab Bu Cici ketus.

“Bisakah tanggal pelunasan dijadikan patokan?” tanya Ester bingung. “Bukankah nomor faktur yang lebih kecil belum tentu dilunasi lebih cepat dari nomor faktur yang lebih besar?”

“Kalau kamu masih mau kerja di sini, ikuti saja peraturan di kantor ini!” Bu Cici mendengus. “Sudah sejak dulu di sini menerapkan alur kerja seperti itu!”

Ester tak membantah. Ia hanya menarik napas panjang, lalu berusaha tidak mengikuti kebiasaan rekannya. Dan ketika dirinya merasa kaku ati melihat ulah Bu Cici yang sudah mandarah daging, ia berusaha menghibur diri dengan bacaan.

Ester suka sekali membaca. Bacaan sejarah merupakan favoritnya. Namun, bacaan jenis apa pun seringkali tetap dilahapnya untuk mengusir kebosanan sekaligus meredakan emosi. Suatu hari, di sela-sela waktu istirahat, ia membaca artikel dari sebuah rak di kantornya.

Halaman awal hanya memuat kata sambutan pemilik perusahaan, sejarah pendirian perusahaan, lalu diikuti profil perusahaan. Sekalipun judul halamannya sudah berbeda, tetapi mereka memiliki persamaan. Masing-masing menyebutkan satu nama yang sudah dikenalnya. Liem Pek Tjwan.

Pak Liem, begitu Ester memanggilnya, adalah pria yang waktu itu mewawancarai dirinya di job fair. Pria yang sudah berpengalaman lebih dari empat puluh dekade itu dikenal bertangan dingin. Ia fasih berbahasa Inggris. Ia pun saat ini sudah mempekerjakan sekitar seratus karyawan. Bersama dengan istrinya, Bu Tia‒yang ternyata fasih berbahasa Inggris serta Tionghoa‒keduanya masih rutin menggambar desain furnitur serta mengikuti berbagai pameran di dalam negeri. Sekalipun beberapa kali sempat mengalami krisis serta terseok-seok, tetapi perusahaan yang dipegangnya masih tetap bertahan hingga saat ini.

empat puluh dekade? tanya Ester dalam hati. Ia kemudian menebak bahwa kata itu terselip akibat kesalahan ketik saat proses pengeditan artikel. Mungkin suatu saat aku perlu memberi tahu Pak Liem jika saja waktunya tepat?

Ester kemudian menutup artikel itu. Dalam hati ia hanya berharap bisnis Pak Liem bisa terus berjalan, sehingga dirinya tidak perlu mancari pekerjaan lain yang belum tentu lebih baik dari yang ada saat ini.

Lambat laun Ester mulai terbiasa dengan rutinitas. Ia bekerja dengan lebih cepat. Sisa waktu yang ia miliki, ia pakai untuk merapikan berkas faktur-faktur penjualan. Baik faktur dalam bentuk cetak atau non-cetak. Tiap faktur diurutkan berdasarkan nomornya. Yang berarti, tanggal, bulan, serta tahun terbitnya faktur pun akan urut dengan sendirinya. Sedikit demi sedikit, hingga seluruh berkas selama tiga tahun terakhir tertata rapi dan lebih mudah dicari.

Satu hal yang membuatnya kaget, kegiatan sederhana itu rupanya membuat dirinya semakin mencintai pekerjaannya. Ia tak lagi memikirkan keinginan hatinya yang tidak tercapai, tetapi mulai melihat sesuatu yang ada di tangannya.

Seiring waktu berjalan, ketika pekerjaan mengecek faktur semakin menjadi rutinitas, lalu pada titik tertentu membuatnya amat-sangat bosan, ia tak lagi melihat angka dan huruf dalam faktur secara harfiah. Ia melihat sesuatu yang lain dari faktur itu.

Sejauh yang ia tahu, kantornya sudah memiliki katalog untuk barang-barang yang mereka desain sendiri. Namun, untuk barang-barang yang desainnya dari pelanggan, tidak ada jejaknya selain faktur-faktur itu. Mungkin gambar desain masih ada jejak berkasnya, hanya saja, itu bukan ranah pekerjaannya.

Ester kemudian berinisiatif merekap barang-barang yang belum ada di katalog dari faktur penjualan. Dimulai dengan mendokumentasikan nama pelanggan beserta alamatnya. Lebih terinci lagi, ia juga mencatat harga barang-barang tersebut. Satu demi satu, diurutkan dari tahun berjalan hingga tahun paling akhir.

Tentu ia tidak mencatatnya dalam sebuah buku lalu menuliskannya menggunakan pena. Ia tahu, tulisannya tidak serapi rekan-rekannya yang lain. Itu sebabnya, ia mencatatnya dalam bentuk ketikan komputer.

Ketika rekap datanya sudah jadi, data itu seolah-olah memberi tahu dirinya jumlah pelanggan di kantornya. Barang-barang apa saja yang sering dipesan, tanggal jatuh tempo pelunasan, bahkan total penjualan mereka setiap tahunnya.

Ester puas dengan data yang selesai ia kumpulkan. Walau sekarang ia belum merasakan manfaat apa pun dari jerih lelahnya, tetapi ia meyakini suatu saat usahanya ini‒meski sederhana‒tak akan sia-sia. Bahkan sekalipun ada harga yang harus dibayar‒karena ia pulang malam selama beberapa hari demi kata “tanggung” saat mengerjakan rekapan data‒ia pun meyakini bahwa kepuasan hati yang ia terima cukup untuk membayar semuanya. Cukup untuk membayar waktu yang hilang untuk keluarga. Yang perlu ia pikirkan saat ini hanyalah bagaimana mengelola upah yang ia dapat agar keluarganya tidak kelaparan. Lebih-lebih karena ia sudah pernah berjanji pada diri sendiri bahwa dirinya tak akan membiarkan mama kelaparan.

***

“Halo?” Ester menerima panggilan telepon dari nomor tak dikenal ketika ia sedang memeriksa jumlah pelunasan di faktur penjualan.

Lihat selengkapnya