Membesarkan anak-anak tanpa suami itu berat.
Berulang kali mama mengucapkan kata-kata itu ketika berada di dalam kamar sendirian. Ia bahkan tak tahu untuk siapa ia mengucapkan kalimat itu. Untuk anak-anaknya? untuk dirinya sendiri? atau untuk Tuhan? Tanpa disadari, semakin lama mama merapalkan kalimat tersebut, semakin deras pula air matanya menetes. Ia berusaha menyeka air matanya, tetapi sesering apa pun ia melakukannya, air matanya tetap jatuh.
Ia bisa saja mengucapkan kalimat itu kepada anak-anaknya. Tak dipungkiri, ia pun ingin menanamkan pemahaman kepada anak-anak, sekaligus ingin agar mereka mengerti bahwa menjadi orang tua tunggal itu bak memanggul gentong air ke puncak gunung. Berat di bawah, tetapi belum tentu tetap penuh ketika sudah mencapai puncak. Airnya bisa saja tumpah, atau sengaja ditumpahkan karena terlalu berat. Seperti itu juga yang mama rasakan. Dirinya sudah berlelah-lelah menyediakan masakan, tetapi pada akhirnya makanan itu bukan lagi dinikmati oleh anak-anaknya. Semut yang akan menikmatinya.
Belum lagi, semakin bertambahnya usia, porsi makan mama menurun. Sudah lama dirinya melewatkan makan malam. Bukan karena alasan berhemat, tetapi lebih karena memang dirinya tidak terlalu lapar. Hanya sesekali saja mama makan malam itu pun hanya jika bersama anak-anak. Melihat mereka makan dengan lahap, acapkali membuatnya ingin makan. Dan ketika dirinya makan bersama anak-anak, ia bisa bercakap-cakap dengan mereka. Momen seperti itulah sebenarnya yang membuat ia bahagia.
Membesarkan anak-anak tanpa suami itu berat. Jika ia berkata untuk dirinya sendiri, ia hanya ingin meratapi kebodohannya. Anak-anak berlaku seperti ini bukan hanya sekali dua kali. Mereka sudah sejak dulu seperti itu. Bahkan otak mereka menjadi lebih praktis sejak mengenal istilah “makan luar”.
Salahkah aku ketika dulu mengenalkan mereka dengan kegiatan makan luar? Aku tahu makan luar memang praktis. Tak perlu repot-repot memasak apalagi mencuci wajan serta piring kotor berminyak. Namun, aku berani bertaruh jika masakanku jauh lebih bersih ketimbang jajanan di luar. Apalagi yang dijajakan di pinggir jalan itu! Dan kalaupun dulu aku mengajak mereka sesekali makan luar, itu hanya karena aku lelah dengan pekerjaan rumah yang tidak akan pernah ada habisnya.
Dan sekarang aku meratapi kebodohanku. Bodoh! Benar-benar bodoh! Yang kupikirkan selama ini hanyalah perut anak-anakku. Aku terlalu khawatir jika mereka kelaparan, lalu tak bisa membeli makanan karena tak punya cukup uang jajan.
Bahkan lebih bodoh lagi karena aku tak pernah memiliki insiatif untuk bertanya kepada mereka. Dan kalaupun inisiatif itu ada, aku percaya, diriku akan memilih untuk langsung memasak daripada harus bertanya, lalu menunggu mereka menjawab panggilan telepon atau sekadar membalas pesan dari orang tua sementara waktu terus berjalan. Buatku, memasak juga perlu waktu. Aku tak ingin anak-anakku pulang dalam kondisi lelah dan kelaparan lalu masih harus menunggu masakan yang belum siap.
Sekali lagi mama mengusap air matanya. Ia menarik napas panjang sementara pandangannya menerawang. Ingatan membuatnya terhanyut dalam pusara nostalgia.
Dulu, ketika suaminya masih hidup, suaminya seperti superman. Jika masakannya tidak dimakan oleh anak-anak, suaminya yang akan menyapu bersih sayur dan lauk di meja makan. Tanpa banyak bicara, tanpa banyak penilaian.
Bukan berarti suaminya doyan makan. Ia tahu porsi makan suaminya tidak banyak sebetulnya. Hanya saja, suaminya begitu pengertian. Gara-gara suaminya, dulu ia tak pernah absen jam makan. Seandainya ia berniat absen pun, suaminya tak pernah gagal untuk membujuknya makan, sehingga tak akan ada cerita tentang makanan yang sengaja dibuang.
Namun sekarang, keadaannya sudah berbeda. Tak ada lagi yang akan membujuknya. Tak ada lagi seseorang yang begitu pengertian sampai-sampai rela menghabiskan masakannya dalam satu malam. Mama sendiri pun tak sanggup menghabiskan makanan sebanyak itu seorang diri. Ia bahkan ragu bila harus menghabiskannya dalam waktu berhari-hari.
Air matanya kembali menetes.
Membesarkan anak-anak tanpa suami itu berat. Mama juga bertanya-tanya bagaimana jika pernyataan itu adalah doa yang ia panjatkan untuk Tuhan. Secuil nuraninya berkata: itu sama saja dengan mengeluh. Ia tak ingin mengeluh sebenarnya. Ia hanya ingin mengungkapkan isi hatinya. Ia hanya ingin Tuhan mendengar keluhannya. Cukup hanya mendengarkannya saja.
Mengikuti nuraninya, dalam hati mama kemudian meminta maaf karena hatinya sudah mengeluh. Namun, ia belum selesai menyampaikan isi hatinya kepada Tuhan.
Saat ini, aku ndak bekerja. Aku hanyalah seorang ibu rumah tangga, yang sehari-harinya hidup dari topangan anak-anak. Namun, bukan berarti aku hanya ongkang-ongkang di rumah, lalu menunggu jatah uang bulanan dari mereka. Tidak!
Aku percaya, tidak ada ibu di dunia ini yang dari hati kecilnya mau menerima uang dari anaknya jika bukan karena terpaksa. Seandainya saja profesiku bukan ibu rumah tangga, mungkin aku akan menolak uang yang mereka berikan. Aku lebih bahagia bisa memberi. Aku akan jauh lebih bahagia bila pemberianku berguna untuk mereka. Kebahagiaanku bahkan akan sempurna ketika suatu saat nanti melihat bahwa pemberianku bisa mendukung mereka meraih kesuksesan.
Apakah karena aku menerima uang dari mereka lalu mereka jadi seenaknya seperti ini? Apakah hanya karena aku tidak berkontribusi dalam hal mencari nafkah lalu mereka jadi seperti itu? Sudah cukup kepedihanku melihat anak-anak bekerja keras sementara aku hanya di rumah. Sudah cukup aku melahirkan mereka yang lahir dengan tulah. Sekiranya itu terjadi karena kesalahanku, aku rela menebusnya dengan hidupku.
Ah, apalah aku ini yang hidupnya tak lagi berarti di mata anak-anak. Dan hidupku pun tak akan bermakna tanpa mereka. Namun, karena hanya merekalah yang aku miliki di dunia ini, aku hanya ingin mereka makan, sehat, sukses, dan bahagia.
Di tengah keheningan, mama seperti mendapat pencerahan untuk mengingat kembali hal-hal baik apa saja yang sudah ia lalui bersama anak-anak.
Ingatan membawa mama kembali ke tahun-tahun yang lalu di mana ia menikahkan anak pertamanya. Walau ia harus berdiri seorang diri ketika menyalami para tamu undangan sementara pihak besan berdiri berdampingan suami-istri, tetapi ia dapat melakukannya! Tahun ini, Ester sudah bekerja. Sekalipun upah kerjanya hanya seratus sen, tetapi sejauh yang bisa diingatnya, ia tak pernah kekurangan. Kulkasnya selalu terisi bahan makanan sekalipun tidak pernah sampai penuh sesak dengan stok daging. Dan ketika yang satu sudah menikah, sementara yang lain bekerja, anaknya yang bontot sering sekali mengantarnya ke mana saja. Pergi ke pasar di pagi-pagi buta pun pernah ia lakukan bersama dengan si bontot.
Pemikiran-pemikiran itu Tanpa sadar sudah membuat air matanya berhenti. Tiba-tiba saja mama lalu merasakan asin dari jejak air mata di sekitar mulutnya. Baru saja ia hendak mengusap sisa-sia air matanya, tiba-tiba saja ia merasa jantungnya nyaris copot.
Seseorang mengetuk pintu kamarnya lalu berniat masuk ke dalam. Untung saja, sebelumnya ia sempat mengunci pintu itu. Ketika orang di luar tak bisa masuk menemuinya, mama tetap diam di tempat. Malam ini, ia sedang tidak ingin bertemu dengan anak-anaknya. Ia tahu matanya pasti bengkak. Ia tak ingin anak-anak melihatnya dalam kondisi seperti itu.
Mama membiarkan pintu diketuk berulang kali. Sampai di menit tertentu, ia akhirnya tahu, Esterlah yang mengetuk pintu kamarnya.
***
“Aku ada berita baik!” kata Pak Liem kepada istrinya.
“Apa?”
“Perizinan ekspor kita disetujui. Kita bisa mulai mengatur regulasi internal kantor, sekaligus mulai menghubungi ulang calon-calon pelanggan yang waktu itu kita temui saat pameran.”
“Aku pun sebenarnya sudah selesai mengumpulkan data pelanggan Made to Order.”
“Secepat itukah?”
Istrinya mengangguk senang.
Selama seminggu berikutnya, keduanya berbagi tugas. Sementara Bu Tia menyibukkan diri dengan berbagai proposal yang ia kirim melalui surel kepada seluruh calon pelanggan, Pak Liem bergelut dengan daftar para karyawan. Dari pandangannya, saat ini ia yakin tidak perlu menambah jumlah pekerja selama jumlah ekspornya belum terlalu banyak. Meski begitu, bila suatu saat usahanya semakin berkembang, ia perlu mengantisipasi kemungkinan itu dari sekarang.
“Kupikir kita perlu melakukan restruktur organisasi perusahaan,” usul Pak Liem.
Bu Tia mencoba mengikuti jalan pikiran suaminya. “Kau akan memindahkan orang-orang tertentu ke departemen lain?”
Pak Liem mengangguk.
“Itu ide yang baik menurutku,” ucap istrinya menyetujui. “Beberapa teman sesama pengusaha bahkan pernah bercerita, mereka sampai harus melakukan rolling antar departemen di kantornya.”
“Ya itu memang baik untuk semua pihak.”
Seraya mengangguk-angguk, Bu Tia memikirkan kata-kata suaminya. “Pengaturan macam itu bisa menguntungkan perusahaan bila orang-orang yang bekerja di dalamnya ada yang ‘tidak benar’. Setidaknya, dengan adanya rolling, mereka akan gentar bila ingin berbuat sekenanya yang bisa jadi merugikan perusahaan. Bila nekat dilakukan, ‘dosanya’ pasti akan tampak saat rolling berikutnya.”
Pak Liem tertawa. “Yang kupikirkan beda lagi. Sebenarnya akan sangat menjemukan bila seseorang bergelut dengan tugas yang sama selama bertahun-tahun. Dan perasaan jemu ini akan mempengaruhi kinerja. Jadi, yang kuinginkan adalah mereka bisa merasa ‘tertantang’ dengan adanya rolling, lalu berusaha untuk memiliki kinerja yang lebih baik. Kupikir, secara tidak langsung, kinerja yang baik juga akan mempengaruhi laba perusahaan.”
Bu Tia memandang suaminya dengan penuh cinta. “Jadi, langkah apa yang hendak kau lakukan, Tjwan?”
“Hah, itu sedang kurumuskan!” Pak Liem menjentikkan jari. “Nanti akan kutunjukkan jika sudah selesai.”
***
“Kamu ndak makan, to?” tanya Ester pada Tomi, adiknya.
“Ndak.”
“Kenapa?”
“Ndak kepingin makan.”
“Kenapa ndak kepingin makan?”
“Ya memang ndak kepingin, kok!”
“Orang ndak kepingin makan itu pasti ada alasannya!” Ester mencecar adiknya dengan kata-kata yang menyudutkan. “Sudah makan di luar, apa?”
“Aku ndak minat makan!” Adiknya mengepalkan tangan lalu berdiri di depannya. Seperti hendak menerkam Ester. “Dan alasannya ndak seperti yang kamu pikir itu!”
Ester mengangkat dagunya tinggi-tinggi. “Kenapa memangnya? Ayo coba jawab!”
Tomi terdiam lama. Dadanya naik turun seperti sedang mengatur napas usai dikejar anjing gila. “Aku ndak bakal bisa ikut ujian semester karena belum bayar uang semesteran.”
“Gara-gara itu, kamu malah mogok makan?” Ester mendesah. “Itu mama sudah telanjur masak! Kenapa kamu ndak jelaskan ke mama aja alasannya supaya mama ndak kecewa?”
“Otakmu bisa dipakai buat mikir apa ndak to?” bentak Tomi. “Apa kamu lupa kalau mama punya darah tinggi dan bisa jantungan sewaktu-waktu? Kalau sampai ada apa-apa sama mama, apa kamu punya uang buat nanggung biayanya?”
Tomi benar. Dalam hati Ester mengaku bahwa dalam kasus ini, otaknya memang sedang kosong. Ia sama sekali tak ingat kalau mama punya riwayat sakit jantung.
“Oke, maaf,” ucapnya pelan.
Setelahnya, Ester kembali berpikir. Selama ini, mereka sudah berbagi tugas dalam menanggung semua kebutuhan rumah tangga sejak papa tidak ada. Ana, si sulung selalu membayar uang kuliah Tomi, sementara Ester membiayai keperluan rumah tangga termasuk mama. Semuanya memiliki bobot yang sama dan sejauh ini semua baik-baik saja.
Tetapi menjadi tidak baik-baik saja sejak malam ini.
Usai berpikir cukup lama, Ester akhirnya bertanya dengan intonasi yang lebih halus, “Ana ndak bayari kuliahmu lagi?”
“Dia juga sedang dalam masalah.”
Masalah. Ester bergidik mendengar kata-kata itu. Jalan hidupnya sendiri saja sudah merupakan masalah. Kini timbul masalah baru.
Ester berulang kali menelepon Ana, tetapi belum diangkat. Sekalinya diangkat, itu pun langsung dimatikan. Hingga menit kesepuluh, Ester kian frustrasi. Namun saat tengah malam, Ana balik meneleponnya. Beruntung kala itu dirinya masih terjaga karena ia sedang memikirkan nasib Tomi.
“Kamu telepon aku kenapa, Ester?”
“Kamu ke mana aja, to?” tanya Ester. Selebihnya ia terkejut saat menyadari suara serak Ana. “Kamu habis nangis to?”
“Ester, aku minta maaf tadi ndak angkat teleponmu. Aku tadi lagi bicara sama dokter. Kondisiku benar-benar ndak stabil.”
“Ndak stabil kenapa?”
“Mama sudah cerita kalau aku sedang hamil, kan? Ini masuk bulan kelima.”
Ester mengerjap. Ia sama sekali tak tahu-menahu jika Ana hamil. Kenapa mama ndak cerita? kenapa Ana juga baru cerita sekarang? Apa yang sebenarnya terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul bagaikan peluru yang berulang kali menembus dadanya.
“Apa kehamilannya bermasalah?” tanya Ester usai terdiam lama.
“Aku kena pre-eklamsia.”