SANDWICH

Charlotte Diana
Chapter #5

BAB 4

Ada kata-kata bijak yang mengatakan bahwa memberi hadiah untuk diri sendiri itu wujud cinta pada Sang Khalik. Namun bagi sebagian orang, menyenangkan diri sendiri sebagai hadiah juga tak akan lengkap tanpa kehadiran orang-orang terdekat. Dikeluarga Ester, momen seperti itu dikenal dengan istilah “makan luar”.

Makan luar yang kali ini sudah terencana. Mama jelas tak menyiapkan masakan. Tomi sudah liburan semester. Sementara Ester sudah mulai menyesuaikan diri dengan tugas barunya mengurus pesanan-pesanan yang masuk dari pelanggan luar negeri.

“Apakah sudah mau memesan makanan?” tanya seorang pelayan.

Mama menatap Ester. “Ana sudah sampai mana?”

Sebelumnya, mereka sudah janjian bertemu langsung di restoran tempat mereka makan malam. Namun, setelah menunggu hampir satu jam, Ana belum datang. Ester meneleponnya, tetapi tak ada jawaban.

“Ana biasa … ndak angkat telepon.” Tatapan Tomi beralih ke pelayan yang menunggu. “Nanti dulu kak.”

Pelayan itu mengangguk pelan lalu pergi.

“Coba ditelepon lagi,” perintah mama.

Sekali lagi Ester menelepon, tetap tak diangkat. “Ditunggu aja lak wes.”

Sepuluh menit kemudian, Ana dan suaminya, Ben muncul. Wajahnya semringah ketika melihat mama dan adik-adiknya, tetapi ia tampak seperti ngos-ngosan.

“Habis lari?” tanya Ester bercanda.

Ndak,” sahutnya sembari duduk. “Jalanan macet.”

“Yasudah, kita pesan dulu.”

Saat pelayan datang, mereka memesan makanan. Setelah pelayan pergi, mereka lanjut bercerita.

“Gimana kehamilanmu?” tanya mama prihatin.

Ana mengelus perutnya yang tampak kecil sekalipun usia kandungannya sudah hampir memasuki delapan bulan. “Proteinnya bocor,” ujarnya pelan. “Tapi tekanan darahku masih cukup terkendali.”

“Lalu apa kata dokter?” tanya mama lagi.

“Nanti kalau lahiran, harus di back up ICU. Hanya untuk jaga-jaga.” Ana menarik napas panjang. “Kondisi bayinya sendiri cukup stabil walau bobotnya sempat turun.”

“Berarti kamu harus makan enak, supaya bayinya ndak ikut stres di dalam perut,” sahut Tomi.

Anna tersenyum, lalu teringat sesuatu. “Eh, lalu bayaran kuliahmu gimana?”

“Itu sudah selesai!” sahut Ester cepat. “Iya, kan?” tatapannya menukik ke Tomi.

Tomi tersenyum lalu mengangguk. “Sudah beres!”

Ana menghela napas lega. “Maaf ya, aku belum bisa bantu banyak.”

Ester menginjak kaki Ana, memberi isyarat agar kakaknya tak lagi membahas soal uang kuliah. Ana terkejut lalu menarik kakinya. “Saat ini aku hanya bisa kasih pinjam laptopku buat kuliah Tomi.”

Tomi mengangguk. “Laptop pun sudah cukup.”

“Dijaga baik-baik ya, laptopku,” pesan Ana.

Sekali lagi Tomi mengangguk.

“Jadi, makan-makan ini untuk merayakan Ester?” tanya Ana sembari tertawa.

Mereka semua tertawa.

“Ya kali ini aku yang traktir,” ucap Ester. “Tapi ndak boleh nambah ya. Uangku juga masih terbatas.”

Mereka tertawa lagi.

“Nanti kalau harus nambah, aku yang bayar lebihnya,” sahut Ben.

“Kalau hasil jual-jual kertas waktu itu bagaimana?” sambung Ana. “Kalian pasti dapat keuntungan besar dari kertas-kertas masa kecil yang tak sengaja ditimbun, kan?”

“Ya, hasilnya ndak seberapa. Satuannya ‘sen’ ternyata.” Mama mendengus seperti menertawai kenyataan yang terjadi. “Dan uangnya sudah buat belanja, Ana! hanya ada sisa sedikit buat genap-genap receh.”

“Benar-benar ‘sen’?”

Serempak Mama, Ester dan Tomi mengangguk.

Tak lama, pesanan makanan mereka datang. Mereka dengan lahap mengisi perut dan sesi percakapan mendadak berhenti.

“Enak ya!” celetuk Tomi setelah piringnya kosong.

“Jelas enak, bukan kamu yang bayar soalnya,” balas Ester diiringi dengan gelak tawa.

“Seandainya aja bisa terus begini ya ….” cetus Ana. “mungkin kita ndak bakal stres hadapi hidup.”

“Ah belum tentu,” Ben menimpali. “Orang yang banyak duitnya tetap aja ada yang stres kok.”

“Yang penting dijalani dulu,” kata mama mengingatkan. “Mama cuma kebayang aja, kalau ramai begini rasanya memang adem.”

“Adem gimana?” tanya Ester ingin tahu.

Tatapan mama menerawang. “Ya, kalau ramai seperti ini mama seperti sedang berada di rumah.”

“Lah selama ini kan juga di rumah?”

“Betul, tapi kalau ndak ada kalian, rasanya sepi banget.”

“Ya mama cari aktivitas apa kek gitu?”

Mama menelan ludah. “Terlepas dari semua aktivitas, kalau ada temannya terasa beda.”

“Lah apa aku ndak usah kerja? Tapi siapa yang mau gantikan aku cari uang?” tanya Ester.

“Ya ndak begitu juga,” tegur mama. “Mama cuma berpikir, seandainya ada apa-apa sama mama saat kalian ndak di rumah, lalu bagaimana?”

Nah, itu intinya! Anak-anak mulai berpikir. Selama ini, mereka hanya tahu mama di rumah mengerjakan ini dan itu tanpa memikirkan ‘seorang mama’ yang rupanya sendirian. Mereka tahu, bahkan ingat kalau mama punya darah tinggi dan riwayat sakit jantung. Hanya saja, hingga saat ini, masalah itu belum ada solusinya.

“Seandainya mama tinggal di panti jompo, mungkin mama akan jauh lebih baik.” Tatapan mama melewati kepala Tomi yang duduk di depannya. Jauh di dalam hatinya, ia masih ingin hidup lebih lama. Ia masih ingin melihat cucu. Bukan hanya dari Ana, tetapi dari Ester dan kalau perlu dari Tomi. Dan untuk memperoleh semua itu, ada harga yang mesti ia bayar. Paling tidak, ia harus menjaga kesehatan. Salah satu upayanya yaitu tinggal di panti jompo.

“Lebih baik dari sudut pandang apa?” tanya Ana langsung.

“Setidaknya, di sana ada dokter.”

Itu tidak salah, tetapi Ester tak setuju. “Apa kata orang kalau mereka melihat anak-anak membiarkan mama tinggal di panti jompo?”

“Ini keinginan mama kok. Bukan berarti mama anggap kalian ndak peduli, tapi kalau ada apa-apa sama mama, mama bisa cepat ditangani.”

“Betul,” sahut Ester. Dengan tatapan kosong, ia mengetuk-ketukkan garpunya ke piring. “Tapi tinggal di panti jompo juga perlu biaya yang ndak sedikit. Membiayai kebutuhan satu rumah tangga sudah berat. Kalau ditambah dengan biaya panti jompo, jelas ndak mungkin.”

Ester melihat mama mengerjap. Ia berharap, mama bisa menangkap maksudnya.

Terlepas dari percakapan malam itu, masing-masing mereka tak ada yang bisa saling menyalahkan.

Sembari menatap anaknya satu demi satu, hati mama menangis. Ia tak tega melihat Ana‒yang dengan kondisi seperti itu‒masih bisa tersenyum lalu datang menemui keluarganya sekalipun jarak tempat tinggalnya jauh dari restoran tempat mereka makan. Dari hal itu saja, mama sebenarnya melihat kalau anak sulungnya itu mustahil untuk tinggal diam apabila terjadi apa-apa dengan dirinya. Ester pun tetap mau berbagi sekalipun‒mama tahu betul‒gajinya terbatas. Jika sampai ada apa-apa dengan dirinya, mama yakin Ester dapat diandalkan, bagaimanapun caranya. Sama halnya dengan Tomi. Anak laki-lakinya itu memang tak banyak bicara, tetapi ketika menjual koran dan kertas bekas beberapa waktu yang lalu, seolah-olah menjadi bukti bahwa Tomi bisa menjadi sahabat lansia yang baik. Mau tak mau, saat ini mama hanya bisa berharap andaikan terjadi sesuatu dengannya, ia sedang bersama anak-anak.

“Yasudah, untuk sementara, kita yang harus sering-sering temani mama,” putus Ana.

***

“Ana sudah masuk ruang persalinan!” kata Ben cemas melalui sambungan telepon beberapa hari kemudian.

“Sekarang gimana kondisinya?” tanya mama khawatir. Belum ada satu bulan sejak pertemuan mereka terakhir, kini mama sudah mendapat berita yang mengejutkan.

Kebetulan, Ester dan Tomi ada di rumah. Mereka mendengar pembicaraan mama di telepon, dan langsung memasang telinga baik-baik.

“Karena ICU di rumah sakit ini sedang penuh, Ana akan dipindahkan ke rumah sakit lain.”

“Oh?”

“Mama tenang dulu, proses pemindahannya akan dibantu pihak rumah sakit.”

“Bisa ditengok ndak?”

“Untuk saat ini kondisinya belum stabil.”

“Kamu ada uang, Mas?” suara mama sarat akan kekhawatiran sekaligus ketakutan.

“Saya akan usahakan yang terbaik buat Ana, Ma.”

Begitu telepon ditutup, kehebohan langsung menguar. Mama mondar-mandir serta memerintahkan ini itu hanya supaya bisa sampai di rumah sakit sesegera mungkin.

Lima belas menit kemudian, Ester semakin bingung melihat mama mempersiapkan keperluan yang hendak dibawa ke rumah sakit: tisu, pakaian ganti, keripik, air minum, sabun mandi, handuk, sikat gigi, odol, roti, bahkan sisa lauk dan nasi tadi siang.

“Barang-barang ini buat apa?” tanya Ester frustrasi.

“Ya buat di bawa ke rumah sakit lah!”

“Mama tenang dulu,” ucap Ester.

“Ya ini sudah tenang!” jawab mama dengan nada panik.

Lihat selengkapnya