SANDWICH

Charlotte Diana
Chapter #6

BAB 5

Laba toko yang dikelola mama meningkat selama beberapa bulan. Tentu saja dari sekian pelanggan yang sering datang, ada pelanggan-pelanggan yang berjasa. Mereka adalah si mbak asisten rumah tangga yang waktu itu pernah datang, dan juga Roni. Dari cerita-cerita pelanggan yang lain, hampir semua mengatakan bahwa kunjungan mereka ke toko karena rekomendasi dari dua orang itu.

Di sela-sela waktu santai bersama keluarga, mama menceritakan kebahagiaannya ketika menjaga toko yang kian ramai pengunjung. Ester dan Tomi menanggapi dengan antusias. Cerita mama pun berkembang ke berbagai hal. Dimulai dari cerita bocah-bocah kesepian, hingga gibah para asisten rumah tangga yang menyebar melalui grup chatting. Di akhir cerita, mama akhirnya mengeluhkan kondisi ponselnya.

“Ponsel mama sekarang suka mati,” keluh mama sambil menunjukkan ponselnya yang berkedip-kedip. “Sekarang kebetulan hidup, tapi mama ndak bisa terima pesan singkat yang masuk karena ada tulisan ini.”

Ester melirik layar ponsel mama, di sana ada pemberitahuan: kapasitas memori hampir penuh.

Dalam hati Ester mendesah. Ia tahu ini bukan sekadar keluhan. Ponsel yang mama pakai sekarang, usianya memang sudah lebih dari lima tahun. Jika orang tua yang tidak akrab dengan berbagai perangkat lunak lalu menggunakan ponsel hanya sekadar pakai‒tanpa tahu bagaimana cara membersihkan sampah-sampah digital, tiga tahun adalah jangka waktu yang fantastis. Dan jika sekarang mama mengeluh ponselnya suka mati mendadak, itu wajar.

Ester tersenyum nakal. “Itu karena mama ndak pernah hapus foto-foto dan video-video ndak penting dari grup sosialita lansia. Ponsel juga butuh rehat. Percakapan yang sudah bertahun-tahun dihapus aja.”

Mama mendengus. “Lah cara hapusnya gimana?”

Nah ini! Ini yang selalu membuat generasi milenial hingga alpha frustrasi menghadapi baby boomers.

Dari zaman dahulu kala, mulut Ester sudah berbusa gara-gara memberikan tutorial cara menghapus kontak, video, foto, serta pesan di ponsel. Berulang kali ia menjelaskan kepada mama, mama tetap tak bisa mengingat apalagi memahaminya. Lupa, selalu saja seperti itu respons mama jika ditanya.

“Catatan yang dulu pernah aku buat di mana?” tanya Ester mencoba tabah. Ia bisa menebak, jawabannya pasti ‘lupa’. Ia menunggu mama mengucapkannya, sembari bersiap-siap memberi balasan yang juga selalu ia ucapkan setiap kali mama mengatakan seperti itu.

Mama berusaha mengingat. “Dulu tak masukkan dompet.” Kemudian mama mengambil dompetnya. Mengaduk-aduk isinya, lalu menumpahkannya di atas meja. “Sekarang sudah ndak ada.”

Ester meluapkan kejengkelannya melalui setiap napas yang ia keluarkan. “Menghafal tak sanggup, menyimpan tak mampu. Lalu mama maunya gimana sekarang?”

“Ya ini‒bagaimanapun caranya‒harus bisa dipakai buat kirim pesan singkat, tapi foto-foto, video, dan percakapan yang dulu-dulu biarkan tetap di ponsel ini. Mama masih kepingin baca-baca pesan di grup lansia dan lihat-lihat video sama foto-fotonya. Lumayan buat hiburan.”

Ester memutar bola matanya. “Kalau begitu, aku juga ndak tahu harus diapakan!” Ester berdiri lalu pergi meninggalkan mama.

***

Masalah tak pernah ada habisnya. Di rumah, mama belum berhenti membahas memori ponsel sekalipun masalah itu sudah mencuat berhari-hari yang lalu. Di kantor pun tak jauh beda. Mulai dari masalah receh seperti kesalahan penulisan alamat penerima saat pengiriman dokumen hingga masalah berat seperti kebakaran kapal kargo di laut akibat meledaknya cairan kimia. Ada juga klaim dari pelanggan dengan melampirkan foto-foto sekaligus mengaku bahwa barang yang mereka terima hampir setengahnya rusak parah sekaligus basah, padahal kontainernya baik-baik saja dan tidak ada yang bolong. Semuanya benar-benar menguras energi. Tak jarang Ester terdiam di depan laptop hanya karena bingung. Masalah-masalah yang silih berganti dan saling tumpang tindih, membuat otaknya membeku. Ia tak lagi tahu harus melakukan apa.

Hanya saja, masalah-masalahnya di kantor terlihat memiliki kemiripan di mata Ester.

Semua ternyata punya solusi.

Satu-satunya pembeda hanyalah soal waktu. Ada masalah yang solusinya bisa segera tersedia tanpa harus bersusah payah, ada juga yang membutuhkan waktu hingga berbulan-bulan dan disertai dengan negosiasi panjang.

 Hal itu agaknya membuat kepercayaan dirinya meningkat. Ester yang dulunya dekat dengan resep dokter dan reaksi-reaksi kimia obat, kini lebih mengenal dunia perdagangan internasional beserta permasalahannya. Seluruh ilmu yang pernah ia dapat, seakan-akan memeluknya. Melekat dengannya. Dan semua sudah bukan lagi persoalan untuknya. Masa lalu biarlah tetap menjadi masa lalu, sedangkan hari ini dan masa depan harus diperjuangkan. Begitulah ia selalu menyemangati diri sendiri.

Dan perjuangannya tidak sia-sia. Walau hasil yang dimaksud bukan secara gamblang langsung berdampak pada perusahaan, tetapi‒paling tidak‒dampaknya dapat dirasakan oleh Ester sendiri. Makin hari, ia kian nyaman dengan pekerjaannya itu. Ia tidak terkekang dengan rutinitasnya. Rutinitasnya mengasah kebiasaan. Kebiasaan yang terus diulang, menajamkan kemampuannya. Kemampuan yang terus-menerus ditajamkan, membuatnya mampu mengambil keputusan-keputusan yang sulit. Dan sepanjang berjalannya waktu, pengalaman-pengalamannya itu membuat ia makin mencintai pekerjaannya. Tiap kali masalah datang, ia selalu bersemangat mencari solusinya.

Suatu hari, di tengah rutinitas yang padat, Pak Liem memanggil Ester agar menemuinya.

“Ada apa, Pak?” tanya Ester.

“Duduklah.”

Meja kerja Pak Liem penuh dengan tumpukan kertas.Ester nyaris tak melihat warna bagian atas pelitur meja karena tertutup banyak kertas-kertas itu.

“Ini soal pelanggan Q.”

Pikiran Ester langsung dijejali berbagai kemungkinan arah pembicaraan mereka. Ester tahu, setelah kasus itu terjadi, sempat ada berita miring yang menganggapnya kurang waras.

“Sebenarnya apa yang terjadi?”

Bukankah kejadian itu sudah lama berlalu? Ester bertanya-tanya dalam hati. Ketika ia melihat Pak Liem bersedekap, mau tak mau ia menceritakan semua kejadian yang sebenarnya. Beberapa kali ia melihat atasannya itu mengangguk sebelum akhirnya menanggapi penjelasannya.

“Jadi, niatmu hanya supaya kita bisa menerima pembayaran dari bank, kan?”

Seolah-olah tak menunggu Ester menjawab, Pak Liem menarik beberapa lembar dari tumpukan kertas di mejanya yang berantakan lalu menyodorkan semuanya kepadanya.

“Coba kamu baca.”

“Ini tagihan-tagihan yang keluar akibat perintah saya, Pak?”

“Benar.”

Jawaban itu membuat hati Ester gentar. Selama ini, ia tak pernah tahu jumlah pasti orang-orang yang lembur akibat perintahnya untuk membongkar ulang isi kontainer. Yang membuatnya terkejut, di lembaran itu pun tertera tagihan-tagihan lain yang belum ia ketahui sebelumnya. Ia mengangkat kepala hendak mengatakan sesuatu pada Pak Liem, tetapi atasannya itu lebih dulu berbicara, “Coba kamu hitung total pengeluarannya.” Pak Liem langsung menyodorkan kalkulator kepadanya.

Jemari Ester gemetar ketika menekan tombol kalkulator. Usai menghitung, ia memperlihatkan angkanya kepada Pak Liem dan beliau hanya mengangguk.

“Coba sekarang kamu hitung uang yang kita terima dari pencairan L/C.” Pak Liem lalu menyodorkan lembaran yang lain. “Hitung dengan nilai tukar rupiah hari ini.”

Ester melihat tangannya sendiri bergetar dan berharap pak bos tak memerhatikan jari-jarinya. Isi kepalanya pun dipenuhi berbagai pembahasan yang mungkin muncul usai ia selesai menghitung pemasukan mereka dari pelanggan Q. Mulai dari pembahasan yang masuk akal, hingga yang tidak. Apa pun pembahasan selanjutnya, dalam hati Ester bersiap-siap menerima risiko terburuk yang bakal ia terima. Walau sebenarnya ia hanya berharap dimarahi, itu sudah cukup membuatnya jera. Jangan lebih dari itu.

“Ini, Pak.” Ester menunjukkan hasil hitungannya.

“Kamu lihat selisihnya, kan?”

Ester hanya berani mengangguk.

“Seandainya tidak ada drama barang jatuh, yang disusul drama kontainer kembali tengah malam, sebenarnya tambahan biaya seperti ini tak perlu dikeluarkan.”

Lagi-lagi Ester mengangguk. Dalam hati ia pun hanya bisa mengucapkan maaf.

“Tapi jika kau tak berani mengambil keputusan anti mainstream, kita tak akan menerima pembayaran dari bank atas tagihan pelanggan Q. Terima kasih.”

Kalimat itu membuat Ester melongo. Seumur-umur, baru kali ini ia mendengar gajah mengucapkan terima kasih kepada tikus got.

“Ke depannya, saya mau kamu belajar lebih lagi soal komunikasi antar departemen.”

Permintaan itu lebih terdengar seperti himbauan ketimbang teguran. “Baik, Pak.”

“Dan ada satu hal lagi,” ujar Pak Liem segera. “Di tengah pergolakan ekonomi, kondisi bisnis ekspor perusahaan ini masih bisa berjalan baik. Tapi, bukan berarti kita bisa santai.”

Ester mengangguk setuju.

“Sebab, permasalahan yang timbul semakin kompleks. Kamu tahu itu, kan?”

Sekali lagi Ester mengangguk. Ia kembali mengingat masalah-masalah yang pernah ia hadapi dan selesaikan. Entah bagaimana, ingatan itu kini membuatnya merinding. Entah mengapa, ia yang biasanya selalu bersemangat mencari solusi, sekarang justru merinding ngeri. Jika saja diminta kembali menangani masalah-masalah seperti itu, aku harus lebih berhati-hati. Lebih-lebih karena baru saja mereka membahas masalah dengan pesanan pelanggan Q. Tanpa kehati-hatian, terlalu besar risikonya. Terlalu berat beban yang harus ia hadapi. Bukan hanya karena harus mengahadapi pelanggan yang cerewet, tetapi lebih menyiksa lagi bila harus menghadapi rekan kerja yang berbeda pendapat atau telanjur terlibat dalam pusara komunikasi yang buruk.

“Betul,” ucap Ester setuju.

“Karena itu, saya mau kamu sekarang mengelola data internal di perusahaan ini agar kita semua bisa waspada.”

Ester semakin mengerjap bingung. “Maksudnya, Pak?”

Lihat selengkapnya