“Ka-mu ha-rus se-mang-at!”
Sejujurnya, Joshua adalah satu-satunya sahabat yang kepadanya Ester berani menceritakan seluruh isi hatinya tanpa takut dihakimi. Sebab, ketika ia menceritakan berbagai kejadian yang dialaminya akhir-akhir ini, seperti biasa, dengan wajah penuh prihatin Joshua justru memberinya dorongan melalui kata-kata.
Ester tak tahu seberapa banyak kosakata yang Joshua kuasai akibat pengaruh tulah, tetapi selama pacarnya itu mengerti seluruh ucapannya, lalu merespons dengan anggukkan, Ester menganggap bahwa Joshua memahami ceritanya. Bahkan, sekalipun dirinya sudah mendengar kata-kata penyemangat itu dua kali, ia tahu Joshua tak sekadar mengucapkannya. Ada satu ruang di hatinya yang bergetar ketika dirinya mendengar kata-kata itu.
“Tapi kalau harus jujur dengan diri sendiri, aku sudah tak tahan dengan pekerjaanku yang sekarang,” keluh Ester menanggapi Joshua.
“Ka-mu ha-rus se-mang-at!” Lagi-lagi Joshua berkata seperti itu. Namun, kali ini ia mengatakannya sambil menatap mata Ester. Kedua tangannya pun menangkup tangan Ester.
Di titik itulah Ester berjuang keras membendung air matanya.
Ester mengerjap lalu membalas tatapan Joshua. Sekalipun di matanya, wajah laki-laki itu benar-benar terlihat seperti pahatan wajah tentara terakota, ia tahu wajah itu tetap memancarkan empati sekaligus ketulusan.
Berempati dengan perasaannya.
Dan juga ketulusan untuk mengatakan: semangat.
Kata-kata itu tak sekadar diucapkan dengan mengangkat kepalan tangan lalu memperlihatkan otot lengan yang kuat menanggung beban, tetapi lebih dalam lagi, Joshua mengucapkannya dengan tekad yang kuat dan bertahan hingga masalahnya selesai. Dan dukungan itu membuat air mata Ester berhenti.
“Se-mua pas-ti a-da ja-lan ke-lu-ar-nya.” Joshua mempererat genggaman tangannya, seolah-olah memberi tahu bahwa dirinya siap berdiri di samping Ester apa pun kondisinya.
Ester mengangguk. Ia kemudian menarik napas panjang, lalu mengembuskannya cepat-cepat. “Makasi, Jo. Aku juga bersyukur mama masih sehat sampai saat ini.”
Ester melihat wajah tentara terakota yang ia cintai tersenyum. Laki-laki itu pun menepuk punggung tangannya sebelum akhirnya menjauhkan tangannya dari tangan Ester.
“Ja-di ba-gai-ma-na ren-ca-na-mu?”
Karena Ester masih tertunduk dan menyibukkan diri dengan menyeka air mata, Joshua kembali bersuara, “Ka-lau bo-leh be-ri sa-ran, se-ba-ik-nya kau per-gi me-ne-mu-i a-tas-an-mu, bi-ca-ra-lah pa-da-nya.”
***
Pagi itu Ester menerima lebih banyak surel yang masuk. Setengahnya berisi keluhan ini itu karena banyak hal yang belum ia tindaklanjuti, sisanya adalah masalah baru yang perlu ia selesaikan segera.
Baru saja ia menarik napas panjang, hendak memulai hari-harinya yang berat. Tiba-tiba saja ponselnya berdering. Nama Tomi muncul di layar ponsel.
“Ada apa?” tanya Ester dengan nada buru-buru.
“Catatan nomor buat pesan pulsa kirim ke aku aja, bisa? Biar aku yang ambil alih, supaya mama bisa fokus jaga toko.”
Alis Ester terangkat. “Oh, kalau kamu butuh cepat, kamu coba tanya mama.”
“Masalahnya mama lupa …. Sore aja kalau begitu. Sementara biar aku tampung dulu uang yang pada mau beli pulsa. Banyak yang mau beli nih soalnya.”
“Hmm.”
“Dan aku juga mau bilang, bulan depan aku harus bayar kuliah lagi. Uang yang aku tabung selama ini sudah terpakai buat bayar sks semester lalu sama buat tugas kampus. Sekarang baru terkumpul setengah, kurang setengah lagi.”
Sekali lagi Ester menarik napas panjang. Ia tahu, sejauh ini Tomi pun sudah berusaha semampunya mencari uang dengan mengajar taekwondo. Namun, hasilnya juga tidak seperti pekerja kantoran pada umumnya. Bisa untuk mencukupi kebutuhannya sendiri saja sudah bagus. “Kamu sudah kontak Ana?”
“Belum. Aku … aku ndak tega sama Ana.”
“Ndak tega kenapa? Toh kita sudah sepakat buat nanggung kebutuhan rumah bersama-sama, kan?”
“Ya, memang. Tapi dia kan sekarang sudah punya anak.”
“Ah, kalau alasannya hanya itu, ndak perlu sungkan. Kalau kamu masih anggap dia saudara kandung, kabari Ana. Dan kalau Ana masih menganggap kita sedarah, pasti dia pun tak akan menutup mata!”
“Ya deh.”
Setelah telepon ditutup, Ester kembali menatap sekilas surel yang masuk pagi ini dan juga melirik laporan-laporan yang belum terselesaikan. Ingatan akan perkataan Joshua waktu itu kembali membayangi dirinya. Saran Joshua memang terdengar masuk akal, tetapi bukan berarti hal itu dapat dengan mudah dilaksanakan.
Apa yang harus kukatakan pada Pak Liem? batin Ester.
Mengeluh kepada atasan perihal tanggung jawab pekerjaan bukanlah ide cemerlang. Bayangan akan sosok Pak Liem sedang menggebrak meja berputar-putar bagai lingkaran halo di atas kepala Ester. Meski begitu, ia juga tidak bisa terus-menerus membiarkan pekerjaannya terbengkalai seperti ini.
Kegentarannya menghadapi persoalan‒yang saat ini membawanya untuk berhadapan lagsung dengan Pak Liem‒mengalun bagaikan irama rebab di nada minor yang menusuk telinga.
Ketika tangan Ester menyentuh gagang pintu ruangan Pak Liem, dunianya terasa berhenti. Awan-awan kelabu seperti menyelubunginya.
Trok … trok … trok …
Kini suara rebab tak lagi dominan. Suara piak-kou dan gembreng perlahan terdengar. Membangun irama. Mengikuti ritme detak jantung. Detak jantung Ester.
Dengan tangan bergetar, ia pun membuka pintu ruangan.
Yang ia lihat pertama kali ternyata kotak pementasan wayang potehi. Kali ini, sang dalang sedang menuturkan kisah Li Si Bin yang memiliki prestasi militer yang gemilang. Keberadaan Li Si Bin rupa-rupanya menjadi ancaman bagi kakak laki-lakinya yang adalah pewaris tahta …”
“Pagi Pak,” sapanya dengan nada gugup. Sayup-sayup ia masih mendengar kisah yang dituturkan sang dalang, tetapi bulu kuduknya langsung berdiri ketika sang dalang itu menyebutkan pembunuhan …. Ya, Ester ingat. Saudara-saudara kandung Li Si Bin sempat merencanakan pembunuhan terhadapnya.
“Ya?” Pak Liem mengangkat wajahnya. “Silakan duduk.”
Setelah Ester duduk berhadapan dengannya, ia bertanya, “Ada apa?”
Ester bertanya-tanya apakah atasannya ini sudah mendengar keluhan para kolega tentang dirinya atau belum. Dan … berbeda dengan Joshua, ketika berhadapan dengan Pak Liem, Ester tak dapat merasakan sesuatu kecuali melihat wajah tentara terakota yang lebih bulat ketimbang wajah pacarnya.
“Salah satu surel Bapak ada yang belum saya jawab.”
Pak Liem berpikir sejenak seakan mengingat sesuatu. “Ah, ya!” Jari-jarinya menari indah di atas papan ketik laptop seperti menelusuri sesuatu. “Surel saya dua minggu yang lalu soal laporan hitungan order. Apakah kamu sudah memiliki jawabannya?”
“Itu yang hendak saya sampaikan.”
Pak Liem melipat kedua tangannya di atas meja. “Coba jelaskan.”
Ester menelan ludah. “Saya sudah berupaya menghimpun data forecast untuk dapat berkoordinasi langsung dengan PPIC soal menipisnya stok furnitur di gudang barang jadi yang siap diekspor.”
“Lalu?”
“Sebelumnya saya minta maaf, sebab data terakhir yang bisa saya himpun dengan akurat hanyalah data satu bulan yang lalu.”
Alis Pak Liem bergerak. “Oh?”
“Tapi dari data itu, saya sudah menyiapkan daftar yang isinya barang apa saja yang perlu diproduksi untuk memenuhi kebutuhan forecast. Berikut datanya, Pak.” Ester menyerahkan satu bundel data kepada Pak Liem.
Pak Liem menerima, lalu membalik masing-masing halamannya dengan cepat sebelum akhirnya kembali menatap Ester. “Tapi data yang kamu himpun adalah data satu bulan yang lalu? Bagaimana dengan akurasinya?”
Untuk kedua kalinya Ester menelan ludah. Ia hanya berani menatap hidung Pak Liem. “Betul, satu bulan yang lalu. Sekali lagi maaf, saya terpaksa pakai data itu, karena terus terang data yang setelahnya belum selesai saya buat.” Ia terdiam sejenak sembari mengamati reaksi Pak Liem, tetapi atasannya itu tak bereaksi. “Soal akurasi, memang hal itu hanya bisa dibuktikan dengan membandingkan data sebelumnya dengan data terkini.”
“Kenapa kamu belum selesai membuat laporan-laporan itu?”
Nada suara Pak Liem tidak menunjukkan kemarahan, tetapi juga tak terlihat senang. Ester semakin gemetar. “Karena dibutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk mengolah masing-masing data.”
“Berapa lama waktu yang kamu perlukan untuk membuat satu laporan?”
“Satu laporan satu hari, Pak.”
Mata Pak Liem membulat. “Satu hari?”
Ester mengangguk.
“Lama sekali?”
Ester tak bisa menjawab.
Percakapan mereka terhenti cukup lama. Akhirnya Pak Liem kembali berucap, “Kalau begitu, apa yang bisa kamu kerjakan untuk mengejar laporan-laporan yang belum selesai?”
“Saya akan berusaha bekerja secepat mungkin, Pak.” Usai memberikan jawaban itu, tatapan Ester langsung menerawang. Ia tahu bahwa sebenarnya jawaban itu adalah jawaban klasik yang sama sekali tak menyuguhkan jalan keluar. Masalahnya, ia memang tak menemukan jalan keluar apa pun. Apalagi, ia tahu bahwa secepat apa pun dirinya bekerja, jelas tak mungkin lagi untuk mengejar ketertinggalan sementara hanya ia sendirian yang berjuang menyelesaikan tanggung jawabnya itu. Kesulitannya sudah begitu kompleks serta melibatkan banyak departemen berikut orang-orangnya. Ester tahu itu. Namun kali ini, di saat terhimpit seperti ini, ia pun tak tahu lagi bagaimana harus memberi jawab.
Ester tak berani membayangkan apa yang akan terjadi seandainya Pak Liem murka lalu memberhentikan dirinya secara sepihak. Atau, mungkin ia tidak dikeluarkan, tetapi ia harus pindah kerjaan lalu mendapat upah di bawah seratus sen.
Percakapannya dengan Tomi tadi kembali terngiang-ngiang. Anggapan bahwa Ana tak mungkin lagi mampu menyokong kebutuhan keluarga, serta bayangan akan kerutan di wajah mama yang akan semakin tampak jelas karena tuntutan hidup yang semakin tinggi membuat Ester ketakutan.
Seandainya saja gajiku hanya kupakai untuk diriku sendiri, mungkin ketakutan ini tak akan seberapa. Paling tidak, aku hanya harus berjuang untuk hidupku sendiri.
Di hadapan Pak Liem, Ester berusaha menahan air mata. Ia tak ingin mencampurkan urusan keluarganya dengan urusan pekerjaan.
Sementara itu, Pak Liem masih berkutat di depan laptopnya. Tak lama kemudian, ia mencetak satu data, lalu menunjukkannya kepada Ester. “Ini adalah laporan-laporan yang harus kamu buat, kan?”
Di sana tertulis empat jenis laporan yang harus ia kerjakan. “Iya, Pak.”
“Mengapa kamu tak mencoba untuk menggabungkan empat laporan itu menjadi satu?”
Ester mengerjap berulang kali. Pak Liem tadi bilang apa? “Digabungkan bagaimana maksudnya, Pak?” Ia semakin tak yakin bagaimana harus menilai dirinya sendiri. Namun bila harus jujur, ide seperti itu sama sekali tak pernah terpikir olehnya.