SANDWICH

Charlotte Diana
Chapter #8

BAB 7

Harus siap-siap. Harus siap-siap. Harus siap-siap.

Selama perjalanan pulang dari restoran, kata-kata itu benar-benar mendesis di kepala Ester. Ia sampai-sampai tak menyadari bahwa mereka baru saja tiba di rumah.

“Terima kasih ya,” ucap mama pada Joshua sebelum ia masuk ke rumah.

Malam itu, Joshua yang mengawal mereka sampai ke rumah, karena Ana dan Ben harus pulang segera lantaran Nonik rewel.

Joshua mengangguk sopan dan menunggu hingga mama tak lagi terlihat.

Tatapannya beralih ke Ester. “Di si-ni di-ngin. Ka-mu ma-suk ru-mah du-lu, ba-ru a-ku per-gi.”

Ester masih menatapnya. “Jo, kamu benar-benar sayang aku, kan?”

Alis Joshua bertaut. “Ke-na-pa ha-rus di-per-ta-nya-kan?”

“Ester!” Suara mama tiba-tiba memecah keheningan malam.

Ester!!” Suara mama kian melengking, membuat Ester dan Joshua saling berpandangan penuh tanya.

“Sa-na ma-suk,” perintah Joshua.

Dari kejauhan, Ester melihat mama duduk lemas di kursi teras. Ia mempercepat langkahnya. Semakin mendekati halaman, Ester bisa melihat tirai jendela depan sudah melayang-layang tertiup angin.

“Mama kenapa?” tanya Ester cepat. Ia langsung mengeluarkan botol minum dan memberikannya untuk mama. Pandangannya lalu menjelajah ke sisi-sisi jendela yang sudah kehilangan pengait serta engselnya rusak.

Dari dalam rumah, Tomi kemudian muncul dan bertemu pandang dengan Ester.

Tomi menggeleng.

Rumah kita kemalingan.

Kata-kata itu tidak terucapkan, tetapi Ester mengetahui maksud Tomi.

“Di dalam sudah tak ada siapa-siapa, kamu cek dulu apa aja barangmu yang hilang,” ungkap Tomi setelah berdiri di dekat Ester dan mama.

Ester langsung berlari, ke kamar mama. Pakaian di lemari sudah berhamburan di atas ranjang. laci lemari terbuka dan wadah kecil tempat mama biasa menyimpan perhiasan sudah tidak ada di sana.

Ester beralih ke ruang tengah. Lauk-lauk sisa tadi siang yang masih di meja makan sudah lenyap tak berbekas. Juga nasi di dalam penanak sudah berkurang. Juga ada sedikit cipratan air serta pecahan gelas yang mungkin digunakan si maling untuk minum.

Keadaan toko terlihat rapi. Namun, Ester melihat butiran beras tercecer di lantai. Ketika ia melihat isi tempat penyimpanan beras, ternyata wadahnya sudah kosong. Pun dengan sembako lain seperti gula, mi instan, dan minyak juga habis tercuri tanpa sisa.

Di kamarnya sendiri, Ester langsung bergeming karena laptop beserta tasnya pun disapu bersih oleh si maling.

Itu laptop buat kerja.

Untuk membuat laporan.

Dan saat ini, ia masih memiliki proyek menggabungkan laporan-laporan yang diminta Pak Liem.

Menarik napas panjang pun rasanya tidak menyelesaikan masalah. Ester berharap ini semua hanya mimpi. Namun, semakin ia menyangkali kenyataan, semakin takutlah ia.

Dan ketakutannya itu sangat nyata!

Butuh waktu beberapa saat hingga pikiran Ester bisa kembali, dan ia berjuang keras menghampiri mama dan Tomi tanpa berderai air mata.

Joshua pun masih ada di sana bersama Tomi dan mama.

Ester melirik Joshua. Tanpa berkata-kata, tatapannya beralih ke Tomi. “Laptop Ana yang dipinjamkan ke kamu juga hilang?”

Tomi memandang Ester dengan tatapan kosong. Bibirnya berkerut, lalu ia mengangguk pasrah. Menit berikutnya, Ana menelepon untuk menenangkan mama sekaligus menghibur dengan berbagai kata-kata yang menguatkan.

“I-ni per-lu se-ge-ra di-per-ba-iki su-pa-ya ka-li-an bi-sa ti-dur,” tandas Joshua untuk mencairkan suasana, sambil menunjuk ke bagian engsel jendela.

“Iya, Koh. Ini gimana cara benerinnya, ya?” tanya Tomi. “Buat sementara dulu.”

Joshua berpikir sejenak lalu meminta Tomi menyediakan beberapa perkakas. Mereka berdua lalu mengerjakan perbaikan jendela untuk sementara waktu; Ester dan mama menunggu di dalam sembari membereskan pakaian-pakaian serta barang-barang yang berhamburan.

“Ka-mu ja-ngan lu-pa ka-ba-ri o-rang kan-tor,” tutur Joshua mengingatkan Ester di setelah perbaikan engsel pintu hampir selesai.

“Apa yang harus aku katakan?” balas Ester lesu. “Seandainya aku punya uang cukup, mungkin aku akan membeli laptop baru besok pagi-pagi. Setelahnya aku baru akan memberi kabar orang kantor.”

Joshua menggeleng. “Se-ba-ik-nya, ka-ba-ri me-re-ka ma-lam i-ni.”

Itu saran yang sulit untuk dilakukan sebenarnya.

Memberi kabar Pak Liem atau Bu Tia menjelang tengah malam jelas bukanlah waktu yang umum. Bila mengatakannya langsung esok hari di tengah padatnya ritme pekerjaan, juga bukan ide cemerlang. Apalagi memberi kabar buruk kepada atasan karena kesalahan pribadi di mana beban pekerjaan sedang benar-benar padat, juga bisa memicu kekecewaan. Ester tahu betul konsekuensinya.

Opsi untuk menghubungi Lika di bagian IT pun juga bukan solusi tokcer. Lika tidak mungkin tidak memberi tahu sesama anggota IT. Itu berarti, akan semakin banyak orang kantor yang mendengar kemalangan yang sedang menimpanya. Dan ia tidak ingin banyak orang tahu. Selain itu, bisa dipastikan ujung-ujungnya Lika pun akan berkonsultasi dengan Pak Liem sebelum mengambil keputusan ini dan itu. Padahal, kalaupun pak bos harus tahu, setidaknya kabar itu didengarnya dari Ester langsung. Bukan dari orang lain.

“Su-dah di-kon-tak?” tanya Joshua.

Ester menggeleng. Tangannya langsung terasa kaku. Ia membuka buku kontaknya di ponsel. Jarinya bergerak-gerak memilih nama-nama yang harus ia hubungi malam itu. Di saat bersamaan pula, ia nyaris putus asa memikirkan berbagai macam kalimat yang harus sampaikan.

Namun kalau malam ini ia tak menghubungi siapa pun, bisa jadi esok hari ia tak bisa bekerja karena tak ada laptop ….

***

Berita kemalingan membuat heboh warga malam itu juga. Bapak-bapak dari tetangga terdekat langsung berdatangan mengecek wilayah sekitar rumah. Mereka menyenter berbagai sudut. Yang memiliki anjing juga ikut membantu mencari jejak si maling. Ibu-ibu bahkan ikut turun tangan‒setidaknya‒menyediakan teh hangat buat bapak-bapak yang melek tengah malam.

“Sementara jendelanya perlu diberi gembok,” saran salah satu tetangga.

Tomi mengangguk. “Tadi kami sudah upayakan supaya bisa tertutup lebih dulu, Pak. Mungkin besok pagi baru bisa pasang gembok.”

“Atau saya juga punya kenalan yang bisa bikin teralis. Ini rumah kalian belum diteralis soalnya,” komentar tetangga yang lain. “Mau saya kirim kontaknya?”

Sekali lagi Tomi mengangguk. “Iya boleh, Pak. Nanti saya coba bicarakan dengan orang rumah yang lain.”

“Akses si maling melalui jendela depan. Sepertinya, ia lebih dulu makan di meja makan, baru kemudian menggasak barang-barang kalian,” tutur tetangga yang memelihara anjing labrador.

Keterangan itu rupanya menarik perhatian banyak orang.

“Terus, malingnya ke arah mana?” Tetangga yang lain lagi menimpali.

“Dia ke arah samping rumah, lalu menyusup lewat jalan setapak di belakang rumah.”

“Wah, berarti di bagian belakang nanti perlu dipasang kawat duri dan penerangan.”

“Betul, sekitar situ memang gelap sekali.”

Dari kejauhan, Ester, mama dan beberapa ibu-ibu yang duduk mendengarkan obrolan bapak-bapak dengan Tomi. Ketika obrolan itu kian melantur ke pembahasan yang lain, seorang ibu yang duduk di dekat mama menepuk punggung tangan mama.

“Jeng, apa mau manggil orang pinter aja? Dari pengalaman saya, barang-barangnya bisa kembali. Kan lumayan.”

“Iya!” sahut ibu-ibu yang lain. “Ndak perlu sampai yang gimana-gimana gitu. Cukup minta orang pinternya tunjukin di mana si maling itu menjual barang-barang kita. Kayak begitu biasanya dijual ke tukang tadah khusus. Nah, kalau setelahnya ibu mau lapor polisi, ya monggo.”

Mama melirik Ester dan Ester menggeleng. “Ndak usah, Bu. Terima kasih. Saya dan anak-anak ikhlas barang-barang kami diambil maling.”

***

“Ester, aku sudah sampaikan semua ke Pak Liem soal kemalingan yang kamu ceritakan semalam. Kata beliau, kamu pakai laptop ini dulu.”

Informasi itu diucapkan Lika tak lama setelah Ester duduk di kursinya. Lika menyerahkan laptop pengganti lalu pergi tanpa mengatakan lebih.

Dengan tetap duduk di kursinya, Ester terpaku memandangi laptop di mejanya. Ia berpikir bahwa dengan hadirnya laptop pengganti dalam waktu sekejap, berarti Pak Liem tak menghendaki proyek yang sedang ia kerjakan mengalami hambatan. Jika demikian, pagi itu Ester perlu segera berkonsentrasi dengan proyeknya.

Namun tidak semudah itu menjalaninya.

Pagi itu, otak Ester belum sanggup bekerja maksimal. Di satu sisi, ia dibayang-bayangi rasa takut untuk bertemu langsung dengan Pak Liem. Di lain sisi, dirinya juga tak bisa fokus bekerja karena urusan rumah pun belum beres.

Tadi, mama sempat menelepon, memberi tahu bahwa ada beberapa tetangga memberi nomor kontak pandai besi yang ahli dalam membuat teralis. Mama belum berani menghubungi para pandai besi itu tanpa persetujuan Ester.

Di kasus ini, mama ingin tahu berapa uang yang Ester miliki untuk membuat teralis. Sayangnya, Ester tak bisa memutuskan hal tersebut hanya dengan pembicaraan melalui sambungan telepon. Ia perlu bicara langsung dengan mama agar penyampaiannya bisa lebih baik. Pun Ester mempertimbangkan darah tinggi yang mama derita. Salah-salah, ia justru akan membuat masalahnya semakin runyam.

Lamunan Ester langsung terhenti tatkala ponselnya berdering. Ester meliriknya sekilas. Ketika nama “mama” terpampang di layar ponsel, ia tak menghiraukannya. Ia malah pergi ke ruangan Pak Liem.

“Maaf Pak,” kata-kata itu keluar saat Ester sudah dipersilakan duduk oleh Pak Liem. “Semalam saya hanya beri kabar lewat pesan singkat. Ini salah saya sepenuhnya. Kalau gaji saya mau dipotong untuk penggantian biaya laptop, saya mohon supaya dipotongnya bertahap.”

Kening Pak Liem berkerut. Ia kemudian bersandar di kursinya. “Saya tidak berencana memotong gajimu.”

Ester mengerjap beberapa kali. “Dipotong pun tidak apa-apa, Pak.” Setelahnya Ester berkata pada dirinya sendiri bahwa ia benar-benar bodoh!

Pak Liem mengangguk; Ester semakin was-was jika Pak Liem berubah pikiran.

“Memang, tapi saya tidak mau,” jawab Pak Liem singkat. “Itu musibah. Dan saya rasa memang sudah saatnya laptopmu diganti. Laporan-laporan yang kamu kerjakan saat ini menuntut performa perangkat yang lebih baik. Sedangkan laptop yang hilang ini, sama sekali bukan perangkat yang cocok. Saya akan belikan yang baru untuk kamu.”

Lihat selengkapnya