SANDWICH

Charlotte Diana
Chapter #9

BAB 8

 

“Masih muncul not responding?” tanya Bu Tia memastikan.

Ester menggeleng. “Sekarang sudah tidak, Bu.”

Dalam hati Ester tersenyum puas karena laptop barunya sudah bisa ia pakai. Lebih canggih, lebih kecil, dan lebih ringan dari yang sebelumnya. Kemarin, ketika dirinya menerima laptop yang ini, dengkulnya seakan lunglai. Kejadiannya seperti mimpi yang amat sangat indah. Sesaat ia menduga bahwa dirinya adalah karyawan paling beruntung di dunia.

Bu Tia mengangguk senang. “Lalu sampai di mana perkembangan proyeknya?”

“Seperti ini.” Ester memutar laptopnya ke arah Bu Tia.

“Coba bagian yang ini,” ucap Bu Tia sembari menunjuk ke sejumlah kolom. “Kamu ganti formulanya menggunakan match dan index, lalu di format agar berwarna jika kriterianya terpenuhi. Gunakan juga formula iferror dengan value iferror adalah kosong. Jadi, datamu akan terlihat lebih bersih.”

Ester mengangguk. Sambil mengerjakan, diam-diam ia menaruh kekagumannya pada keahlian istri Pak Liem. Ia bertanya-tanya, berapa lama wanita ini mengeruk ilmu hingga menjadi seseorang yang ahli seperti itu? Lima tahun? Sepuluh tahun? Dua puluh tahun?

“Oh ya, tolong jangan lupa teliti lagi diagram percabangan if-else untuk mengecek formula yang sudah kamu pakai!” tambah Bu Tia sebelum ia kembali fokus ke layar laptopnya.

Sekali lagi Ester mengangguk, tetapi matanya tak lagi memerhatikan layar laptop. Pandangannya teralih ke keriput di jari-jari tangan Bu Tia. Ester menduga atasannya itu belum mencapai usia lima puluh. Mungkin empat puluhan. Sama seperti usia suaminya. Jadi, seandainya bu Tia sudah menimba ilmu selama dua puluh tahun, berarti sejak usia dua puluhan, atasannya itu sudah berjuang mengumpulkan ilmunya!

Ester mulai membandingkan dirinya dengan Bu Tia. Sejauh ini, ia tak merasa memiliki kemajuan di bidang keahliannya. Yang ada justru kemunduran. Ia bahkan tak tahu bagaimana caranya mengumpulkan ilmu. Ilmu farmasi yang ia timba selama empat tahun saat kuliah saja nyatanya mulai melapuk. Pekerjaanya yang sekarang pun tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa akan menjadikan dirinya seseorang yang ahli di satu bidang tertentu. Bidang pekerjaan yang ingin ia tekuni pun tak ada dalam kendalinya, karena Pak Liem tampaknya hobi memindahkan posisi karyawan dari departemen satu ke departemen yang lain. Jika demikian, apakah dirinya masih bisa berharap bahwa dirinya akan mencapai kesuksesan dan menjadi seorang ahli dalam waktu dua puluh tahun mendatang?

Dari balik bulu matanya, Ester sekali lagi menatap Bu Tia. Yang meskipun ia tak bisa melihat rupa atasannya secara pasti, hatinya mengatakan bahwa wanita itu rupawan. Pembawaannya pun anggun. Bila disandingkan dengan keahlian yang mengagumkan, pastinya Pak Liem akan sangat bersyukur memiliki istri yang luar biasa seperti Bu Tia.

Dan rasa kagum itu kian berkembang dalam diri Ester.

“Apa saya boleh bertanya, Bu?” Suara Ester tiba-tiba memecah keheningan.

Wanita itu berhenti mengetik. Dengan kedua tangan yang terlipat di atas meja, ia seperti memberi isyarat bahwa dirinya siap menjawab pertanyaan Ester. “Silakan.”

“Ibu perlu waktu berapa tahun belajar untuk menjadi seorang ahli seperti ini?”

“Saya bukan seorang ahli, Ester. Saya pun masih terus belajar hingga saat ini.” Bu Tia kemudian mengetuk-ketukkan jari ke meja. “Mungkin saya sudah belajar selama kurang lebih empat puluh dekade.”

“Empat puluh dekade, Bu?” Mata Ester mengerjap. “Apa saya ndak salah dengar?” Namun setelahnya, sekonyong-konyong ia teringat akan artikel yang pernah ia baca bertahun-tahun silam. Kini ia tahu bahwa pertanyaannya itu salah. Hanya saja ….

“Tentu tidak,” jawab Bu Tia singkat sambil menyandarkan punggung ke kursi lalu bersedekap. “Kenyataannya memang begitu. Saya memang telah belajar selama itu.”

Ester menelan ludahnya sendiri. “Empat puluh dekade itu sama saja dengan empat ratus tahun, Bu. Benarkah selama itu?”

Bu Tia mengangguk. “Ya, empat ratus tahun. Sembari belajar, saya pun melihat sejarah bangsa ini bergulir, kalau kamu mau tahu.”

Ester masih mengerjap heran. “Ibu melihat semuanya? Dengan mata kepala sendiri?”

Bu Tia mengangguk lagi. “Sebenarnya tidak semua. Hanya yang lewat di depan mata saya saja yang bisa saya lihat.”

“Jadi Ibu melewati masa-masa order baru? Perang kemerdekaan? Penjajahan Belanda, Inggris, bahkan … kejayaan serta keruntuhan VOC?”

Bu Tia mengangguk.

“Hah? Serius, Bu?”

Bu Tia mengangguk lagi. “Iya, saya serius. Masa-masa itu dilewati dengan berbagai pergolakan. Dan … pergolakan yang terjadi di negeri ini sungguh membuat saya takut. Dari soal perang, kejamnya kerja rodi serta romusha, kejamnya pembunuhan di tahun 65, tragedi Mei 98 … yah, kalau saya masih hidup sampai sekarang, itu anugerah.”

Ester terhenyak. “Maaf, tapi … bagaimana mungkin Ibu melewatinya?”

Kedua bahu Bu Tia terangkat. “Lari. Saya dan suami berlari menjauh mengikuti insting. Yang jelas, setelah kami melewati semuanya, saya ndak ingin kejadian-kejadian itu terulang lagi di negeri ini.”

Entah mengapa, Ester merasa dirinya merinding. “Saya pun tidak. Tapi, saya kagum dengan usia ibu yang amat panjang serta perjuangan Ibu melewati semuanya.”

Sedikit senyuman terulas di wajah Bu Tia. “Sejujurnya, saya lelah, Ester. Sayangnya, saya ndak tahu kapan saya mati, kenapa umur saya begitu panjang, dan kenapa dulu saya diberi kesempatan untuk selamat dari semua cobaan yang membawa maut. Tapi selama saya masih bernapas, saya harus terus belajar, bekerja, dan berani bertahan hidup.”

Jawaban itu membuat Ester kemudian bungkam. Ia hanya meringis singkat, lalu kembali memandang pekerjaannya serta berjuang keras agar proyeknya itu segera selesai.

Sayangnya, kembali fokus setelah mendengar kisah hidup Bu Tia tampaknya mustahil.

***

“Sab-tu be-sok ka-mu a-da a-ca-ra?” Joshua kembali bertanya di minggu berikutnya.

“Kamu mau ajak aku ke mana?”

“Ma-kan ma-lam di res-to-ran?”

“Restoran mana?”

“Co-ba ka-mu pi-lih.”

“Spiegel?”

“Si-ap.”

***

Sejak Senin hingga Jumat setelah kunjungan teman-teman kantornya Ester, mama tak pernah sendirian menjaga toko di rumah. Ada tukang yang membuat rumah menjadi ramai.

Tukang-tukang itu sedang meninggikan tembok pembatas di sisi samping rumah, serta menanam lebih banyak tanaman teh-tehan yang menjadi pagar untuk sisi depan rumah. Diharapkan, tanaman itu akan tumbuh semakin tinggi dan juga rimbun, sehingga dapat menjadi penghalang agar orang luar tidak bisa mengintip ke dalam rumah.

“Ibu,” ujar mandor tukang-tukang itu, “saya mendapat mandat dari Mbak Lika untuk menanyakan pada Ibu soal taman. Apakah ibu berkenan untuk dibuatkan taman kecil di sudut teras?”

Satu alis mama terangkat. “Rencananya mau ditanami apa, Pak?”

“Di sisi sebelah sini,” jawab mandor itu sambil menunjukkan di mana persisnya lokasi yang ia maksud, “tanahnya akan sedikit dinaikkan, lalu akan ditanami tanaman hias‒katakanlah gelombang cinta. Bagian kelilingnya akan ditanami lidah mertua dan beberapa macam tanaman bunga yang berwarna-warni. Nanti juga akan saya buatkan akses jalan dari teras melewati taman menuju garasi. Jalannya akan terbuat dari kerikil putih. Jadi, Ibu bisa sekalian olah raga pijat kaki di kerikilnya.”

“Sejuk dan menyehatkan sekali kelihatannya ya!” Mama menarik napas panjang. “Silakan kalau mau dibuatkan taman sekalian. Saya yang harus terima kasih karena sudah diberi bonus taman.”

Si mandor tertawa. “Siap, Bu. Kami akan kerjakan dan saya pastikan ibu akan semakin suka berkebun.”

Satu minggu berlalu, mama akhirnya bisa membuktikan bahwa janji si mandor itu benar-benar terbukti. Tembok sisi samping rumah sudah tinggi, lengkap dengan kawat duri yang memberi kesan bahaya. Namun di sisi depan, ada taman mungil yang bertabur warna hijau dari rumput jepang, teh-tehan, serta gelombang cinta. Ada juga warna merah muda, ungu, kuning, putih dari bunga-bunga yang bermekaran. Belum lagi ada jalur kerikil yang elok.

Buat mama, rumahnya kini s-e-m-p-u-r-n-a.

***

“Ma-ka-nan-nya e-nak?”

Ester meletakkan sendok serta garpu yang ia pakai untuk menikmati makan malam. Ia menatap Joshua dengan tatapan penuh selidik.

Joshua yang ia kenal adalah laki-laki yang cukup memiliki selera humor. Untuk menanggapi pertanyaan receh macam itu, Ester bisa menebak jenis-jenis tanggapan yang akan dilontarkan pacarnya itu jika dirinya menjawab “enak” atau “tidak”. Oleh karenanya, kali ini ia ingin memberikan jawaban yang berbeda.

“Sesuai ekspektasi,” jawab Ester dengan senyum kemenangan. Ia yakin Joshua tak mungkin menyuruhnya untuk membayar tagihan jika dirinya tak melontarkan kata “enak”. Dan jelas laki-laki itu pun tidak akan memiliki alasan untuk menyodorkan menu lalu memintanya memesan makanan lain bila dirinya mengatakan “tidak”.

Bukan berarti Ester selalu mengeluarkan kocek bila mengatakan “enak”. Namun dalam konteks bercanda, Joshua sering kali menyuruhnya untuk membayar tagihan makan malam sekalipun pada akhirnya mereka berdualah yang patungan untuk membayar biaya makan malam, atau bisa jadi, malah Joshua yang membayar seluruhnya. Dan tentu saja, jawaban “sesuai ekspektasi” juga membebaskan dirinya dari kewajiban untuk memesan ulang jenis makanan lain diwaktu perutnya sudah merasa kenyang.

Saat senyum Ester masih bertahan di wajahnya, Joshua malah tak memperlihatkan ekspresi apa pun. Laki-laki itu justru melipat tangannya di meja lalu menatap mata Ester dengan tenang.

“Ji-ka ma-ka-nan-nya se-su-ai eks-pek-ta-si, ba-gai-ma-na deng-an-ku? A-pa-kah di-ri-ku se-su-ai deng-an eks-pek-ta-si-mu?”

Apa-apaan Joshua ini? Ester bertanya-tanya dalam hati. Ia balik menatap Joshua dan melihat keseriusan di bola mata yang hitam itu. “Ini konteksnya bercanda atau bukan?”

“Bu-kan.”

Ke mana arah percakapan ini? Sambil bertopang dagu, Ester mengamati wajah Joshua. Wajah prajurit terakota yang tampan dan sudah ia kenal lebih dari lima tahun ini seolah tak menua sama sekali. Joshua yang ia kenal, tetaplah Joshua yang ia cintai. Sekalipun kini Joshua kena tulah, dan bicaranya seperti robot, ia masih mencintai laki-laki itu. Dan terus ingin mencintai laki-laki itu jika semesta mengizinkannya.

“Aku akan berusaha agar penilaianku untukmu selalu sesuai dengan eks-pek-ta-si.”

“Ji-ka ti-dak?” pertanyaan itu diucapkan Joshua tanpa ekspresi dan tanpa penekanan.

Mimik wajah Joshua ketika mempertanyakan hal itu membuat Ester sedih. Ia memutus kontak mata dengan Joshua. Pandangannya kini melewati kepala laki-laki itu dan bertanya-tanya apakah Joshua sudah memutuskan sesuatu? Apakah dia sedang mencari-cari alasan untuk tidak melanjutkan hubungan mereka? Jika pikiran Ester menjadi kenyataan, ia‒bagaimanapun‒harus memilih keluarganya. Hanya saja, memikirkan untuk pisah dari Joshua dirasa amat menyakitkan.

“Jika kamu ndak sesuai ekspektasiku, tandanya aku yang harus berubah, Jo. Aku sama sekali ndak berharap kamu berubah. Sungguh.” Ester menampilkan senyumnya yang tulus. Ia pun berusaha agar air matanya tidak keluar serta membuang jauh-jauh pikiran buruknya itu.

“Ka-mu ma-u ber-u-bah?”

Ester mengangguk, tetapi hatinya dipenuhi dengan banyak pertanyaan.

Lihat selengkapnya