Perekonian semakin lesu.
Pengangguran bertambah.
Rakyat kian menderita.
Pak Liem menghela napas tatkala membaca tajuk berita di berbagai surat kabar pagi itu.
Istrinya, yang sejak tadi duduk memerhatikan dari seberang akhirnya berkomentar, “Kurasa situasi kita tak jauh beda dengan tajuk berita itu? Apa strategi kita di tengah situasi negara yang seperti ini, Tjwan?”
“Ya, kalau mau jujur, keadaan bisnis kita lebih gawat daripada negara.” Pak Liem menatap istrinya dengan sorot mata prihatin. “Di tengah situasi seperti ini, kita tak dapat terus mengandalkan tim marketing untuk mengosongkan gudang barang jadi. Di sisi lain, setelah forecast dievaluasi pun kegiatan produksi jadi turun drastis. Akibatnya, banyak pekerja yang menganggur. Beberapa dari mereka pun saat ini sudah dirumahkan. Jadi, strategi paling masuk akal menurutku adalah bertahan selama mungkin. Jangan sampai pailit.”
Bu Tia meringis merinding. “Kau masih ingin kita bertahan?”
Pak Liem menghela napas. Ia menarik ujung-ujung bibirnya yang memang sudah tipis menjadi semakin tipis, seolah ia hendak menunjukkan pada istrinya bahwa pertanyaannya itu tak membutuhkan jawaban. “Memangnya, seberapa banyak pesanan pelanggan yang masih kita kerjakan?”
Bu Tia mencari data yang ia butuhkan sebelum menjawab, “Masih ada tiga pesanan dari dua pelanggan. Satu di Italia, satu di Amerika.”
“Kapan seharusnya pesanan-pesanan itu dikirim?”
“Yang Italia, masing-masing dua dan empat minggu lagi. Sedangkan yang Amerika empat minggu lagi. Omong-omong, apa yang sedang kau rencanakan?”
Pak Liem tak menjawab pertanyaan istrinya. Ia membuka beberapa data dari laptopnya, membandingkannya, lalu menganalisanya.
Ruangan itu sempat sunyi selama beberapa waktu.
“Tia,” ucap Pak Liem serius. “Kurasa kita perlu kurangi jumlah pekerja lagi sampai setengah dari yang ada sekarang. Lalu, aturlah agar proses produksinya berjalan lebih lama.”
“Tunggu! Apakah kau lupa jika beberapa waktu lalu kita sudah mengurangi jumlah pekerja? Masakan ini harus terjadi lagi? Tidak adakah cara lain selain itu?”
“Menurutmu, adakah cara lainnya?”
Suasana menjadi sunyi kembali. Bu Tia menggigit-gigit kukunya dengan gelisah, sementara Pak Liem mengetuk-ketukkan jari di meja.
“Kita perlu mencari tambahan pesanan. Dari pelanggan-pelanggan lama misalnya?” usul Bu Tia.
“Ya, aku tahu. Tapi, itu juga perlu waktu. Sambil menunggu pesanan-pesanan itu masuk, apa yang bisa kita lakukan jika saat ini tak ingin mengurangi jumlah mereka?”
Berbagai pertimbangan serta kemungkinan muncul di benak Bu Tia. Sayangnya, satu demi satu gugur usai ia mempertimbangkan risikonya. “Untuk kali ini tidak ada cara lain selain mengurangi jumlah buruh. Tapi …”
“Tapi apa?”
“Kau perlu kuingatkan bahwa mereka yang berprestasi dan sudah lama bekerja dengan kita merupakan aset. Bila kita membuang aset …”
“Aku mengerti maksudmu,” sanggah Pak Liem memotong kalimat istrinya. “Aku pun sebenarnya tak ingin membuang mereka begitu saja. Tapi demi keberlangsungan perusahaan ini, aku terpaksa melakukannya.
“Mungkin kau juga perlu kuberi tahu, sejujurnya aku tak bermaksud mencampakkan para pekerjaku yang sudah mengabdi sekian tahun. Hanya saja, sambil aku sendiri mengusahakan hal lain, aku perlu membuang mereka sementara waktu. Jika usahaku berhasil dan mereka masih belum mendapat pekerjaan di perusahaan lain, akan kupastikan bahwa aku akan memanggil mereka lagi. Demi kebaikan bersama, mungkin ada baiknya kau tak perlu mengatakan rencana ini pada mereka.”
Bu Tia mengerjap. “Sebenarnya, apa yang sedang kau rencanakan, Tjwan?”
Pak Liem sekali lagi menatap istrinya dengan tatapan penuh pertimbangan. “Dua kenalan yang dulu pernah makan bersama kita saat di Singapura dan Cina, belum lama ini bertanya apakah bisnis kita tetap baik-baik saja di tengah krisis dunia seperti ini? Semula, kupikir mereka hanya sekadar basa-basi. Apalagi kami sudah lama tak ada komunikasi. Untuk itu, semula aku sama sekali tak berniat menjawab surel mereka. Namun, kali ini aku merasa bahwa aku perlu membalasnya.”
Bu Tia menjentikkan jari. “Ah, dua taipan asal Inggris dan Swedia itu ya?”
Pak Liem mengangguk. “Ya. Sekalipun menurutku mereka tak saling mengenal, tetapi keduanya bertanya akan hal yang sama di waktu yang hampir berdekatan.”
“Apa yang membuatmu merasa perlu menjawabnya?”
“Aku ingat kalau dulu mereka pernah tanpa sengaja bercerita bahwa furnitur yang mereka desain sudah dikerjakan oleh produsen lain yang juga ada di Indonesia. Mengingat bahwa mereka hanya berniat menjual barang-barang yang mereka desain sendiri dan itu sudah dikerjakan oleh perusahaan lain, kupikir aku tak perlu memasukkan mereka ke dalam daftar kandidat pelanggan kita.”
“Lalu?”
“Aku hanya bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi dengan produsen mereka saat ini?”
“Apa kau tahu siapa produsen mereka yang ada di sini?”
Pak Liem menggeleng. “Tidak ada informasi tentang itu.”
“Kalau begitu, kau memang harus membalas surel mereka. Segala kemungkinan bisa terjadi, Tjwan. Meski begitu, kau harus hati-hati.”
***
“Daftar kebutuhan untuk pernikahan rupanya banyak sekali!” seru Ester panik.
Kemarin, ia dan Joshua pergi ke pameran pernikahan. Di sana, mereka ditawarkan berbagai jenis persewaan gaun, jasa fotografer, jasa rias pengantin, jasa pembuat undangan, buah tangan, dan daftarnya masih panjang hingga keduanya hanya bisa mengucapkan “kami lihat-lihat dulu, ya.” Setelahnya, mereka baru menyadari bahwa jumlah biaya yang mungkin harus mereka keluarkan melebihi batas kemampuan mereka.
“Ki-ta ha-rus ber-he-mat,” komentar Joshua singkat.
“Kalau begitu, kita susun saja lebih dulu daftar undangannya. Baru setelahnya, kita bahas hal-hal yang penting lebih dulu. Bagaimana?”
Joshua mengangguk. “Sam-bil me-nyu-sun daf-tar un-dang-an, ki-ta ha-rus se-ge-ra mem-be-li cin-cin per-ni-kah-an.”
“Tapi dari brosur yang kita dapat di pameran, harga cincin pernikahan pun mahal-mahal. Bagaimana kalau setelah beli cincin kita tak sanggup memesan gaun, souvenir, serta undangan? Padahal ketiganya juga harus dipesan jauh-jauh hari. Lebih baik kita kumpulkan uangnya dulu sekarang.”
“Tan-pa ke-ti-ga-nya, u-pa-ca-ra per-ni-kah-an ma-sih bi-sa ter-lak-sa-na. Tan-pa cin-cin, i-tu mus-ta-hil. Bah-kan, se-ma-kin ki-ta me-nun-da mem-be-li cin-cin, har-ga e-mas ki-an me-nan-jak.”
Ester terdiam sejenak. “Ya, kamu benar.” Ia lalu mencari-cari desain cincin yang diinginkan. Model yang sederhana, tetapi cukup elegan.
Keesokan harinya, mereka pergi ke toko emas. mengukur diameter cincin, lalu membayar uang mukanya.
“Pelunasannya nanti saat cincinnya jadi,” kata pegawai toko mas.
“Kapan jadinya?”
“Tiga minggu ya.”
Perihal cincin akhirnya selesai. Mereka kini berkonsentrasi pada daftar undangan dan keperluan lainnya.
“Kira-kira biaya jahit gaun dengan sewa lebih mahal mana ya?”
“Ki-ta ca-ri pen-ja-hit du-lu?”
“Boleh. Lalu, ada yang perlu dibayar dalam waktu dekat ndak?”
“Se-i-ngat-ku be-lum a-da. Gi-ma-na?”
“Aku perlu ngumpulkan uang dulu buat bayar yang lain-lain itu.”
“Si-la-kan. Nan-ti ka-lau a-da yang ha-rus di-ba-yar, pa-kai u-ang-ku du-lu.”
***
Pagi itu, hanya sedikit kendaraan yang ada di parkiran kantor. Karyawan-karyawan yang biasa berlalu-lalang di sekitar pabrik juga tak berseliweran. Ketika Ester baru saja duduk di kursi kerjanya, ia baru tahu alasannya dari Lika.
“Kudengar, Pak Liem merumahkan sebagian dari karyawan pabrik lagi!” bisik rekannya.
Mata Ester membulat. “Sebagian lagi katamu? Pantas saja hari ini tampak sepi.”
Ester ingat jika beberapa waktu yang lalu memang ia mendengar bahwa beberapa pekerja terpaksa dirumahkan karena gonjang-ganjing perekonomian. Namun, kala itu, ia masih bisa berpikir positif lantaran masih banyak pesanan pelanggan yang harus mereka selesaikan.
Lika mengangguk setuju. “Iya, sebagian. Aku pun kaget melihat parkiran kendaraan.”
“Omong-omong, kamu dapat informasi dari siapa? Yang dirumahkan sebagian besar atau sebagian kecil?”
“Dilihat dari sepinya bagian produksi, ada yang mengatakan kemungkinan sebagian besar.”
“Siapa yang mengatakannya?”
“Aku mengenal beberapa buruh secara personal, dan mereka bercerita padaku begitu.”
“Jadi, hanya para buruh yang dirumahkan? tidak termasuk staf?”
Lika menghela napas. “Tidak ada kepastian soal itu.”
Ester menangkupkan kedua tangannya di wajah. “Apakah nasib kita juga akan sama seperti mereka?” Di saat bersamaan, harapan untuk mengumpulkan uang pupus begitu saja. Ester tahu, ia tak seharusnya berpikir terlalu jauh, tetapi jika ia sampai dirumahkan, jelas rencana pernikahan harus ia singkirkan jauh-jauh. Ia pun harus mencari pekerjaan lain demi berlangsungnya kehidupan di keluarganya.
“Aku ndak yakin. Tapi ndak ada salahnya kalau kita ikut prihatin. Dan yang kudengar, pemberhentian ini dilakukan secara bertahap.”
“Dan yang ini barulah tahap yang pertama?”
Lika mengangkat kedua bahu. “Aku kurang yakin juga kalau itu, tapi kurasa iya.”
Sepanjang hari setelahnya, Ester berpikir keras mengenai masalah yang sedang dihadapi kantornya. Sejak forecast dievaluasi, jumlah barang-barang yang harus diproduksi untuk stok gudang memang menurun drastis. Ia menyadari hal itu. Rekan-rekan dari tim marketing pun bercerita bahwa hanya sedikit proposal yang kembali dengan menyertakan pesanan dibandingkan dengan jumlah proposal yang mereka sebar di wilayah Amerika. Namun, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa situasinya segawat itu.
Belakangan, ia juga melihat Bu Tia dan Pak Liem sibuk mondar-mandir di kantor. Dan bodohnya, ia sama sekali tak menduga jika atasannya itu sibuk mengurusi para buruh yang hendak dirumahkan.
Jika dikaitkan dengan pekerjaannya saat ini, Ester memiliki alasan kuat yang merujuk pada kesimpulan bahwa dirinya pun bisa jadi akan di PHK.
Ester menelan ludah. Sejauh ini, ia sudah menyelesaikan proyeknya. Pekerjaannya yang lain pun hanya menindaklanjuti surel-surel, serta menganalisa laporan-laporannya. Hanya itu. Urusan surel bahkan dapat dialihkan ke orang lain jika memang sangat terpaksa. Sedangkan menganalisa, Ester yakin akan ada orang lain yang sanggup menggantikannya. Bu Tia sendiri mungkin.
Itu artinya, pekerjaannya sudah tak terlalu dibutuhkan.
Dan bisikan Lika barusan terdengar seperti gong yang bergaung lalu membuat udara dalam dadanya bergetar. Mengganggu konsentrasinya. Menambah ketakutannya. Mengintimidasinya. Wajah mama dan Joshua pun berulang kali muncul dalam benaknya.
Jangan sampai aku di PHK.