Sinar matahari yang menerpa wajah Ester pagi itu terasa begitu hangat. Sehangat sebuah harapan yang ia bayangkan semalam.
Sesuai dengan perkataan Bu Tia, Ester tahu hari ini ia akan bertemu Pak Liem. Itu berarti, akan ada pembicaraan lebih lanjut mengenai proyek costing sheet yang diperlukan oleh perusahaan. Memangnya, seberapa pentingkah proyek itu bagi perusahaan? Pertanyaan itu sempat terpikir olehnya, tetapi ia belum ingin mencari tahu jawabannya.
Belum.
Bahkan ketika ia memakai otaknya untuk berpikir, sebenarnya ia tak perlu bertanya-tanya seberapa penting proyek itu bagi perusahaan. Yang perlu ia pikirkan adalah, proyek ini penting baginya. Cukup itu saja, mengingat ia sedang membutuhkan suntikan dana untuk biaya menikah. Jadi, proyek barunya ini perlu ia kerjakan sebaik-baiknya. Andaikan tak ada wacana mengenai proyek semacam ini, atasannya mungkin sudah berpikir untuk mendepaknya.
Nah, dari pengalaman yang sudah-sudah, jika dirinya sampai bertemu dengan Pak Liem, berarti akan ada kenaikan gaji dan atau mendapatkan bonus. Bisa diperkirakan, kali ini pun demikian.
Di titik itu, Ester tanpa sadar tersenyum dan harapannya membubung.
Ester menekuk jari-jari tangannya hingga bunyi setelah membalas banyak surel pagi itu. Dalam hati ia sedang menanti-nantikan panggilan telepon dari Pak Liem. Usai jam makan siang, harapannya terkabul ketika teleponnya berdering lalu bosnya itu memintanya datang ke ruangan.
“Siang Pak,” sapa Ester.
Pak Liem mengangguk, lalu menyuruhnya duduk.
“Soal costing sheet,” ucapnya sambil menyalakan proyektor yang ada di ruangan itu. “Saya yakin istri saya sudah banyak bercerita denganmu. Tapi saya rasa kamu sama sekali belum pernah melihatnya, bukan?”
“Betul, Pak.”
Setelah proyektor menyala dan terhubung dengan laptopnya, Pak Liem kembali berbicara, “Yang saya inginkan adalah seperti ini. Ini hanyalah contoh yang saya buat sendiri sehingga belum ada formula apa-pun di dalamnya.”
Dari kursinya, Ester mengamat-amati tabel itu sembari mendengarkan penjelasan Pak Liem mengenai tabel yang diinginkannya.
“Menurutmu bagaimana?” tanya Pak Liem setelah menunjukkan semua tabel.
Menurutku bagaimana? Ester merasa bahwa Pak Liem bertanya pada orang yang salah. Sudah jelas-jelas dirinya tak berpengalaman apa-apa soal costing sheet, tetapi Pak Liem seolah-olah mencari pendapat dari seseorang yang sudah berpengalaman sepuluh tahun.
Ester mencari-cari jawabannya di wajah atasannya itu. Namun, lagi-lagi karena tulah di matanya itu, ia tak bisa melihat dengan jelas wajah Pak Liem. Terlebih mengartikan kerutan-kerutan yang ada di wajah itu. Oleh karenanya, ia kesulitan untuk memperkirakan jalannya diskusi kali ini.
“Menurut saya, itu tabel yang bagus,” jawab Ester sekenanya.
Pak Liem tersenyum lalu menyahut, “Kalau begitu, saya ingin tabel ini dimodifikasi. Jadi, jika saya perlu menentukan harga suatu produk dalam waktu singkat, saya ingin harganya langsung terkalkulasi otomatis.”
Ester terkejut dengan pernyataan Pak Liem. Ia sama sekali tak memiliki ide untuk memodifikasi tabel macam itu. Dan dari intonasi suara pak bos, Ester bisa menerka bahwa tugasnya kali ini lebih berat dari sebelumnya. Otot-otot lehernya bergerak ketika ia menelan ludah.
“Tentu kamu tak akan mengerjakannya seorang diri,” tambah Pak Liem segera ketika ia melihat ketakutan terpancar dari wajah Ester. “Saya pasti tetap harus turun tangan karena gambaran secara detailnya masih ada di kepala saya. Nanti juga ada Bu Cici yang memegang harga-harga pemasok, Tita di bagian keuangan, serta Luki yang sekarang di bagian pengembangan. Bahkan mungkin kamu perlu berkoordinasi dengan seluruh bagian pabrik, mengingat tabel ini harus diperhitungkan secara saksama. Mereka perlu memberimu banyak sekali data serta informasi agar kamu bisa membuat tabel ini berfungsi seperti yang saya mau. Saya tahu ini tidak mudah, tetapi sekarang perusahaan sedang membutuhkan ini di tengah persaingan dagang yang semakin ketat. Bagaimana?”
Pikiran Ester mendadak buntu. Ia mengerjap berulang kali tanpa tahu harus memberi jawab yang seperti apa.
Trok … trok … trok … trok … trok … trok …
Suara piak-kou tiba-tiba terdengar bising di telinganya. Di hadapan Pak Liem, Ester bertekad menjaga sikapnya untuk tidak bereaksi lebih dengan suara itu. Sayangnya, tekad itu mendadak buyar ketika gumpalan kabut berwarna merah menyusul turun, seolah-olah dari langit-langit ruangan. Pandangannya sempat teralih, tetapi ia segera kembali menatap atasannya. Ketika kabut itu memudar, di baliknya muncul kotak pementasan wayang potehi di samping meja kerja Pak Liem.
Kebingungan Ester bertambah.
Untuk kali ini, ia benar-benar tak berharap boneka Li Si Bin muncul. Sayangnya, ia keliru. Dengan lihai, tangan sang dalang justru membawa masuk tokoh Li Si Bin ke dalam kotak pementasan. Kali ini, sang dalang mulai mengisahkan Li Si Bin yang selamat dari upaya pembunuhan terhadap dirinya. Li Si Bin kemudian tak hanya berpangku tangan. Pemberontakkan di pintu gerbang Xuanwu pun dimulai. Ributnya peperangan amat mengganggu konsentrasinya, sampai-sampai ia justru menyampaikan jawaban yang sebenarnya tidak ingin ia ucapkan.
“Kenapa harus saya, Pak?”
Detik berikutnya, Ester tak mengerti dirinya harus menyesal atau terkejut. Ia menyesal karena sebenarnya tidak pantas melontarkan pertanyaan seperti itu disaat dirinya sedang merindukan pekerjaan. Bila pak bos sampai menerima kesan bahwa dirinya menolak proyek ini lalu mengalihkan proyeknya ke orang lain, ia lantas mau mengerjakan apa? Bisa diprediksi, kesempatan untuk memperoleh bonus atau kenaikan gaji pun akan hilang.
Dan yang membuatnya terkejut adalah respons Pak Liem. Atasannya itu memang benar-benar membuatnya kaget. Pak Liem malah dengan sadar mengetuk-ketukkan jarinya di atas meja, seakan mengikuti irama piak-kou yang kini terdengar makin dan makin kencang di telinganya. Apakah ini hanya sebuah kebetulan? Tanya Ester dalam hati.
Ester mengamat-amati kotak pementasan, lalu kembali menatap Pak Liem.
Sekali lagi tergoda melirik ketangkasan Li Si Bin dalam berperang, kemudian cepat-cepat beralih ke pak bos.
Ia tak melihat dalang di sana, tetapi melihat para pemusik yang memainkan alat musik dengan mata terpejam. Mereka terlihat sedang menghayati tiap nada yang dihasilkan. Tak hanya Li Si Bin, Ester juga melihat boneka-boneka lain sedang dimainkan oleh si dalang.
“Karena kami ingin kamu yang mengerjakannya.”
Ester mengabaikan kotak pementasan wayang itu sejenak. Tatapannya kemudian beralih lagi ke Pak Liem.
Pak bos mau aku yang mengerjakannya. Jawaban Pak Liem membuatnya lega. Ia tahu sekarang bahwa pekerjaan ini sudah ditakdirkan memang untuknya sekalipun hatinya ragu untuk menyelesaikannya seorang diri. Ia menganggap bahwa dirinya belum cukup mampu mencapai ekspektasi pak bos.
Ester mengangguk patuh. Dan memang hanya itu yang bisa ia lakukan sebelum mengatakan, “Dengan segala keterbatasan dalam diri saya, akan tetap saya perjuangkan, Pak.”
Pak Liem balas mengangguk. “Terima kasih. Nanti akan saya kirim tabel ini supaya kamu bisa mulai kerjakan. Jika kamu membutuhkan data apa pun, tanyakan ke saya atau orang-orang yang tadi saya sebutkan. Sudah jelas atau ada yang mau kamu tanyakan dulu, mungkin?”
Ester mengerjap. Sebenarnya, ia tak tahu harus menanyakan apa. Namun, bila ada kesempatan bertanya, ia justru penasaran dengan hal lain di luar proyeknya ini.
Ester menelan ludah. “Bapak mendengar suara piak-kou?”
Kedua alis Pak Liem terangkat. “Tentu.”
Kini ganti alis Ester yang terangkat. “Bapak sungguh mendengarnya?”
Mulut Pak Liem sedikit terbuka seperti hendak tersenyum. “Ya. Tak hanya mendengar malah. Kamu bisa melihat pementasan wayang potehi di samping saya ini, ya?” Pak Liem mengarahkan ibu jarinya menunjuk ke arah sebelah.
“Be-betul, Pak.” Sesaat Ester melirik ke arah kotak pementasan, kemudian kembali menatap Pak Liem. Sekujur tubuhnya mulai merinding. “Jadi Bapak melihat sekaligus mendengarnya juga?”
Pak Liem mengangguk enteng.
Leher Ester terasa dingin. “Ba-bagaimana mungkin?” Ia lalu mengatur napasnya.
Pak Liem bersandar di kursinya. “Saya tidak tahu. Justru saya yang bertanya-tanya, kenapa kamu bisa mendengar sekaligus melihatnya?”
“Saya juga ndak tahu Pak,” jawab Ester sungkan. “Sebelum saya kenal Bapak, saya sudah melihat dan mendengar itu.”
Pak Liem menoleh ke arah kotak pementasan, lalu kembali menatap Ester. “Bagaimana rupa sang dalang? Um … saya biasa memanggil dengan sebutan sehu.”
Ester sekali lagi melirik ke arah kotak pementasan wayang potehi. “Bukankah saat ini sehunya ndak terlihat?” ungkap Ester keheranan. Jika mereka sama-sama bisa melihat, untuk apa Pak Liem bertanya seperti itu? Seraya memicingkan mata, Ester berusaha mengabaikan keheranannya. “Tapi dulu saya pernah melihatnya. Entah bagaimana penampilannya secara keseluruhan, tapi wajahnya bulat. Beralis tebal, bibir tipis … dan jelas wajahnya adalah wajah oriental, Pak.”
“Hmmm,” respons Pak Liem dengan kening berkerut sambil menggaruk-garuk dagunya. “Hanya itu, kah?”
Ester tersenyum kecil. Ia berusaha mengingat lebih banyak dari sebelumnya. Memikirkan ulang wajah yang dulu pernah ia lihat dengan amat sangat jelas, selain wajahnya sendiri. “Kening sang sehu potehi selalu berkerut. Dan kerutan itu selalu tampak jelas di wajahnya.”
“Bagaimana dengan asistennya?”
Untuk apa pertanyaan seperti ini? Ester semakin bertanya-tanya. Namun, ia tak merasa keberatan bila waktunya dipakai untuk hal-hal demikian. Setidaknya, pembicaraan di luar urusan kerja seringkali membuatnya merasa menjadi manusia seutuhnya. “Asisten sehu adalah sosok wanita yang rupawan, Pak!” ujar Ester penuh semangat. “Alisnya melengkung sempurna di wajah yang begitu tirus, dan licin bak keramik. Rambutnya pun selalu digelung rapi seperti seorang abdi di Keraton.”
Pak Liem berdeham. “Ya, ingatanmu sungguh tajam. Memangnya, sejak kapan kamu melihat pementasan wayang potehi seperti yang kamu lihat di samping ini?”
Sekilas Ester melirik lagi ke arah kotak pementasan. Boneka-boneka di sana masih bergerak-gerak karena sehu belum selesai dengan ceritanya. “Kalau boneka-bonekanya, sejak saya lahir mungkin, Pak. Tapi kalau lengkap beserta panggung dan dalangnya, seingat saya hanya beberapa waktu sebelum saya diterima bekerja di perusahaan ini.”
“Kenapa ‘mungkin’?”
“Karena saya ndak begitu ingat kejadian-kejadian yang terjadi sebelum usia saya empat tahun, tapi kalau menurut mama, ketika masih bayi tatapan saya sering fokus ke salah satu objek. Seolah-olah saya melihat sesuatu yang tak kasat mata. Dan sejak saya kecil, sebenarnya saya sering melihat lakon Li Si Bin.
“Ya selain itu, tatapan Li Si Bin ke saya sangat menusuk. Awalnya saya takut. Tapi lambat laun, saya makin menyukainya ketika melihatnya berjuang sambil mengacungkan pedang. Ia seperti hendak menunjukkan sesuatu pada saya lewat tatapan matanya itu. Seiring berjalannya waktu serta bertambahnya pengetahuan, saya akhirnya tahu bahwa yang saya lihat selama ini rupanya boneka Li Si Bin dalam pementasan wayang potehi. Dan penglihatan saya menjadi lengkap ketika saya melihat dua orang sehu beserta para pemusiknya.”
“Oo, begitu. Berarti hanya kamu yang bisa melihatnya? Mamamu bisa?”