Sejak malam pernikahan dan tinggal di rumah sendiri, banyak hal yang berubah dari Ester dan Joshua. Selain mereka harus saling beradaptasi untuk hal-hal kecil seperti cara mengeluarkan odol dari wadahnya, Ester merasa ada yang aneh dengan tubuhnya.
“Sepertinya aku hamil,” ungkapnya pada Joshua di suatu pagi.
Wajah Joshua langsung semringah. “Ka-lau be-gi-tu, ki-ta cek ke dok-ter.”
Setelah menunggu lebih dari dua jam, mereka akhirnya bisa bertatap muka dengan dokter ahli yang gelarnya sudah memenuhi sampul buku. Sang dokter tersenyum ramah menyambut mereka berdua. Dengan amat antusias, ia melakukan tindakan sesuai dengan profesinya. Namun, sesuatu membuat rasa antusias itu berubah menjadi ketidakpercayaan. Sang dokter mencatat segala informasi yang ia perlukan dari pasien, lalu dengan komputernya yang canggih, ia mulai menghitung-hitung sesuatu.
“Kamu memang benar hamil,” katanya meyakinkan. “Tapi perkembangan telur di rahimmu itu terlalu lambat.”
“Kok bisa, Dok?”
Dokter itu menatap Ester serta Joshua bergantian. “Ini di luar ilmu pengetahuan. Namun akibatnya, masa kehamilanmu jadi lebih panjang.”
Kedua alis Ester terangkat. “Seberapa panjang?”
“Hari perkiraan lahirnya masih lima tahun lagi.”
***
“Tomi!” teriak mama.
“Tomi!” sekali lagi teriakkan itu terdengar dari kamar sebelah dengan intensitas yang lebih lemah dari sebelumnya.
Tomi membuka pintu kamar mama dan melihat mama sudah lemas. “Aku sesak lagi.”
Setengah jam kemudian, mereka sudah berada di IGD rumah sakit. Kali ini, penggunaan obat-obatan sebagai terapi sudah tak lagi mempan. Mama harus pasang ring.
Diiringi doa serta persetujuan anak-anak, mama akhirnya menjalani berbagai prosedur rumah sakit untuk pemasangan ring jantung.
“Mama harus semangat,” ucap anak-anaknya memberi dukungan.
Begitu mama mengangguk, perawat meminta izin mrmbawa mama masuk ruang tindakan.
Beberapa jam kemudian, mama keluar dari ruang tindakan dengan senyum lemah. Mama perlu mendapat perawatan di rumah sakit selama beberapa hari lagi, hingga kemudian diizinkan pulang oleh dokter. Ketiga anaknya menemani mama sampai di rumah.
“Obat dan vitaminnya harus diminum ya Ma,” pesan Ana sambil menata tablet-tablet itu di kotak obat agar mama tak lupa meminumnya.
Mama melirik kotak obat lalu menyingkirkan beberapa tablet. “Ini harganya mahal to? Aku malas minumnya.”
“Halah Ma, diminum aja ndak apa-apa.”
“Nanti duit kalian habis.”
“Habis ya cari lagi!” Ana mengeluarkan satu set obat yang harus diminum saat itu, lalu menyodorkan ke mama. “Ini, telan aja. Ndak usah mikir harganya.”
Setelah mama menelan semua tablet, Ana menarik lengan Ester dan berbicara dengannya.
“Mama sudah tahu kalau kamu hamil?”
Ester menggeleng.
“Karena kamu sedang hamil, biaya pengobatan mama biar aku yang nanggung dulu.”
“Lha kamu ada uang?”
“Ya dicari.”
“Caranya?”
“Belum terpikir. Tapi aku akan coba buat usaha sampingan.”
“Janji jangan sampai berhutang ya.”
“Iya. Sejauh ini sudah tak cukup-cukupin. Aku ndak mau aneh-aneh.”
Ester mengangguk setuju. “Iya. Seadanya kita aja.”
Setelahnya, Ana dan Ester berpamitan pulang dan meninggalkan beribu pesan kepada Tomi.
Beberapa hari berselang, saat kondisi mama sudah stabil dan rutinitas sudah kembali seperti semula, Ester kembali berkunjung ke rumah mama, hendak memberi tahu soal kehamilannya. Wajah mama tampak berseri-seri setelah tahu akan mendapat satu cucu lagi.
***
“Aku mual,” kata Ester pada Joshua.
Belum sempat suaminya mengambil baskom, Ester lebih dulu muntah. Muntahannya tercecer di lantai, yang membuat Joshua harus membersihkannya.
“La-in ka-li ja-ngan mun-tah sem-ba-ra-ng-an.”
“Ini ndak isa ditahan Jo,” ungkap Ester sembari mengelus-elus perutnya.
“Ka-lau be-gi-tu ka-mu ha-rus se-dia plas-tik di sa-ku ce-la-na.”
Untuk menghindari segala konflik, Ester menuruti nasihat suami. Ia selalu mengantongi kantong plastik. Sayangnya, mengantongi bekal kantong plastik rupanya semakin memicu rasa mual. Saat di sakunya hanya ada satu kantong, ia muntah sebanyak dua kali. Ketika ia membawa dua kantong, muntahnya menjadi tiga atau bahkan empat kali dalam sehari.
Kian hari, tubuh Ester bukannya semakin gemuk, tetapi malah kurus. Beberapa kali ia harus ke dokter. Beruntung bayi dalam kandungannya baik-baik saja. Meski begitu, ia tetap harus meminum beberapa vitamin untuk mencegah mual dan menjaga kandungannya.
***
Pasca pemasangan ring, kondisi fisik mama kian membaik. Mama bisa menjaga toko lebih lama dari sebelumnya. Secara bertahap, toko sudah mulai buka pagi-pagi, lalu tutup saat siang. Setelah satu bulan berlalu, mama ternyata masih sanggup menjaga toko hingga sore seperti waktu awal-awal toko itu ada.
Biasanya, siang hari mama mengisi waktu luang dengan membersihkan rak-rak toko yang berdebu. Menjelang sore, giliran mama menunggu kedatangan Roni dan juga rekan-rekannya.
Namun, sore itu, Roni tidak menunjukkan batang hidungnya.
Hari berikutnya lagi, mama mengganti aktivitasnya dengan merawat taman sembari menunggu pelanggan yang datang. Rumput-rumput yang selama ini terbengkalai mulai dirapikan agar tampak cantik. Daun-daun yang layu dicabut dari rantingnya, sementara bunga yang berjatuhan di tanah dikumpulkan lalu dibuang.
Meski begitu, selama mama berkubang dengan tanaman, tak seorang pun datang untuk sekadar mengunjungi toko. Mama hanya bertanya-tanya apa yang terjadi dengan para pelanggannya.
Satu minggu kemudian, mama baru mengerti dari gibah ibu-ibu arisan, bahwa para tukang yang dulu mengerjakan proyek perumahan di blok sebelah sudah tak lagi ada. Rumah-rumah tersebut rupanya sudah selesai dibangun.
Lalu, ke mana Roni?
Mama terkejut setengah mati saat Roni muncul secara tiba-tiba di saat dirinya sedang mempertanyakan keberadaan anak itu.
“Oma!” Roni menghambur ke pangkuan mama yang sedang duduk di kursi. Ia memeluk mama dengan erat. “Oma lama ndak kelihatan. Oma ke mana aja?”
Mama melonggarkan pelukannya agar bisa melihat wajah bocah itu lebih jelas. “Oma sakit, Nak.”
“Sakit apa?”
“Sakit jantung.”
“Tapi sekarang jantungnya sudah sembuh?”
Mama mengangguk. “Sudah.”
Roni kembali memeluk mama. “Oma, Roni mau bilang sesuatu.”
“Bilang apa?”
Roni belum melepaskan pelukannya hingga beberapa saat. Setelah menunggu lama, mama akhirnya bisa melihat wajah Roni yang berkaca-kaca saat bocah itu melepas pelukannya. “Roni mau pamit, Oma!”
“Pamit ke mana?”
Roni menarik napas panjang. “Waktu itu Roni sudah cerita kalau mamanya Roni ndak kerja lagi, kan Oma?”
Mama mengangguk.
“Setelahnya, papa juga ikut-ikutan ndak kerja!” Air mata Roni kemudian jatuh. “Roni ndak dapat uang jajan lagi, Oma. Sepedanya Roni juga udah dijual sama mama.”
Mama melongok ke teras, ternyata memang tidak ada sepeda yang diparkir. “Lalu, tadi Roni ke sini jalan kaki?”
Roni mengangguk dengan bibir yang sedikit maju.
“Tunggu sebentar, Oma ambilkan minum.”
Roni turun dari pangkuan mama; mama berdiri dan mengambilkan segelas air putih. “Roni pasti capek, kan? Ini diminum dulu.”
Roni menenggaknya sekaligus lalu menyeka ujung bibirnya dengan punggung tangan. “Makasi, Oma.”
“Lalu, gimana lanjutannya tadi, Roni?”