Satu bulan berlalu sejak Bu Tia merasa déjà vu karena perkataan suaminya. Dan selama itulah ia terus menimbang-nimbang maksud perkataan itu.
“Waktunya tinggal satu bulan lagi, maka seluruh kegiatan produksi di perusahaan ini akan benar-benar berhenti,” gumam Bu Tia pada diri sendiri sembari duduk bersedekap di kursi kerjanya.
Ia kemudian melayangkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Di sudut yang satu, ia melihat coretan di dinding saat dulu ia mengukur tinggi badan Ester yang bisa berubah-ubah. Di sudut yang lain, ia melihat foto-foto kenangannya bersama para staf dan karyawan yang pernah dan masih bekerja di Perusahaan Z.
“Aku bahkan tak memiliki foto bersama anak kandungku. Kala itu, kamera belum ditemukan,” gumamnya miris. “Foto bersama Tjwan saja baru ada setelah usiaku ratusan tahun.” Ia lalu mengambil bingkai foto dirinya bersama suami yang ada di meja kerja.
“Tapi, kupikir Tjwan ada benarnya,” tandasnya seraya meraba wajah suaminya di foto itu. “Sudah ratusan tahun aku memang melupakan tulah yang melekat padaku. Aku memang lupa. Tapi … aku lupa karena aku selalu hidup bahagia denganmu, Tjwan. Pernikahanku denganmu selalu membawa sukacita, bukan dukacita.”
Bu Tia kemudian mendorong kursinya. Ia berdiri, lalu mendekati foto-foto dirinya bersama para staf serta karyawan. Ia mengangkat tangannya, lalu menyentuhkan ujung telunjuknya ke wajah orang-orang yang ada di foto itu.
Ia pun menangis.
Air matanya terjatuh.
Setetes demi setetes, yang tidak membasahi lantai.
Air mata itu kemudian berubah menjadi butiran emas.
Yang murni,
Yang berharga.
***
Suatu hari di tanggal delapan, Tita memberikan data mengenai kenaikan harga bahan aksesoris furnitur ke Ester. Ester membaca memonya sepintas yang telah di paraf oleh Tita di tanggal hari itu. Ia lalu bertanya, “Ini kenaikan harganya berlaku mulai pesanan baru?”
Tita mengangkat kedua bahu. “Coba kamu tanya Bu Cici langsung. Dia tadi hanya bicara lewat telepon, lalu memintaku menyampaikan ini untuk kamu.”
Ester menghela napas. “Baiklah, terima kasih.”
Ester kemudian mengirimkan surel ke Bu Cici. “Bu, harga kenaikan harga ini berlaku mulai pesanan baru?”
Lima menit setelahnya, Tita menelepon Ester dengan nada mengeluh. “Ester, kamu bilang apa ke Bu Cici? Dia barusan bertanya dengan nada marah-marah ke aku karena dia pikir aku nulis pesan tidak sesuai dengan yang dia diktekan ke aku lewat telepon.”
“Lho, pertanyaanku ke Bu Cici persis dengan yang aku tanyakan ke kamu, Tita.”
“Ya, tapi dia jawabnya ‘berlaku mulai tanggal hari itu’. Sesuai dengan parafku.”
“Sebentar, ‘hari itu’ yang dimaksud berarti hari ini tanggal delapan? Kalau begitu, nota-nota yang telanjur dikirim ke kamu dan belum kamu bayar itu, harganya ikut naik atau tidak? Jika iya, berarti mereka harus merevisi notanya, kan?”
“Nah itu dia, aku juga ndak ngerti. Yang kontak dengan para pemasok selama ini hanya Bu Cici.”
“Kenapa Bu Cici ndak ngomong langsung ke aku? Lalu bagaimana ini?”
Tita mendesah. “Yasudah, aku sampaikan ke Bu Cici dulu.”
Satu jam kemudian, Ester menerima surel balasan dari Bu Cici. “Bu Ester, ini masalahnya kok jadi rumit? Saya tadi sudah tegur Bu Tita, siapa tahu dia salah mencatat info yang saya sampaikan lewat telepon. Setelah saya telusuri, dia sudah menuliskan persis dengan yang saya diktekan. Lalu kenapa masih dipertanyakan lagi? Sudah jelas kenaikan harganya mulai tanggal hari ini, tanggal delapan. Tolong supaya tidak mempersulit hal yang sebenarnya mudah.
“Lalu ada omongan kalau saya seharusnya bicara langsung dengan Anda. Itu gimana maksudnya? Analoginya itu seperti jika Anda meminta tolong orang lain membelikan barang ke toko, lalu kasirnya menuntut agar Anda membeli sendiri barang yang anda inginkan. Kan aneh kalau ada kasir seperti itu! Sama halnya dengan ini. Saya meminta tolong Bu Tita untuk menyampaikan kenaikan harga ke Anda, lalu Anda menuntut saya agar saya bicara langsung ke Anda. Jangan seperti itu, Bu!”
Usai membaca surel itu, Ester mengelus-elus perutnya yang kian membesar. “Mungkin Bu Cici sedang stres dengan pekerjaannya,” gumam Ester mengingatkan diri sendiri.
Seperti halnya dengan Bu Cici, dirinya sendiri pun sebenarnya sedang kalut.
Sejak kontainer pesanan terakhir berangkat satu tahun yang lalu, pada dasarnya perusahaan itu tidak lagi mengerjakan pesanan-pesanan pelanggan. Ester juga tidak lagi menghitung harga produk baru. Bahkan costing sheet pun tak pernah ia buka setelah semua pesanan dari pelanggan terkirim seluruhnya. Jadi, yang ia kerjakan selama setahun belakangan hanyalah merapikan dokumen-dokumen. Persis seperti yang ia kerjakan saat pertama kali diterima di perusahaan itu.
Namun, proses merapikan dokumen itu tak berlangsung lama. Ia hanya butuh beberapa minggu untuk membereskan kertas-kertas tak berguna. Barang-barang yang masih terpakai pun hanya sedikit. Ia tak sanggup mengulur waktu lebih lama untuk pura-pura memiliki pekerjaan. Selama sembilan bulan terakhir, ia bahkan sudah tidak mengerjakan apa-apa lagi.
Teman-teman dekatnya yang lain pun juga tak jauh berbeda. Tita, Lika, dan Luki sama-sama tak lagi memiliki kerjaan rutin. Menurut mereka, setahun tanpa memiliki beban pekerjaan terasa seperti sepuluh tahun bergelut dengan pekerjaan yang menyita waktu. Dan jika harus memilih, mereka lebih memilih bekerja sepuluh tahun dengan beban pekerjaan yang tinggi.
Sekali lagi Ester mengelus-elus perutnya sementara pikirannya semakin dihantui perasaan was-was.
Yang Ester takutkan sejauh ini hanyalah jika dirinya sampai di PHK. Kali ini ia yakin bahwa baik Pak Liem maupun Bu Tia memiliki alasan yang sangat masuk akal untuk memberhentikan dirinya. Toh ia sudah tak mengerjakan apa-apa lagi selain berjaga-jaga jika telepon berdering … yang ternyata adalah panggilan dari Bu Tia … yang kemudian memintanya menandatangani surat pemutusan hubungan kerja.
Jika hal itu benar-benar terjadi, bagaimana mungkin keluargaku bertahan? Akankah bayiku tetap lahir dalam keadaan hidup?
Ester membandingkan dirinya dengan Bu Cici dan para kroco yang selalu setia dengannya. Selama ini, belum pernah ia melihat mereka menganggur. Sejak awal ia menginjakkan kaki di perusahaan Z, Bu Cici beserta rekan-rekan yang lain selalu saja tampak sibuk. Bahkan ketika jumlah pesanan sudah habis seperti ini, mereka tetap saja sibuk. Sibuknya pun bukan seperti Ester dan staf lainnya. Mereka tidak sibuk membereskan kertas-kertas tak terpakai, tetapi masih seperti mengerjakan sesuatu yang penting di komputernya. Entah apa yang mereka kerjakan.
Dalam hati, Ester berharap seandainya saja ia bisa seperti itu.
Seolah tak peduli dengan perasaan inangnya, janin dalam kandungan Ester acapkali justru membuat kerusuhan di dalam perut. Seolah mengingatkan dirinya bahwa di dalam pertu masih ada kehidupan yang harus dikerjakan. Bayi itu menendang di sebelah sini, kemudian berpindah tempat dan menendang lagi di sebelah sana. Hingga di satu titik, Ester tidak hanya was-was, tetapi juga kesakitan.
Namun jika bayi itu sedang dalam keadaan tenang, Ester berusaha mengusir stres dengan berjalan-jalan ke area produksi lebih dari sekadar duduk diam menanti telepon berdering. Setidaknya, bila ia jalan-jalan ringan, dan si jabang bayi bisa lebih nyaman.
Suatu waktu, ia sedang berjalan-jalan keliling bagian produksi. Anehnya, di sana ia masih melihat para pekerja harian mengerjakan sesuatu. Ester mendekati mereka dan bertanya, “Masih ada yang dikerjakan to, Pak?”
Salah seorang dari pekerja itu menyahut, “Masih. Ini saya sedang memahat kayu.”
“Mau buat apa memangnya?”
“Buat wayang potehi.”
Ester kemudian teringat akan cerita perjalanan hidup Pak Liem sebagai dalang wayang potehi. Apakah Pak Liem hendak menggelar pertunjukkan seni wayang potehi lagi? Dalam hati, Ester berniat menanyakan hal itu langsung dengan Pak Liem. Sayangnya, hingga berbulan-bulan pak Liem dan Bu Tia tak pernah berkunjung lagi ke kantor.
***
Di tahun keempat kehamilannya, Ester merasa semakin sulit berjalan karena kakinya bengkak. Dengan susah payah ia berangkat kerja, lalu duduk manis di kantor menunggu waktu pulang sembari mengamat-amati telepon yang ada di mejanya. Ketika jam kerja berakhir, ia kembali ke rumah.
Suatu waktu, ketika Ester sudah benar-benar jenuh dengan rutinitasnya, ia menceritakan ketakutannya pada Joshua.
“Jo, seandainya aku di PHK bagaimana?”
“Di kan-tor sa-ma se-ka-li tak a-da yang bi-sa di-ker-ja-kan la-gi?”
“Ada. Menyapu serta mengepel lantai.”
Joshua meringis sedih. “Ja-ngan la-ku-kan pe-ker-ja-an i-tu. Ta-pi ka-mu ja-ngan hi-lang ha-ra-pan.”
“Lalu bagaimana kita membayar cicilan rumah, mempersiapkan biaya persalinan, biaya perawatan rumah kita, dan juga rumah mama jika aku benar-benar di PHK?”
“Pa-da wak-tu-nya ki-ta pas-ti a-kan me-ne-mu-kan ca-ra-nya.”
***