Tidaaaaaaaaaaaakk!
Semakin histeris aku menjerit, semakin leherku terasa terjepit. Entah oleh apa, tetapi aku merasakan seperti ada telapak tangan besar yang menekan leherku. Membuatku tersengal-sengal. Merintih, hingga aku bisa merasakan asinnya air mataku.
Punggungku terangkat,
Mataku terbuka,
Napasku terengah,
Jantungku berdebar,
Dalam posisi duduk di ranjang, semua beban yang tadi menjepitku sekonyong-konyong sirna. Detik itu pula aku menyadari bahwa semua yang aku alami serta lihat begitu nyata barusan hanyalah mimpi. Itu mimpi!
Mimpi yang … tak bisa kujabarkan, tetapi terus membayangiku. Membuatku gelisah. Gelisah yang kemudian membuatku bergeming beberapa waktu sembari menenangkan pikiran serta carut-marutnya diriku.
Dan ketika aku sudah benar-benar tenang, aku menoleh.
Di sanalah, di sudut kamarku, di atas kuda-kuda, di samping ranjangku, aku melihat kanvas yang masih putih. Kanvas yang … entah bagaimana juga menggelisahkan diriku. Sama seperti mimpi yang barusan.
Sontak ketika aku mengingat objek lukisku, aku langsung melihat kemiripan di antara keduanya.
Surealisme.
Ya, Surealisme!
Sandwich yang hendak kulukis adalah sandwich surealisme.
Dan aku yakin, lukisanku ini, sekalipun belum mulai kulukis, bisa membuatku bertahan hidup.