SANDYAKALA

Yoemi Noor
Chapter #3

TAKZIRAN

Hukuman kepada Arif dan Yusuf dilaksanakan di tengah halaman pondok dan disaksikan oleh para santri yang lain. Dari Tsanawiyah--setingkat menengah pertama--sampai tingkatan Aliyah--setingkat menengah atas--itu semua dilakukan untuk menambah bobot hukuman yaitu dipermalukan di depan santri untuk mendapatkan efek jera bagi para pelanggar tata tertib dan hukum di pondok pesantren. Semua itu sudah pernah dilakukan, tapi kali ini yang mendapatkan hukuman adalah putra Kyai yang bernama Arif atau Gus Arif. Meski dia adalah anak seorang Kyai, tapi perlakuan yang diterimanya tetap sama. Dia nyantri dan tinggal di kamar asrama dan kalau melakukan pelanggaran, Arif tetap mendapatkan hukuman. Kyai Muhammad Ja'far sebagai pimpinan pondok ingin mendidik Arif menjadi penerusnya yang berangkat dari bawah bukan karena privilege-hak istimewa yang dimiliki seseorang, tapi tidak dimiliki oleh orang lain--sebagai putra seorang Kyai.

Arif dan Yusuf duduk di kursi yang telah disediakan di tengah halaman berupa lapangan berumput yang dipangkas pendek. Dua orang Musyrif sudah bersiap dengan gunting rambut listrik. Ketika Ustadz Ramzi memberikan aba-aba kepada dua orang Musyrif yang menjadi pelaksana hukuman untuk mulai melakukan tugasnya, spontan Arif dan Yusuf memejamkan mata. Lalu suara gunting rambut listrik yang sebenarnya menggunakan tenaga baterai, terdengar seperti suara dengungan lebah bersamaan dengan itu helai demi helai rambut Arif dan Yusuf yang menggumpal jatuh ke tanah. Saat itu juga Arif merasa harga dirinya yang menyandang sebutan Gus menjadi jatuh serendah rendahnya. Yusuf melirik ke samping, berusaha melihat Arif. Ia melihat mata sahatnya itu terpejam. Yusuf menangkap gurat kemarahan di wajah Arif. Sebenarnya ia juga berhak marah, kepalanya harus digunduli karena mengikuti persekongkolan jahat yang direncanakan oleh Arif dan melibatkan dirinya.

Dafi dan Hamzah tidak berada di tempat itu, mereka tidak ingin melihat hukuman yang dijatuhkan kepada Arif dan Yusuf. Itu untuk menghindari tanggapan dari santri lain yang merupakan pendukung Arif dan Yusuf. Kalau saja Dafi dan Hamzah ikut menyaksikan hukuman yang dijalani oleh Arif dan Yusuf tentu saja itu akan menambah antipati mereka kepada Dafi dan Hamzah.

Dari depan bangunan asrama, Dafi dan Hamzah melempar pandangan ke arah halaman pesantren yang berupa lapangan berumput. Di sana banyak santri berkerumun menyaksikan penggundulan kepala Arif dan Yusuf.

"Ayo, kita mancing saja," Dafi mengajak Hamzah pergi memancing.

"Iya, siapa tau dapat ikan besar, bisa buat nambah-nambah asupan gizi," ujar Hamzah senang.

Karena memang pada hari itu waktunya libur, jadi meskipun santri disarankan untuk melihat pelaksanaan hukuman kepada Arif dan Yusuf, tapi itu tidak menjadi keharusan. Sebab itulah Dafi dan Hamzah memutuskan untuk memancing di sungai yang mengalir di belakang pondok pesantren. Hal seperti itu memang lazim dilakukan oleh para santri ketika libur belajar mengajar seminggu sekali. Mereka mancing ikan dan membakarnya di pinggir sungai. Istilah di antara santri adalah program tambahan asupan gizi.

***

Suasana di pinggir sungai terlihat sepi, karena memang para santri semuanya sedang berada di lapangan melihat Arif dan Yusuf digunduli oleh dua orang Musyrif yang menjadi algojonya.

"Lumayan, berkurang saingan berebut pancingan," ujar Hamzah ketika melihat tidak ada seorang santri pun yang sedang memancing.

Dafi mengedarkan pandangan ke sekitar sungai yang cukup lebar dan tidak terlalu dalam, airnya jernih dan pada bagian sedikit ke hulu dan agak dangkal, sungainya masih berbatu-batu dan banyak udang di sana. Bagi santri yang kurang punya sikap sabar, mereka lebih suka mencari udang di balik-balik batu di hulu ketimbang memancing ikan di hilir sungai. Mencari udang di hulu sungai lebih mudah ketimbang menunggu ikan memakan umpan kail.

Dafi dan Hamzah mulai memasang umpan pada kail, seekor cacing tanah yang berukuran sedang. Joran yang dipakai cuma batang bambu kuning seukuran jari telunjuk yang bisa ditebang di sekitaran sungai. Sungai di belakang pondok pesantren memiliki banyak jenis ikan yang membuat para santri sering mengisi waktu liburnya memancing di sungai. Ada banyak jenis ikan di antaranya adalah ikan baung, mujair atau patin yang bisa mereka dapatkan, belum lagi udang sungai yang cukup menggiurkan.

***

Lihat selengkapnya