Arfa mematut dirinya sekali lagi pada cermin di hadapannya sebelum menyambar ransel dan bergegas menuju kampusnya. Langkahnya teratur dengan mulut bersenandung ringan. Tidak ada yang mengira jika gadis itu sedang mengejar gelar magisternya. Tubuhnya yang mungil dengan mata besar, menampilkan wajah imut miliknya yang masih cocok untuk ukuran anak SMP itu sering menipu banyak orang. Tidak sedikit orang-orang yang mengira bahwa Arfa masih anak SMP, bahkan cenderung tidak percaya bahwa gadis itu tengah mengejar gelar magisternya. Di dalam kelas pun, ia selalu dijadikan ‘adik’ oleh teman-temannya karena masih kecil – baik secara usia maupun fisiknya dibanding mahasiswa lain.
Begitu sampai di kampusnya, gadis itu langsung dihadiahi sapaan oleh setiap temannya yang memenuhi koridor pagi ini. Arfa memang dikenal ramah dan menyenangkan. Gadis itu aktif berorganisasi dan juga cukup ambisius di kelasnya. Meski tidak pintar, teman-temannya mengatakan bahwa Arfa cerdas. Gadis itu memahami dan peka terhadap lingkungan sekitarnya. Karenanya ia sering menjadi tempat curhat baik teman-teman magister maupun adik tingkatnya pada tingkat sarjana. Meskipun kadang kesusahan karena harus menampung banyak cerita dan menyimpan rahasia orang-orang sendirian sementara dirinya termasuk orang yang perasa, Arfa tidak pernah menolak siapapun yang mencoba bercerita dengannya. Sebab, Arfa begitu paham bagaimana rasanya tidak memiliki teman berbincang.
Setelah sampai di kelasnya, Arfa membuka ponsel kemudian mulai memasang earphone dan memutar lagu dari band asal negeri gingseng tersebut. Matanya terpejam menikmati lagu yang terputar pada indera pendengarannya. Ia hanya sempat tidur dua jam semalam sebab memiliki deadline untuk naskah yang tengah ia edit. Baru akan terlelap, dosen lebih dulu memasuki kelas. Memaksa Arfa membuka kembali matanya dan fokus pada perkuliahan.
Akhirnya, setelah menghabiskan hampir tiga setengah jam untuk mengikuti perkuliahan, Arfa bisa kembali ke rumah untuk beristirahat. Hari ini ia akan tidur dan tidak melakukan apapun untuk mengembalikan tenaganya yang sudah terkuras satu minggu belakangan. Gadis itu berjalan menuju kantin untuk sekadar istirahat sebentar sebelum pulang. Ia membeli minuman dingin dan kue cokelat kesukaannya. Tangan kanannya sibuk memegang kue cokelat sementara tangan kirinya mengutak-atik ponsel miliknya. Retinanya menyusuri obrolan di grup yang tengah membahas pembagian kerja. Saat dirinya masih sibuk membalas pesan dalam grup tersebut, seseorang duduk di hadapannya.
“Arfa kok sendirian?”
Gadis itu mendongak lantas tersenyum mendapati teman satu jurusannya.
“Iya, aku hanya istirahat sebentar. Habis ini mau pulang.” Jawab Arfa.
Tidak ada obrolan lagi sampai Arfa pamit pulang terlebih dahulu. Gadis itu sedikit berlari kecil menuju parkiran karena matanya sudah mulai berat dan ingin segera tidur.
Arfa melajukan sepeda motornya dengan kecepatan sedang, dan begitu sampai di rumahnya, gadis itu mendapati mobil kekasihnya terparkir rapi di halaman rumah. Melepas helm dan berjalan masuk ke dalam rumah, Arfa sedikit heran saat melihat Arvin tengah duduk dan berbincang dengan ibunya.
“Lho, Arvin gak kerja? Kok jam segini di sini?” tanya Arfa sembari mengambil tempat untuk duduk di samping ibunya.
“Aku hanya mampir sebentar buat nganterin makanan. Kamu kayak gak suka banget aku datang?” canda Arvin.
“Bukan begitu” Arfa sedikit mengerucutkan bibirnya.
Mendadak ia merasa kesal, mungkin karena efek mengantuk. Sedangkan Arvin yang paham kebiasaan kekasihnya hanya tersenyum simpul. Pria itu meminta izin kepada ibu Arfa untuk berbincang berdua bersama gadis itu. Setelah ibu Arfa masuk, Arvin berpindah tempat duduk menjadi di samping gadis itu. Arfa yang melihat kekasihnya duduk di samping dirinya segera menyandarkan kepala pada bahu Arvin dan memejamkan mata.
“Tadi malam tidur jam berapa?” tanya Arvin
“Jam setengah lima. Diam dulu, aku ingin tidur.” Jawab Arfa
Arvin akhirnya memilih diam dengan tangannya yang sibuk mengelus surai milik Arfa. Hampir setengah jam Arfa tidur dengan lelap di bahu kekasihnya hingga Arvin terpaksa membangunkan gadis itu sebab dia harus kembali ke kantor.
“Arfa, aku harus kembali ke kantor.” Ucap Arvin mengusap pelan pipi Arfa.
Gadis itu bergumam kecil kemudian membuka mata dan meregangkan ototnya sebentar. Ia diam sembari menatap wajah Arvin lantas memeluk dengan erat badan kekasihnya. Arvin tersenyum mendapat pelukan dari Arfa. Dia mengusap pelan punggung gadis itu kemudian mengecup singkat puncak kepala Arfa. Setelahnya, dengan sedikit tidak rela Arfa melepas pelukannya kemudia mengantar Arvin keluar dari rumahnya. Hingga mobil milik Arvin meninggalkan pelataran rumahnya, Arfa baru kembali masuk ke dalam rumah kemudian segera membersihkan diri dan melempar tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya sudah tidak seberat tadi, namun ia masih merasa lemas karena kurang tidur. Akhirnya, Arfa memutuskan membuka ponsel miliknya dan membalas pesan masuk hingga ketukan pintu kamar membuyarkan kegiatannya.
“Ada apa, Bu?” tanya Arfa
“Arvin orangnya gemati banget ya, Nduk.” Ucap ibu Arfa tiba-tiba, membuat gadis itu bangun dari posisinya yang tengkurang dan beralih duduk di hadapan ibunya. Ia tahu kemana percakapan ini akan dibawa.
“Iya, Arvin kalem gak kayak Arfa. Tapi, dia juga lucu orangnya kok, gak sekalem kelihatannya. Dia baik banget, Bu. Dia juga pengertian dan selalu mendahulukan orang lain, tidak suka merepotkan orang lain, sekalipun dia sendiri merasa kerepotan.” Jawab Arfa
“Kamu sayang banget ya Nduk sama Arvin.” Tanya Sang Ibu sembari mengelus surai milik Arfa.
“Sangat, Bu. Arvin rela mengulurkan tangan saat aku sudah hampir menyerah dalam mencintai seseorang. Arvin tidak protes atau balik memaki saat tahu aku bukan hanya tengah menyaynginya, tapi juga orang lain. Dengan yakin dia mengulurkan tangan, memberi Arfa kasih sayang, perhatian, pengertian, dan segala yang dia punya untuk Arfa. Dia sangat berhati-hati dalam mencintai Arfa. Aku sayang banget Bu sama Arvin.” Jelas Arfa panjang lebar.
“Arvin sudah waktunya bertemu seseorang yang benar-benar mencintai dan siap menghabiskan hidup dengannya.” Ujar ibu Arfa masih dengan tangan yang sibuk mengusap surai putrinya.
“Bu, aku belum siap melepaskan Arvin. Membayangkan dia tidak bersamaku saja membuatku sakit hati. aku masih ingin menjadi egois lebih lama lagi. Aku ingin menghabiskan beberapa waktu lagi bersamanya.” Jawab Arfa
“Tapi kamu gak boleh terus-menerus seperti itu, Nduk. Arvin tidak melepaskanmu karena dia tahu kalau hal itu akan membuat kamu terluka. Dia juga berada dalam situasi yang sulit. Harus hidup dengan orang lain sementara cintanya ada bersamamu.”
Arfa diam dan tidak lagi menjawab pernyataan ibunya. Membahas hubungannya dengan Arvin selalu membuat hatinya gelisah. Ia tahu benar setebal dan setinggi apa dinding yang menghalangi mereka. Namun, sungguh Arfa masih ingin menggenggam tangan Arvin meski harus merasa sesak membayangkan kenyataan bahwa sekeras apapun mereka mencoba, kenyataan tidak akan pernah mendukung keduanya.
Gadis itu memejamkan mata sejenak kemudian tiduran diatas paha ibunya. Matanya terpejam namun pikirannya kemana-mana. Usapan lembut dari sang ibu di kepalanya, membuat Arfa semakin nyaman dan terlelap dengan otak yang sudah terlalu lelah berpikir. Ia tidak ingin dan tidak mau tahu bagaimana ia harus berakhir dengan Arvin nanti. Biar jadi rahasia Tuhan saja.
[SANDYAKALA]
Arfa membuka mata dan sedikit terkejut begitu mendapati hari sudah berubah menjadi gelap. Tangannya meraba tempat tidur untuk mencari ponsel lantas matanya menyipit sembari membiasakan cahaya dari benda persegi tersebut. Arfa mendengus kecil saat melihat banyak notifikasi masuk pada layar ponsel miliknya. Kepalanya berdenyut nyeri entah karena kurang tidur atau justru karena terlalu lama tidur. Sebab terhitung Arfa tidur hampir empat jam setelah ia berbincang dengan ibunya tadi. Setelah merasa nyawanya terkumpul Arfa segera bangun untuk membersihkan diri dan melanjutkan pekerjaannya. Ia harus menyelesaikan tugas kuliah yang harus dikumpumpulkan tiga hari lagi.