Selepas obrolan Arfa dengan seorang ibu yang tidak ia ketahui namanya, gadis itu menjadi diam. Pikirannya berjalan-jalan mengulang cerita dari ibu tersebut dan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya. Ia bahkan tidak sadar bahwa Arvin mengajaknya bicara. Dan keterdiaman Arfa menimbulkan keheranan pada Arvin.
“Arfa?”
“Ya?” tanya Arfa sembari menatap wajah kekasihnya tersebut.
“Ada apa? Kamu sakit? Mau pulang aja?” tanya Arvin sembari mengusap puncak kepala Arfa.
“Aku gak papa, kok. Mau makan dimana?” tanya Arfa.
“Benar gak apa? Janga bohong. Atau kamu capek?” Arvin masih belum percaya atas jawaban Arfa dan hal itu membuat gadis tersebut tersenyum.
“Aku gak papa, tadi aku ngobrol sama ibu-ibu, dan jadi kepikiran aja.” Jawab Arfa jujur.
“Memamng kalian bicara soal apa?” tanya Arvin penasaran.
“Jadi, dia menceritakan sebuah kisah tentang seorang gadis yang selalu menunggu kekasihnya di bangku taman tersebut. seorang gadis dengan rok bermotif floral yang menunggu kekasihnya melakukan doa. Namun, pada akhirnya pria tersebut justru memilih menyerah dan hal itu menjadi sebuah keputusan paling menyakitkan untuk di perempuan. Perempuannya sampai depresi karena tidak menerima hal itu. belum sembuh dari patah hatinya, dia harus menikah dengan pria pilihan ayahnya.” Arfa menceritakan kembali apa yang ia dengar tadi.
“Kenapa pria itu memutuskan hubungan mereka?” tanya Arvin.
“Karena Tuhan mereka berbeda, Arvin.” Jawab Arfa sembari menatap dalam wajah pria disampingnya.
Sementara Arvin yang mendengar jawaban kekasihnya langsung menghentikan gerakan tangannya di atas puncak kepala kekasihnya, lantas beberapa detik berikutnya pria itu tersenyum.
“Lalu bagaimana dengan gadis itu? Bukankah dia sampai depresi?” tanya Arvin lagi.
“Tidak tahu soalnya tadi ibu itu langsung pergi setelah orang-orang keluar.” Jawab Arfa.
Gadis itu masih melamun memikirkan ucapan ibu tersebut hingga tidak sadar mobil Arvin sudah terpakir di halaman sebuah restauran. Arvin mengelus lengan Arfa pelan untuk menyadarkan gadis itu dari lamunannya. Setelah Arfa tersadar, ia segera keluar dari kendaraan roda empat milik kekasihnya kemudian menerima uluran tangan Arvin lantas masuk ke dalam restauran tersebut. Suasana cukup ramai sebab sekarang memasuki jam makan siang dan akhir pekan. Keduanya memesan makanan masing-masing dan sembari menunggu, Arfa menyesap minumannya yang sudah tiba duluan.
“Kamu masih mikirin cerita ibu tadi?” tanya Arvin begitu menyadari ekspresi wajah gadis di hadapannya tersebut.
“Iya. Beliau mengatakan lengkara sebelum meninggalkan taman. Lengkara itu, apa?” tanya Arfa lebih kepada dirinya sendiri.
Arvin tidak menjawab pertanyaan kekasihnya dan justru mengutak-atik ponsel. Setelah menemukan jawaban dari makna kata yang ditanyakan Arfa, pria itu menunjukkan layar ponsel miliknya pada gadis itu.
“Artinya mustahil” ucap Arvin.
Mustahil.
Arfa kembali memutar cerita Si Ibu. Mustahil. Apakah ibu tersebut hendak menyampaikan kepada Arfa bahwa hubungan tidak searah seperti Arfa dan Arvin sekarang adalah sesuatu yang mustahil? Apakah memang tidak ada kesempatan untuknya bersama Arvin? Namun bukankah di dunia ini tidak ada yang mustahil – jika itu atas kehendak Tuhan. Benar. Atas kehendak Tuhan. Seharusnya Arfa mengingat kalimat berikutnya dari ibu tersebut tentang mengikhlaskan. Apakah sampai pada waktunya nanti, jika Arfa tidak diberi kesempatan menghabiskan hidup bersama Arvin, ia harus mengikhlaskan pria itu? Pria yang begitu ia sayangi.
Arfa begitu sibuk dengan pikirannya hingga ia tidak sadar makanan sudah berada di hadapannya. Ia bahkan terkejut saat Arvin menggenggam tangannya dengan lembut.
“Sayang” panggillan Arvin membuat Arfa tersenyum simpul.
“Selamat makan” ucap Arfa mencoba mencairkan suasana.
Arvin menghembuskan napas pelan dan memilih mengalah supaya tidak terjadi perdebatan antara keduanya. Arfa dengan segala pemikirang luar biasanya selalu membuat sekitarnya merasa heran. Kebanyakan dari mereka bahkan tidak mengerti apa yang dipikirkan dan apa yang menjadi keinginana gadis itu. Sementara bagi Arvin, pikiran Arfa yang kadang diluar kendali orang-orang pada umumnya tidaklah menjadi masalah. Sebab Arvin sendiri gampang memikirka sesuatu. Keduanya sama-sama seorang pemikir, jadi mudah memahami Arfa saat gadis itu mendadak merasa kurang percaya diri atau dalam mood yang tidak bagus sebab Arvin memiliki kepekaan luar biasa termasuk Arfa.
Keduanya memakan makan siang mereka dengan tenang diringi obrolan ringan seputar keseharian keduanya. Setelah makanan keduanya habis, Arvin mulai membuka obrolan sebab ia tahu kekasihnya tersebut tidak menyukai keheningan terlalu lama.
“Arfa masih kepikiran?” tanya Arvin
“Iya, Vin. Kita ... pada akhirnya tidak akan bersama juga, kan? Seperti kisah si gadis dan pria itu.” ucap Arfa dengan suara pelan namun masih dapat terdengar di pendengaran Arfa.
Arfa yang sadar perubahan raut wajah kekasihnya, segera menggapai tangan gadis itu dan menggenggamnya dengan lembut sembari tersenyum.