Arfa berjalan dengan terburu-buru menuju kantornya. Dia ada rapat hari ini dan jadwalnya bertabrakan dengan kelas miliknya. Gadis itu sampai tidak peduli dengan wajahnya yang memerah sebab berlari dan langsung masuk ke ruang rapat. Cukup lega sebab rapat belum dimulai. Arfa segera duduk sembari mengatur napasnya.
“Arfa lari kesini?” tanya Azri selaku kepala editor tempat kerja Arfa.
“Habisnya Kak Azri ngasih tahu mendadak. Arfa lagi di kelas tadi” jelas Arfa masih dengan napas terputus-putus.
“Maaf, ya. Aku lupa mau ngabarin semalam karena udah capek banget.” Jawab Azri yang dibalas anggukkan maklum oleh Arfa.
Setelah menunggu lima menit, rapat dimulai. Banyak pembahasan dan salah satunya tentang pekerjaan Arfa sebagai editor, dan naskahnya yang harus segera rampung. Arfa mengangguk paham sembari menuliskannya dalam buku catatan kerja. Gadis itu membuat daftar apa saja yang harus diselesaikan dalam waktu terdekat. Ia mendapat pekerjaan mengedit naskah yang masuk dalam kompetesi tahunan dan harus menyelesaikan naskahnya dalam waktu satu bulan. Gadis itu menghela napas kecil membayangkan akan mengisi malam-malamnya dengan kerja lembur untuk kompetesi tahunan.
Kompetesi tersebut di adakan setiap satu tahun sekali oleh perusahaannya dengan syarat penulis memiliki karya dalam platform menulis online. Arfa ingat bahwa ia diterima menjadi bagian keluarga besar perusahaannya tersebut juga berawal dari kompetesi yang ia ikuti. Saat itu ia merasa tidak percaya diri bahwa naskahnya bisa terpilih, tapi ia justru dimintai kerja sama untuk menjadi penulis tetap di perusahaan tersebut. Meski perusahaannya masih dalam bentuk indie dan tidak sebesar penerbit lain sebab masih di lingkup lokal, namun perkembangannya sangat signifikan dan produktif. Karena itu Arfa merasa begitu senang sebab bisa bergabung. Ia sendiri dipilih menjadi editor baru beberapa bulan yang lalu. Sebab posisinya adalah penulis, dan menjadi editor adalah pekerjaan sampingan untuknya sampai akhirnya beberapa bulan lalu ia menjadi editor tetap.
Tahun lalu, Arfa juga sudah menangani kompetesi menulis tahunan meski ia hanya membantu saja. Jadi, sedikit banyaknya ia tahu bagaimana beratnya mengurus kompetesi ini.
Memasukkan catatannya ke dalam ransel, Arfa beranjak dari tempat duduk berniat untuk makan sebelum pulang. Namun, langkahnya terhenti ketika Azri memanggilnya.
“Kamu mau langsung pulang?” tanya Azri
“Aku mau mampir makan dulu, Kak.” Jawab Arfa
“Ya udah ayo sekalian” tutur Azri dan tanpa menunggu jawaban gadis itu, Azri sedikit mendorong bahu Arfa untuk mengajaknya makan bersama.
Keduanya tiba di salah satu warung makan yang letaknya tidak jauh dari kantor mereka. Setelah memesan makanan, keduanya menunggu sambil berbincang kecil. Meski lebih banyaknya Azri yang bercerita soal penerbitan. Arfa tahu bahwa Azri menyukainya, dan jujur hal itu membuat ia tidak nyaman. Arfa hanya ingin bekerja dengan tenang terlebih ia sudah memiliki seorang kekasih.
“Arfa, kamu gak nyaman sama aku ya?” tanya Azri tepat sasaran.
“Biasa aja kok, Kak.” Bohong Arfa
“Arfa, aku mengenal kamu sudah hampir tiga tahun dan jelas tahu bagaimana sikap kamu. Arfa, aku pernah bilang kan supaya tidak menjadikan perasaanku kepada kamu sebagai beban. Aku memang menyukai kamu, tapi bukan berarti aku harus memiliki kamu. Arfa, jauh sebelum aku menyukaimu sebagai seorang perempuan, aku sudah lebih dulu menyukaimu sebagai penulis, dan hal itu gak akan berubah. Aku tetap akan jatuh cinta dengan tulisan kamu, dengan pemikiran kamu, dan juga dengan kamu. Tidak peduli apakah perasaan cintaku kamu balas atau tidak.” Jelas Azri.
“Arfa, kita ini teman. Dan aku juga tahu kalau pilihan kamu bukan aku. Aku sungguh mengerti bahwa yang kamu cintai bukan aku. Rasa sukaku kepadamu itu tanggung jawabku. Kamu tidak perlu bersusah payah atau merasa itu menjadi tanggung jawab kamu. Aku ingin kita seperti biasa sebagai teman. Berbincang tanpa canggung dan saling melempar candaan. Jadi, aku mohon jangan merasa terbebani, ya.” Tutup Azri
Arfa yang mendengar penjelasan pria di hadapannya mengangguk kecil kemudian tersenyum.
“Makasih ya, Kak.” Ucap Arfa
Keduanya melanjutkan makan siang sambil melanjutkan obrolan. Setelah ucapan Azri tadi, Arfa merasa lebih nyaman dan sedikit berkurang kecanggungannya. Ia tahu bagaimana rasanya patah hati. ia mengerti bagaimana rasanya tidak dicintai balik oleh orang yang kita sayang. Meski benar bahwa segala rasa suka dan sayang dari kita menjadi tanggung jawab diri sendiri, tetap saja rasanya menyesakkan dan melelahkan bahkan sakit yang tidak berkesudahan. Karenanya Arfa begitu berhati-hati dengan rasa suka oranglain, sebab tidak ingin sakit yang ia terima, diterima orang lain.
Selepas menyelesaikan makan siang mereka, Arfa segera pamit untuk pulang karena harus mengerjakan naskah yang ia tulis. Mengangguk singkat kemudian berbalik menyusuri trotoar menuju halte untuk naik kendaraan umum menuju rumahnya.
Sembari menunggu bis datang, Arfa melihat jalanan yang menampilkan lalu-lalang kendaraan. Lampu-lampu mulai dinyalakan sebab hari beranjak sore. Matahari dengan sinarnya menambah kesan klasik pemandangan di hadapan Arfa. Surya yang bersinar dibalik tinggi bangunan seolah memberitahu bahwa waktu akan berubah gelap dan waktu bagi siapapun untuk beristirahat.