Sudah satu bulan sejak pertemuan Arfa dan Arvin berlalu. Mereka disibukkan dengan pekerjaan masing-masing, dan hanya sempat saling berkirim kabar melalui pesan text atau panggilan video. Bahkan sejak dua minggu terakhir, dapat dihitung berapa banyak mereka berkirim kabar. Meski begitu, perasaan sayang di hati masing-masing tidak berkurang – setidaknya begitu yang Arfa ketahui. Ia merindukkan Arvin setiap hari, dan bisa menjadi sangat uring-uringan saat rasa rindunya tidak tertahan.
Setelah kompetesi menulis berakhir, Arfa berniat memberi kejutan kepada Arvin dengan datang ke tempat ibadah pria itu. Sembari menunggu Arvin selesai, gadis itu membaca pengumuman yang masuk pada ponselnya. Retinanya terlalu fokus hingga tidak menyadari kedatangan seorang perempuan berumur disampingnya.
“Kamu sudah melepaskannya?” ucap Sang Ibu tiba-tiba hingga membuat Arfa terlonjak kaget.
Gadis itu menatap ibu tersebut sembari tersenyum simpul, mencoba menyembunyikan rasa kesal sebab keterkejutannya. Saking terkejutnya, Arfa sampai melupakan pertanyaan ibu tersebut.
“Nama kamu siapa?” tanya ibu tersebut
“Arfa, Bu.” jawab gadis itu sembari tersenyum.
“Kamu sudah melepaskannya?” tanya Si Ibu untuk kedua kalinya.
“Melepaskan apa?” tanya balik Arfa
“Orang yang kamu sayangi.” Jawab ibu tersebut
Arfa mengerutkan kening heran tanpa menjawab pertanyaan ibu tersebut.
“Apa yang akan kamu lakukan saat teman yang kamu tunggu ternyata tidak mengharap kehadiran kamu karena ia sudah memiliki seseorang yang bukan hanya menemaninya di bangku taman, tapi juga menemaninya berdoa bersama.” ujar Sang Ibu sembari menatap ke arah tangga yang kemudian diikuti oleh Arfa.
Entah harus berterima kasih atau merasa menyesal kepada ibu tersebut, sebab kini Arfa bisa melihat Arvin tengah bersama seorang gadis, dan mereka tengah tertawa bersama. Tampak begitu bahagia dan membuat siapapun yang melihatnya cemburu. Arfa ingat, gadis yang bersama Arvin adalah gadis yang sama saat dia dan Arvin pergi ke pusat perbelanjaan. Gadis dengan rambut sebahu, dan senyum manis. Siapapun yang melihatnya pasti jatuh cinta pada pandangan pertama.
Segera memakai masker miliknya, Arfa beranjak dari tempat duduk kemudian berlalu dari tempat tersebut. Ia bersembunyi, penasaran dengan interaksi kekasihnya bersama gadis itu. Namun saat matanya melihat Arvin memperlakukan gadis berambut sebahu tersebut dengan begitu manis, ia menyesal. Hatinya berdenyut nyeri karena cemburu, dan merasa dikhianati. Arfa ingat saat Arvin mengatakan bahwa gadis itu adalam temannya, tapi apakah benar? Apakah seorang teman akan membukakan pintu mobil, mengusap pipi dan menepuk-nepuk puncak kepala dengan penuh sayang? Arfa pikir tidak begitu.
Arfa berjalan menjauh dari tempatnya, memilih melupakan apa yang ia lihat. Sungguh, ia tidak siap dengan kemungkinan terburuk yang sekarang ada di otaknya. Jadi gadis itu memilih pulang untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Arfa akan menyibukkan diri, meski pada akhirnya hatinya hanya dipenuhi resah sebab hingga malam, gadis itu belum mendapat kabar dari kekasihnya.
Arfa menautkan dua alisnya, lantas dengan cepat meraih ponsel dan mengirim kabar kepada kekasihnya. Menunggu hampir satu jam, Arfa akhirnya mendapat balasan dari Arvin bahwa pria itu baru saja tiba di rumah. Entah harus percaya atau bagaimana, Arfa merasa tidak yakin dengan perasaannya sendiri.
Menghembuskan napas panjang, gadis itu merebahkan tubuh di atas tempat tidur sembari menatap langit-langit kamar. Otaknya mulai bekerja sambil memilah apa yang harus ia lakukan dan jalan apa yang harus di ambil. Sebab Arfa tahu ia tidak akan selamanya bisa bersama Arvin sekeras apapun dirinya mencoba. Setidaknya, Arfa ingin tahu siapa seseorang yang hidup berdampingan dengan kekasihnya. Hati gadis itu berdenyut membayangkan Arvin tidak lagi berada di sisinya.
Arfa mengingat kembali bagaimana mereka bertemu untuk pertamakali. Gadis itu tidak pernah bosan mengingat hari-hari yang pernah dirinya dan Arvin lewati. Semuanya membekas dalam hati dan pikiran Arfa serta dengan tidak tahu malu enggan beranjak pergi dan justru membangun rasa cinta yang semakin besar dimana harusnya lekas dilupakan.
“Arfa?”
Lamunan Arfa buyar ketika ibunya memanggil kemudian masuk ke dalam kamarnya yang berantakan. bangun dari posisi tidurnya, Arfa melihat Sang Ibu membawa satu gelas susu dan meletakkannya di samping naskah miliknya.
“Gimana pekerjaan kamu? Sudah selesai?” tanya ibunya
“Tinggal revisi naskah aja, Bu. Ini lagi ngejar deadline buat manuskrip karena harus setor minimal tiga manuskrip untuk jadi jurnal.” jelas Arfa.
“Manuskrip kui apa ta Nduk?” tanya Sang Ibu
“Itu naskah yang belum di unggah ke media sosial, yang bentuknya masih file di laptop, Bu.” jelas Arfa
Ibunya mengangguk entah benar paham atau hanya untuk menghargai penjelasan putrinya. Arfa meraih gelas berisi susu buatan ibunya, kemudian meneguknya perlahan. Merasakan sensasi hangat yang memenuhi perutnya, membuat Arfa merasa lebih tenang.
“Kamu kenapa kok seharian ini kayak murung? Pekerjaanmu lagi banyak?” tanya ibunya.
Arfa menimang sebentar apakah harus bicara jujur tentang kegelisahannya atau memilih diam. Setelah hampir dua menit hanya diam, Arfa mengambil napas kemudian menghembuskannya sebelum menceritakan kepada Sang Ibu yang terjadi hari ini.
“Tadi pagi aku lihat Arvin sama cewek yang gak sengaja ketemu sama aku beberapa waktu lalu. Arvin memeperlakukannya dengan sangat lembut, Bu. Bagaimana aku bisa percaya kalau mereka hanya teman saat pandangan Arvin ke cewek itu saja berbeda.” Cerita gadis itu
“Arfa, lepasin ya?” ucap Sang Ibu tanpa berkomentar banyak.