SANDYAKALA

Hudatun Nurrohmah
Chapter #5

5. Sebuah Usaha Merelakan

Arfa memandang seorang pria dengan seorang gadis yang berjalan berdampingan dengan tawa lebar yang tidak luntur dari bibir keduanya sejak menapaki anak tangga pertama. Arfa ikut menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Hatinya berdenyut nyeri, tapi melihat wajah lega pada raut mantan kekasihnya membuat Arfa turut bahagia. Tidak bohong, Arfa begitu sakit hati setelah perpisahannya dengan Arvin. Gadis itu menyibukkan diri dengan mengetik naskah dan sibuk berorganisasi supaya pikirannya tidak lagi membahas Arvin. Meski sesekali gadis itu akan meringkuk dengan tangis tanpa suara, serta isi kepala yang memutar kembali kenangannya bersama Arvin.

Setelah hampir lima bulan tidak berinteraksi dengan Arvin, akhirnya Arfa memberanikan diri datang ke gereja dimana Arvin selalu beribadah. Ia tahu bahwa perasaannya belum sepenuhnya merelakan pria itu, namun Arfa percaya bahwa waktu akan menyembuhkan lukanya.

Arfa tersenyum simpul, kemudian melangkah meninggalkan taman tersebut. Hatinya sudah lebih rela atas tidak adanya Arvin di sisinya lagi. Ia selalu berdoa kepada Tuhan supaya dikuatkan dan menjadi pribadi yang lebih ikhlas. Dan walau agak kesusahan, Arfa yakin bisa melakukannya.

Arfa masuk ke dalam kafe yang letaknya tidak jauh dari gereja. Setelah memesan makanannya, Arfa menatap keluar jendela. Menikmati kendaraan lalu-lalang yang selalu jadi favoritnya.

“Arfa?”

Gadis itu menoleh saat namanya dipanggil, dan ia cukup terkejut begitu mendapati Arvin tengah tersenyum di hadapannya dengan seorang gadis yang memeluk lengannya erat.

“Hai Arvin.” sapa balik Arfa

“Kamu sendirian?” tanya Arvin yang dibalas anggukkan oleh Arfa

“Oh iya, tiga minggu lagi aku akan menikah dengan Raina. Kamu bisa datang?” ucap Arvin yang jujur membuat Arfa terkejut. Namun dalam sekejap gadis itu segera mengatur ekspresinya.

“Kirim saja undangannya ke rumah, nanti aku usahain datang ya.” jawab Arfa

“Oke, kalau gitu kita ke atas dulu ya, Fa.” Ucap Arvin dan dibalas anggukkan oleh Arfa.

Gadis itu menatap punggung Arvin. Lamat-lamat ia bisa melihat senyum lebar pria itu. arfa menarik sembari menghembuskan napas panjang mencoba menenangkan hatinya yang terasa diremat kuat mendengar kabar pernikahan Arvin. Gadis itu mendongak, mencoba menahan air mata yang berdesakan ingin keluar. Meski telah merelakan, ternyata Arfa masih belum dapat mengikhlaskan.

 Arfa memakan pesanannya dengan tenang, dan tiga puluh menit selanjutnya ia beranjak dari tempatnya. Kakinya melangkah menuju halte, lantas gadis itu duduk dengan pandangan menerawang ke depan. Sekali dua napasnya terhembus keras, dengan otak yang mencoba menepis apapun yang berhubungan dengan Arvin.

Begitu sampai di rumahnya, Arfa langsung masuk ke dalam rumah dan merebahkan diri di atas tempat tidur tanpa berniat mengganti baju terlebih dahulu atau membersihkan diri.gadis itu memejamkan mata, menghiraukan panggilan ibunya, lantas mencoba terlelap – tidur, berharap dengan tidur akan membuatnya menjadi lebih tenang.

Tertidur selama hampir dua jam, Arfa bangun dengan kepala sakit luar biasa. Ia mencoba memijat pelan pelipisnya berusaha menghilangkan rasa sakit yang menghantam kepalanya. Saat tengah sibuk memijit kepalanya, Ibu Arfa masuk dan segera menghampiri putrinya tersebut dengan duduk di samping tempat tidur.

“Kamu sakit?” tanya ibunya dengan nada khawatir.

“Arfa hanya sedikit pusing, Bu. Mungkin karena kecapekan saja.” jawab Arfa masih dengan memejamkan mata sambil memijit pelan pelipisnya.

Gadis itu bisa merasakan tangan Sang Ibu yang menyentuh kening dan lehernya. Arfa lantas membuka mata dan menatap perempuan paruh baya di hadapannya tersebut.

“Kamu agak demam, Nak.”

“Bu, tiga minggu lagi Arvin akan menikah dengan kekasihnya.” ucap Arfa yang entah mengapa mendadak merasa panas pada retinanya.

Gadis itu ingin menangis saat mengucapkan nama mantan kekasih. Hingga akhirnya Arfa menutup wajah dengan satu tangan dan menangis tanpa suara. Jujur, Arfa merasa malu menangis di depan Sang Ibu. Namun ia membutuhkan teman untuk berbagi rasa sakitnya, dan ibunya lah yang ada bersamanya.

“Nak, jangan terlalu memaksakan diri. Kamu sudah hebat sekali bisa bangkit dan baik-baik saja selama ini. Ibu yakin kamu bisa melaluinya dengan baik. Kamu bisa berbincang dengan Arvin tanpa beban saja sudah sesuatu yang hebat. Tidak semua orang bisa bangkit dari patah hatinya, apalagi melepaskan orang yang ia cintai dengan begitu berlapang dada.” Arfa masih menutup wajah dengan sebelah tangan sedangkan rambutnya dibelai pelan oleh Sang Ibu.

“Anak Ibu hebat sekali. Kamu boleh kok bersedih, tapi jangan terlalu larut ya Sayang. Ingat kalau masih banyak hal yang harus kamu capai dan banyak kebahagiaan di sekitar kamu.” tutup Ibu Arfa sebelum beranjak meninggalkan kamar putrinya.

Arfa menghapus air matanya, masih dengan retina yang menatap langit-langit kamar. Dia harus menyibukkan diri – lagi. Mencoba benar-benar merelakan apa yang pernah ia lewati bersama Arvin.

      

 

[SANDYAKALA]

 

Arfa menatap undangan berwarna putih dengan ukiran berwarna emas di sisi kertas berukururan 10 centi tersebut. Nama Arvin dan Raina tercetak jelas di luar undangan. Tangan Arfa mengambil undangan tersebut kemudian senyumnya mengembang. Ia lantas memikirkan hadia apa yang sekiranya pantas untuk ia berikan kepada pria itu.

 Setelah mendapatkan hadiah yang cocok untuk pasangan tersebut, Arfa bergegas bangkit untuk membeli hadiah yang ia sudah putuskan. Gadis itu berjalan dengan tenang melewati setiap toko yang ada di pusat perbelanjaan tersebut. Sesekali retinanya menatap pada deretan toko karena takut terlewati. Begitu sampai di ruangan yang ia cari, gadis itu bergegas masuk dan memilih mana sekiranya yang cocok untuk Arvin dan Raina.

Jemari Arfa hendak meraih sebuah kotak berwarna emas sebelum tangan lain ikut meraih kotak tersebut. sedikit terkejut, Arfa menoleh dan mendapati seorang pria di sampingnya.

“Eh, kamu mau beli ini?” tanya pria tersebut.

“Ah saya masih melihat-lihat kok. Kalau Mas mau ambil silakan.” jawab Arfa sembari menampilkan senyum di wajahnya.

“Sebenarnya saya masih bingung sih. Adik sepupu saya ulang tahun minggu depan, dan saya gak tahu harus memberikan hadiah apa.” Ucap pria tersebut.

Lihat selengkapnya